Pages

Kamis, 13 Mei 2010

12 Tahun Lalu

Bodohlah orang - orang yang tidak suka berbelanja di Mall !!! Akan tambah terlihat bodoh lagi jika mereka lebih menyukai pasar rakyat !! Apa yang bisa didapatkan dari berbelanja di Pasar bau busuk itu ? Paling hanya harga yang sedikit murah 1000 rupiah saja, selebihnya ? Tidak ada apa - apa. Oh iya, orang - orang itu akan mendapatkan aroma menusuk dari perut - perut ikan yang membangkai berhari - hari, akan berdesak - desakan sesama mereka yang berkeringat - saja pun - amis.

Hal yang paling dia sukai adalah menuntaskan penat di mall. Di mall ada pusat perbelanjaan, tempat makan yang memutar musik merdu yang merayu, ada kafe, ada internet, ada orang - orang yang berbicara cerdas, ada tempat bermain yang luas, ada taman - taman dan tempat makan dan minum dengan pelayanan yang ramah - dan pastinya juga - cerdas. Intinya, tidak ada yang kurang dari tempat seperti ini, kawan.

Jika berbelanja hanya dianggap rutinitas maka mampuslah keindahan. Pergi saja kalian ke pasar bau itu. Tempat para kuli kasar pengangkut karung beras bertampang sangar. Pelototilah dinding - dinding pembatas yang hanya berlapis poster - poster usang para pejabat. Belilah itu kangkung, bayam dan terasi. Masak dan tumpukalah didalam perut.

" Melepas penat itu buat ku tidak sekedar menyandarkan punggung pada kursi saja, Jason. Melepas penat itu harus disertai dengan kenyamanan yang akhirnya mampu memulihkan suasana hati. Seperti sekarang. Duduk di salah satu kafe di Mall ini, melihat orang - orang berpakaian bersih, makan dan minum sambil membahas urusan kita. Kau lihat itu Janet ? Kau lihat orang disudut yang membaca buku roman itu ? Inilah yang dinamakan peradaban, kawan. Ha - ha - ha - ha. Peradaban, ya peradaban. Peradaban yang bermartabat. Bukan seperti para preman pasar yang makan diwarung penuh debu dan lalat itu." A Lyang menyalakan rokok bertembakau rendah, menghembuskan asapnya perlahan - lahan. Jason dan Janet yang disebut namanya itu sedang asik mengaduk makanan dengan garpunya. Sambil sesekali menoleh pada A Lyang yang berbicara.

Merekalah remaja yang menjelang usia 21 tahun, beberapa bulan lagi. Remaja bermartabat dari keluarga konglomerat. A Lyang masih melanjutkan ocehannya " Kalian tau kenapa preman - preman pasar itu bertingkah liar dan brutal ? Mereka jarang membaca. Makanya, cepat tersulut emosi, mirip hewan saja lagaknya.!! Huh!!! "

Tentu saja itu sebuah tuduhan A Lyang tanpa landasan dari buku manapun yang pernah dibaca nya. Janet sempat bergidik mendengar ucapan sahabat cerdas nya itu. Dari mereka bertiga, memang A Lyang lah yang paling senang membaca. Rasanya belum ada buku yang belum di baca A Lyang. Tentu saja kesimpulan ini didapatnya setelah melihat tumpukan buku di perpustakaan pribadi A Lyang yang segunung. Bahkan A Lyang yang bukan belajar perekonomian pun mampu membaca pemikiran Adam Smith dan John M. Keynes, dua ekonom hebat yang berpola pikir saling tolak belakang. Hebat benar teman nya yang satu ini. Tak kurang ibarat perpustakaan berjalan.

Lain A Lyang, lain pula Jason dimata Janet. Bagi Janet, Jason adalah teman sekaligus tempatnya melabuhkan hati, meski Jason lebih memilih mengencani gadis - gadis yang selalu beda tiap minggu nya. Janet tak pernah ambil pusing, toh ujung - ujungnya pasti kembali lagi padanya. Jason suka membaca juga, meski tidak serutin A Lyang. Jason menganggap bahwa perpaduan antara buku, musik, dan minuman, merupakan perpaduan penuh birahi dan berkelas. Dari pandangan nya ini lah dia tidak melerai Jason sekalipun untuk mendekati tiap meja gadis  - gadis yang tertawa memancing gairah.

Sedangkan Janet sendiri, dia mencoba melihat sosok perempuan berpakaian casual pantulan dari dirinya sendiri dicermin sebelah A Lyang. Aku tidak beda jauh dari kedua orang ini, pikirnya. Dia ingat perbincangan mereka bertiga, dua hari lalu dibalkon rumahnya. " Kalian tau ? Aku tidak pernah kekurangan uang. Orang tua ku itu, cih!!! Mereka tidak pernah putus mengirimi ku uang, bahkan mungkin sampai mereka mati sekalipun..!! Mereka pikir cukup dengan uang saja membungkam mulut dan hati ku. Tanpa mereka tau bahwa aku muak dengan keluarga ini. Keluarga anjing !! "

Entah sudah berapa lama mereka duduk di kafe ini. Ini sudah kali kedua mereka memesan light-joy coffee dengan balutan musik smooth-jazz. Baru saja mereka akan beranjak dari kafe ini. Tiba - tiba. Praanggg.!! Batu setelapak tangan meluncur melewati kepala Janet. Terasa sekali angin melewati kepalanya bersamaan dengan terbangnya batu tadi, pertanda batu itu dilempar dengan kekuatan cukup keras.

"Bakar.. Bakar...!!! Rampas.. Rampas.. Rampas semua..! " Janet terpaku ditempatnya. Tak mampu berfikir.
" Lari, lari Janet..!!! Ayo lari...!!! " Panik A Lyang dan Jason menarik tangannya, mengajaknya pergi. A Lyang dan Jason memapah tubuhnya, menyeret lengannya, terseok-seok menyelamatkan kepala dan tubuh dari lemparan batu, besi dan juga pentungan kayu. Mereka berusaha keluar, lari ke luar. Tersengal-sengal. Gemetar, dan puncaknya, tentu saja  ketakutan. Masih terdengar jelas bantingan benda-benda keras, amukan kayu, kemerompyang kaca-kaca, botol-botol melayang, kursi-kursi dan meja remuk dihancurkan, teriakan orang-orang kehilangan akal “ Tolong.. Tolong..!!! " Riuh rendah beradu dengan dentingan benda terpantul disetiap ruas ruangan.

" Hancurkan..!!! Bakar!!! Musnahkan !!! Kapitalis tak tau diri !!!”
  Bakar? Ya Tuhan. Dosa besar apakah yang dilakukan sebuah tempat bernama Mall ? Mereka bukan pemilik. Mereka hanya pengunjung dan peminat setia. Itu saja.

Tapi dia tetap saja terdiam. " Janet.. Janet..!!! Lari.. cepat..!!! Kita tidak punya waktu berlama - lama disini. Pake otakmu !!!" Suara Jason dan A Lyang  seolah terdengar samar dan jauh. Entah apa lagi yang dikatakan dua temannya itu. Yang jelas, Janet merasakan tubuhnya semakin ringan dan terbang, melayang dengan wajah A Lyang dan Jason yang memudar. Tapi dia tau, pelipisnya mengalirkan cairan panas. Darah. Dimana - mana tercium amis darah.
Read more...

Rabu, 12 Mei 2010

Pesan Kematian

Ddrrrtttt... Drrttt.. Dddrrttt...
Kurogoh pangkal pahaku, ada benda setengah telapak tangan yang tersangkut disana. Benda mewah yang jadi kebutuhan wajib remaja yang menjelang dewasa seperti ku saat ini.

Satu pesan diterima
Aktifkan
Tekan *
__________
Malam ini, tunggu aku dirumahmu
__________
Pengirim : Arjuna

Sebuah pesan pendek dari teman, pendek sekali. Tapi tujuannya jelas.


Jarum panjang jam tua di sudut dinding ruang tamu terjepit antara angka 8 dan angka 7, sedang berebut posisi dengan si jarum pendek. Pukul 19 lebih 40. Dia datang bersama dua teman nya yang sudah bisa kupastikan - teman yang selalu sama - jika berkunjung kemari. Aku sempat heran, kenapa dia selalu saja membawa temannya jika bertandang kesini. Alasan satu - satunya, mungkin karena dia penganut petuah 'Jika perempuan dan lelaki berduaan. maka yang ketiga adalah Setan'. Yah, siapa tau saja kan.

Dua temannya sibuk menyeruput teh suguhan Ibu ku, kami berdua saja dipojok beranda. Lama dia terdiam, hingga akhirnya meluncur suara dari mulutnya. Sedikit ragu, namun terdengar lirih.
"Aku ingat mati, sudah dari beberapa waktu lalu"
"Hah..?? Bagaimana bisa ?"
Terdiam lagi, beberapa saat. Mana mungkin aku bicara banyak dalam keadaan seperi ini. Otakku menyuruh aku diam, aku mengalah. 
"Kau tau kalau sebelum mati kita akan merasakan beberapa hal kan.?"
Aku mengangguk, antara mengerti dan bingung.
Diam lagi. Diam lagi. Diam lagi.

"Sudah baca kertas yang ku selipkan di bukumu tadi ?"
Aku menggeleng.
"Luangkan waktu untuk baca ya. "
Arjuna pergi. 

Teringat perbincangan siang tadi kursi kayu gedung penebar Ilmu itu, kucari buku yang menyimpan pesan dari Arjuna. Kertas putih dengan guratan tinta hitam.

Untuk temanku : Ratu
Aku tau ini pasti membuat mu kaget. Tapi sangat penting kita tau. Tentang sesuatu yang pasti kita jalani, Kematian. Kau bisa saja percaya tapi jika ini semua tak masuk logikamu, lupakan saja. Anggap saja aku pamer Ilmu.
Apa kau tau, 100 hari saat kita akan mati seluruh tubuh dari ujung rambut sehingga ke ujung kaki akan mengalami getaran, seakan-akan mengigil. Tepat diwaktu Ashar. Sadar atau tidak.
Jika kita akan mati 40 hari lagi, saat itu daun yang tertulis nama kita telah gugur dari pohon usia kepunyaan Tuhan. Saat itu malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan membuat persiapan, malaikat maut itu akan mulai mengikuti kita sepanjang waktu. Masih diwaktu Ashar, bagian tubuh yang selalu kita tutupi itu akan berdenyut, tepat nya di pusar.
Waktu kita hanya tinggal 7 hari lagi, kita akan mengalami rasa kelaparan, bukan, bukan kelaparan. Tepatnya kita ingin makan makanan apa saja. Seolah - olah ingin makan semuanya tanpa jeda.
Kita akan mati 5 hari lagi, rasakanlah anak lidah bergerak-gerak, bagian tengah dahi seolah bergerak - gerak, lalu akan menjalar hingga keseluruh bagian dahi.
Ini hari terakhir menjelang kematian kita 1 hari lagi, Terasa sekali bahagian ubun - ubun kita juga bergerak - gerak diwaktu Subuh dan Ashar.
Ini lah saat terakhir kita, akan terasa sejuk bahagian pusar hingga ke tulang solbi (di bahagian belakang badan).

Ratu, aku tau akan ada sekelibat keraguan padamu. Tapi percaya padaku, dulu Kekasihku itu juga berkata hal yang sama. Dan kau tau kan, dia mendulu juga akhirnya.
Aku tidak memaksamu percaya, inilah yang mebuatku terngiang - ngiang kematian beberapa waktu ini. 
 

Ya Tuhan, bagaimana bisa aku berkata. Tidak biasanya Arjuna semelankolik ini sampai mengirimi ku surat kejut. Apakah ini pertanda dari Arjuna ? Panik, kusambar tas tanganku dimeja. Pukul 18.55. Aku tak ingin Arjuna mati. Dia harus tau bahwa aku mencintainya, Ya. dia harus tau. Dia harus tau bahwa aku mencintainya, sebelum dia mati.

Drrtt... drrrttt...drrttt

Satu pesan diterima
Aktifkan
Tekan *
_________
Segera ke Rumah Sakit Budi Mulia
_________
Pengirim : Ipank

Sudah ada beberapa orang kulihat disana. Ada Ibu yang tadi kucium keningnya, Ayah yang masih berpakaian kerja biru lembayung, Ipank, Doni. Arjuna tergopoh melewati lorong sempit Rumah Sakit, aku berusaha menapaki langkannya. Di ujung pintu, Ibu menoleh pada ku dan Arjuna.
"Ratu meninggal, nak."
Read more...

Sabtu, 01 Mei 2010

Banci itu Kakakku

Plaakk..!!! “Pergi kamu dari sini,,!!!” Muka Mas Galang memerah, bekas tamparan tangan Papi pasti tidak begitu sakit jika dibandingkan dengan hati Mas Galang yang remuk karena baru sekali ini Papi bersikap kasar pada Mas Galang.


“Pergi..!!! Kamu sekarang sudah menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Anak tak tau diri,,!!! Pergi..!!!” Aku menagis sambil mengejar langkah Mas Galang, tapi Papi yang terhuyung - huyung disudut meja telepon membuatku panik. Sedikit histeris, tak jelas lagi siapa yang kupanggil. Papi atau Mas Galang. Yang jelas keduanya tak ada yang menyahut.


Ruangan yang selalu tak pernah nyaman aku didalamnya. Rumah Sakit. Setiap jengkal dari sudutnya mengingatkanku pada Ibu, yang berdarah kepalanya tertabrak mobil sedan mewah diperempatan lampu merah. Ibu meninggal diruangan serba putih ini. Aku takut Papi juga akan seperti Ibu. Tuhan, doa ku sangat banyak hari ini. Setidaknya dengarlah satu saja, kumohon.


Diam - diam tanpa pengetahuan Papi aku mencari Mas Galang ke rumah Mas Merdi. Banci simpang lima yang jadi sahabat Mas Galang dua tahun belakangan ini. Risih sebenarnya aku kesini, komplek ini semacam kosan yang khusus diperuntukkan bagi banci kelas pinggir jalan bertarif sepuluh ribu rupiah per pelanggan. Dimana - mana Banci. Aku sadar, pasti Papi akan marah jika tahu aku menyambangi Mas Galang diam - diam. Tapi, segala kemarahan Papi sudah aku fikir kan akibatnya, biarlah jadi urusan nanti saja. Mas Galang, Papi dirumah sakit. Jantung Papi kambuh lagi. Itulah yang kuucapkan saat aku menangis dipelukan Mas Galang yang tegang membeku.


Capek sekali rasanya harus terjepit diposisi tidak tepat seperti ini. Aku ingin suasana seperti dulu, saat rumah masih ramai dengan cerita bohong Mas Galang tentang kursus komputernya yang akan pindah lokasi kegedung baru. Cerita rekaan Mas Galang tentang lengannya yang terkilir karena terhimpit tubuh temannya yang lebih besar saat latihan Karate. Pun cerita karangannya tentang pacar Mas Galang yang mengajarinya membuat Puff Pastry rasa keju kesukaan Papi.


Sekali lagi, semua kegiatan bohong Mas Galang itu hanya untuk menyenangkan Papi. Kebanggan Papi itu sirna saat Mas Galang berhenti tepat didepan Taksi Papi yang kebetulan berhenti disimpang lima hanya untuk membeli sate ayam kesukaan Mas Galang.


Malam itu Papi menyeret - nyeret seorang banci yang kukenal sebagai Kakakku, Mas Galang. Ya Tuhan, Mas Galang banci… Serasa runtuh duniaku. Baru kali ini kulihat Papi begitu murka. Kaki Papi sampai bergetar menahan marah yang memuncak. Mas Galang menunduk diam saja, maskaranya luntur, dibukanya rambut palsunya, semakin terlihat bulu matanya yang lentik menipu dan blush on yang merona sempurna dipipi mulus tanpa jerawat itu, kontras sekali dengan pakaian baby doll berwarna Pink sepaha, yang dipadukan dengan stocking berbentuk jaring hitam.  High hells kirinya patah, posisi berdirinya sangat tidak nyaman.


“Sampai kapan kamu berhenti memikirkan anak tak tau diri itu, Melani..??” Aku kaget, ternyata Papi telah lama menunggu akan suapan nasi yang menggantung di tanganku. Buru - buru kutepiskan wajah sedihku. “Besok Papi sudah boleh pulang. Lagian Papi sudah bosan dua minggu diruangan bau obat ini,” Itu kata Papi, menutup pembicaraan hari ini.



Benar kata Papi, sekarang aku sudah membenahi semua barang miliknya. Papi pulang kerumah. Yang dituju Papi langsung kamar Mas Galang, mengobrak - abrik lemarinya. Astaga, sudah berapa lama Mas Galang jadi banci..??? Mengapa ada banyak sekali pakaian perempuan yang bahkan aku pun tidak punya pakaian secentil itu..


Hampir saja Papi membakar pakaian itu didalam kamar ini jika aku tidak berteriak menangis. Bagaimana pun, Mas Galang itu Kakakku, Kakak tercinta ku. Seperti orang kesetanan, Papi mengangkut sekaligus pakaian itu kehalaman belakang, menguburnya ditempat pembakaran sampah. Berbaur dengan habu bakaran sampah yang lama.


“Cih..!!! Aku tidak punya anak Banci..!! Banci seperti dia terlalu terhormat tinggal dirumah ini. Dia benar - benar bukan anakku. Mampus sekalian saja Banci itu dijalanan.” Tak kusangka Papi sebegitu marahnya. Mas Galang, kenapa semua harus jadi begini..??


Mas Galang, kenapa harus jadi Banci..?? Apa yang kurang..??
Read more...