Pages

Selasa, 31 Mei 2011

(Harapan) Blackbook di tangan

Jadi, ceritanya lagi niat banget ikutan acaranya Emak Gaul yang ngadain bagi-bagi Novel Blackbook gratisan.
MySpace
Ya, yang namanya manusia kere tapi maruk doyan banget ama kata yang ada bau-bau gratisannya.


Cerita simpelnya, blog ini pas bulan January kemaren ngadain acara Kisah 50K buat ngerangsang semangat nulis bareng emak-mbak gaul lainnya. Harus diakui bahwa jaman sekarang kita yang masih muda kalah liar dan brutal untuk masalah kreatifitas dibanding mereka yang tuaan. Gak percaya? Cekidot kisahnya di sini, temans! Dan kalian akan menganga.

Well, itu cerber sayang banget mandek ditengah jalan padahal konflik lagi seru-serunya. Ibarat sinetron semilyar juta episode, udah masuk bagian di mana penonton pengen banget ngejambak dan melintir kepala tokoh antagonisnya. 


Singkatnya, ada dua pria kece dan tiga wanita cantik yang sahabatan dari jaman kuliah sampe udah pada nikah. Namanya juga sahabatan pasti lahir segala macam bentuk cinta-cintaan. Misalnya, cinta terpendam Sandra-Decky atau cinta terpendam Donny-Tasha, cinta absurd Ratna-Donny, cinta pertama Decky-Kayla, cinta bertepuk sebelah tangan Tasha-Decky dan Sandra-Decky. Ribet banget kan itu cinta? Belum lagi masalah rumah tangga tokoh Sandra sama suaminya Reza yang cemburu ke Decky karena Sandra masih nyimpen sisa cinta jaman kuliahnya yang bertepuk sebelah tangan lewat catatan pribadi di blog Sandra. Hikmah sesatnya buat kita kalo udah nikah nanti adalah berhati-hatilah dalam ngeblog.
MySpace

Tapi pinternya lagi, emak gaul yang bernama pena Winda Krisnadefa ini lihay banget ngaduk-ngaduk konflik jadi makin runyam. Itu kali yang bikin ini cerita ngegantung gak selesai. Pasti puyeng banget mikir lanjutannya. Kecuali, tanyakan pada Serena Luna si Penulis skenario Putri Yang Ditukar (?)


Eh, kalo diceritain semua malah gak asik dong. Mendingan baca aja sendiri yak.

Sebagai yang udah ngebaca duluan serial ini sampe bagian gantung, ada usul, gimana kalo akhirnya Tasha jadian ama Donny berkat usaha gigih Ratna yang jadi makcomblang tulus. Kayla yang misterius ternyata sepupu jauhnya Donny yang selalu dirahasiakan dan udah cerai karena KDRT dan balikan lagi ke Decky atas usaha Donny dan Sandra. Sandra akhirnya bisa cinta sepenuhnya ke Reza tanpa bawa-bawa perasaan lama. Mereka akhirnya hidup bahagia. Ever after.


Sebagai pembaca yang udah sering mantengin tulisan emak satu di Kompasiana, kalau mau jujur, gaya nulis kali ini agak-agak kurang ‘Winda Krisnadefa’ banget. Kelihatan ada beberapa bagian yang make istilah remaja masa kini yang agak menggangu. Totally, gak banyak masalah sih.

Yang paling salut, mbak Winda ini peka banget ama kejadian sosial di sekelilingnya yang disembunyiin lewat tulisan. Misalnya tentang pentingnya nyimpen rahasia dari anak balita meski mungkin si anak gak bakal ngerti. Tentang perangai kaum sosialita masa kini yang doyan bawa nama Tuhan sambil minum-minum (ini tamparan banget buat kita). Tentang pentingnya Tas dengan segala model dan merk ternama buat perempuan, dan masiiiihhh banyak lagi. Baca sendiri aja mendingan yak..


Sebenarnya, masih panjang yang mau diceritain. Masalahnya, tugas kali ini cuman dibatasin 500 karakter. Mau ngoceh lama malah tersandung keterbatasan kata. 
MySpace

FYI, emak gaul ini hebat banget. Nerbitin empat buku selang waktu dua bulan. Dan bukunya yang mau dibagiin ini masuk Best Seller di Leutika. Keren kan?!! Jaminan mutu pokoknya.
MySpace
Read more...

Senin, 30 Mei 2011

Sensasi Media Menulis


Dulu sekali saat masih usia sekolah Menengah Pertama, saya dan teman-teman keranjingan menulis kisah harian di satu buku, Diary. Menurut saya, menulis Diary itu melahirkan sensasi tersendiri. Apa saja ditulis. Kisah dimarah orang tua, disetrap guru, berantem dengan sahabat, sampai ke  jumpa pandangan pertama si gebetan (Well, anak SMP udah ada loh yag cinta-cintaan). Ha ha ha !
MySpace


Sekarang, entah karena sudah ada media on line yang lebih menggoda, Diary mulai kehilangan pamor. Perlahan-lahan, orang mulai suka menulis di media virtual yang gratis. Saya ingat sekali, waktu di mana teman-teman saya di penghujung SMA mulai pamer sana-sini blog mereka. Asik mendesain template sesuai selera, memilih font dan pajang poto-poto. Awalnya saya masih kurang tertarik. Alasannya klise, sibuk. Saya mungkin pongah sekali pakai alasan sibuk. Padahal karena belum tergiur dan masih sayang si Mumu, sang Diary.


Yang paling saya ingat adalah saat pertama kali menginjak bangku kuliah, ada poster yang gedenya amit-amit terpampang di mading. Workshop tentang manfaat memiliki blog dan kompetisi blogger antar kampus. Workshop saya ikut, kompetisi? Karena belum punya blog, saya cukup jadi asisten teman mendesain template blognya biar jadi makin bagus. Saya masih belum terlalu tertarik dengan blog, ‘apaan sik? Ribet amat cuman ngurusin begituan doang’.
 

Di TV, dari pagi sampai malam, selama hampir semingguan berita tentang blog dan blogger marak, kalau gak salah di 2007. Saat yang sama juga dengan kehebohan teman di kampus. Mulai dari lahirnya komunitas blogger di berapa daerah di Ibukota, sampai mbak-mbak Artis yang juga ikutan punya blog. Artis yang paling menonjol waktu itu, mbak Sarah Azhari. WoW!! Mbak Sarah yang seksi dan artis yang notabene sibuk syuting sana-sini jadi blogger!


Pelan-pelan saya mulai tertarik ngeblog. Kemungkinan besar sih karena pengaruh mbak Artis. Jangan ketawa dulu, biasa juga kan Remaja tergiur ama segala bentuk yang bermerk Artis. Saya juga remaja waktu itu.

Akhirnya, saya punya blog. Bukan cuma satu, tiga sekaligus (Ngegaya dikit boleh dong). Entah apa isinya saya pokoknya tulis wae lah. Kadang, kalau saya baca-baca, ketawa sendiri. Childish minta ampun. Isinya gak lebih dari derita curhat menye-menye.


Sekarang, blog yang saya utamain cuma satu. Songong banget kayaknya punya tiga blog tapi dianggurin melulu. Dua lagi, saya kubur. Saya matiin. Koit deh itu blog dua.
MySpace

Kalau dulu alasan saya menunda punya blog karena sibuk. Sekarang alasan saya jarang up date blog karena malas. Kegiatan harian benar-benar menyita waktu. Cari ilmu, sosalisasi sana-sini (sosialisasi = main), gaul di jejaring sosial segala macam, semuanya benar-benar nguras waktu dan pikiran. Akibatnya, pas udah mau nulis, malas aja bawaannya. Padahal, idenya dan konsep tulisan (Jiah) udah ada di ujung otak.


Kalau diibaratkan anak, saya ini anak durhaka yang jarang banget merhatiin ortu.
Kalau diibaratkan sholat, kegiatan nulis blog udah kayak Sholat Idul Fitri yang cuma sekali setahun.
Kalau diibaratkan rumah, blog ini udah kayak rumah seram yang kotor banget karena jarang dibersihkan.
Saya buka contoh blogger baik. 

MySpace


Tapi coba kita berkaca pada pada Raditya Dika, Richard Miles si warga Adelaide, Alit Susanto. Keberhasilan mereka diawalin dari keisengan mereka ngeblog! Gak tanggung-tanggung, segala luar kota dan luar negeri dijalanin secara gratis dari hasil ngeblog. Okey, mungkin gak murni dari hasil ngeblog. Mungkin mereka keliling beberapa negara dari penjualan buku dan workshop penulisan. Tapi kan tetap aja hitungannya dari hasil ngeblog.


Secara sistematisnya, sebut saja Kambing Jantan-nya Raditya Dika, Bule Juga Manusia-nya Richard Miles yang bule asli, Shitlicious tulisan sesat nan jenaka Alit Susanto semua berawal dari keisengan mereka nulis kejadian sehari-hari di blog pribadi. Dari hasil nulis, dibuatlah jadi buku, ditawarin ke penerbit konvensional, dan mulai lahirlah karya yang belakangan jadi Best Seller.


Itu buku karena udah jadi buku laris, diajaklah mereka jalan-jalan ke luar kota sampai luar negeri buar promo buku sampai bagi-bagi ilmu terkait dengan kesuksesan mereka sebelumnya. Sebut saja Raditya Dika, penulis konyol ini udah hafal banget kali ya seluruh penjuru Indonesia karena keseringan workshop.


Mungkin kalau belum ada blog kayak jaman sekarang, entah seperti apa mereka sekarang. Raditya Dika mungkin cuma seorang Ahli Hukum, Richard Miles mungkin Cuma jadi guru Bahasa Indonesia di SMA di Adelaide atau Alit Susanto mungkin juga jadi guru Bahasa Inggris. Ketiga mereka bisa saja jadi orang sukses, tapi tetap tanpa embel-embel ‘Penulis’ sperti sekarang.


Dewasa saat ini, bukan hanya blog yang menyediakan ruang untuk menulis. Sebut saja, sosial media Friendster, Facebook dan Twitter.
Friendster dan Facebook dengan halaman note yang dipunya, membebaskan siapa saya membernya untuk menulis. Begitu juga dengan Twitter. Dengan yang hanya berisi 140 karakter huruf, memungkinkan penggunanya untuk memutar otak mencari cara menulis sesuatu dengan kapasitas sesedikit itu.


Sayangnya, kedua media sosial tadi kurang memperhatikan tampilan dari halaman note. Memang, media tadi merupakan jaringan yang diperuntukan khusus laman pertemanan dan berkabar keadaan harian. Tapi, pasti tidak sedikit dari pengguna adalah orang yang suka iseng menuliskan cerita mereka di sana.


Di halaman menulis jejaring sosial tadi, lumayan merumitkan bagi penulis untuk membuat link tautan, memuat video musik kegemaran. Kalau tak faham dengan kode HTML, alamat bakalan ribet urusannya.
Di blog yang tersedia sekarang ini, hambatan menulis seperti yang saya sebutkan tadi lumayan tak berdampak parah. Blog menyediakan dua pembacaan mudah, HTML dan Visual. Selain itu blog juga punya alat bantu yang bisa kita gunakan untuk memasang video, memasukkan foto, dan memajang musik dengan bantuan kode banner. Sesuatu kelemahan yang tak dimiliki media sosial.


Dari segi tampilan, jelas blog lebih beragam dan menarik. Kita bebas mengganti tampilan Template sesuka kita. Mau yang berbayar atau yang gratisan, tinggal pilih.


Meski sosial media dan blog punya ruang menulis sendiri, kesan yang tetap ditangkap oleh sebagian orang yang suka menulis adalah: Sosial Media tetaplah sebatas sosial media, hanya media pertemanan. Dan blog tetaplah pilihan utama untuk kenyamanan menulis, blog sudah punya ‘nama besar’ tersendiri. Satu fungsi di mana blog tetap tidak tergantikan oleh Sosal Media saat ini.


Selain itu, berbagi tulisan dan bertukar link lewat fasilitas blogroll yang ada di blog merupakan satu kelebihan yang tak dimiliki sosial media. Jika di sosial media disuguhkan halaman Beranda untuk melihat aktifitas teman-teman, blog menyediakan halaman Dasbor yang menyuguhkan tulisan terbaru maupun komntar yang datang dari teman-teman.


Blog dan Sosial media, meski sama-sama menyajikan hal yang memanjakan penulis, tetap saja punya keterbatasan pada porsi masing-masing di mata pencintanya. Sesuatu yang tidak akan menggeser dan meredupkan fungsi keduanya. Saya fikir, itu berlaku untuk sampai kapanpun.

________

catatan sikil: Postingan ini diikut sertakan dalam lomba “Blogger return contest' yang diselenggarakan oleh Mbak Anazkia dan Denaihati.

Do'akan saya yak, temans.
MySpace
Read more...

Sabtu, 28 Mei 2011

Ga jadi deh

Tadi, udah blogwalking hampir sejam.
Tadi, udah ngerusuhin lapak teman-teman.
Tadi, udah niat banget pengen nulis.
 
Sekarang, udah ngantuk.
Tapi, pengen nulis banget. Banyak yang mau diceritain. Banyaaak bangeett.
Setumpuk,
Segudang,
Segambreng,
Sebanyak-banyaknya lah pokoknya.

Udah tengah malam.
Ga jadi deh nulisnya, besok aja.
Udah lupa mau nulis apa.
Muahahahaha

#Eh, jijik gak sih ngebacanya? Gak ada isi. Cari rusuh doang kan?
Aku aja yang ngetik pengen nge-delete lagi.cuma malas. 
Udah ah, segitu dulu aja. Besok ketemu lagi. Bay...
Read more...

Selasa, 17 Mei 2011

Akhir Penghabisan

Sumber gambar : michaeldennisadam.blogspot.com
Dia melangkah pelan menyusuri lantai papan rumahnya yang licin dan dingin. Kamarnya ada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar tidur kakaknya. Tepat di depan kamar tadi ada pintu yang kalau dibuka akan langsung menuju balkon tempat mesin cuci dan gantungan baju lembab, kolor basah, dan kutang setengah kering tersampir seperti rumbai-rumbai pesta ulang tahun.

Dulu, dia dan kakaknya sering bersembunyi di balik mesin cuci itu sekedar mencuri-curi menghisap rokok. Berlagak seperti Steven Spilberg di film laga. Menghisap cerutu penuh gaya, menahan asapnya dalam mulut lalu menghembuskan ke udara dalam bentuk bulatan-bulatan unik. Dan sepertinya, punggung mesin cuci bukanlah tempat yang nyaman untuk bersandar saat merokok.

Dia masih ingat, hari itu Minggu sore. Ayah dan Ibu sedang tak di rumah, kesempatan baik untuk merasuki pikiran kakaknya agar mengajarinya merokok. Pelan-pelan mereka naik ke balkon. Dia keluarkan dua batang rokok yang dicuri kemarin siang dari saku ayahnya yang tergantung di balik pintu kamar. Kakaknya yang pamer tentang cara membentuk asap rokok menjadi lingkaran bergulung-gulung benar-benar membuatnya iri.  Tapi, entah sudah hembusan keberapa tetap juga asap itu tak bisa dibuatnya bergulung-gulung. Rokok di tangannya tinggal seruas jari saja sekarang. Sedang kakaknya menatapnya iba.

Dia benci tatapan iba, dia pantang dikasihani, dia tak suka dianggap tak mampu. Semua bentuk air muka seperti itu seolah elusan halus di pundak saat kau mengalami kekalahan di permainan kasti yang sudah susah payah kau usahakan agar menang tapi tetap saja kalah, sedang badanmu sudah remuk redam terkena hantaman bola yang dilemparkan sekuat tenaga saat kau berlari ke pos amanmu. Saat itu kau pasti lebih suka mendengar makian dari pada pelukan dan tepukan di pundak untuk sekedar penyemangat, bukan?

Dia menatap kakaknya sadis. Semacam protes dan bentakan lewat telepati, “Apa lihat-lihat?! Aku pun pasti bisa!!”

Dia memang keras kepala. Rokok hampir menyentuh bagian busa putih tetap juga disedotnya dalam. Bibirnya sudah perih, lidahnya pahit, keringkongannya kering, tak terhitung berapa kali dia sudah terbatuk.
“Asu!”

Diputarnya puntung rokok ke semen penuh geram, mati. Dipungutnya. Dipandangnya beberapa lama. Ditendangnya sekuat tenaga namun meleset. Puntung rokok tetap di tempat tak bergeming, dia merasa diperolok. Emosinya memuncak. Diinjaknya berkali-kali hingga puntung rokok terburai mengenaskan. Tak cukup itu saja, tumit kakinya menindih kuat sisa puntung, lalu dengan gerakan memutar ditekannya berkali-kali puntung itu hingga lebur. Tamat kisah. Kakaknya bersandar kepala di dinding dengan mata terpejam, malas melihat adegan sadis tadi.

Di lain waktu, dia dan kakaknya menggelar tikar ayaman pandan kesayangannya ibunya di balkon atas. Menimpa tikar dengan tilam busuk yang mereka geret dari gudang. Menata tilam agak sedikit serong ke Barat, melarikan sebotol jus jeruk, menyelundupkan dua gelas tamu berbentuk cekung, mengisi setengah termos batu es, meracik roti dengan telur dadar dan mayonaise agar mirip Sandwich, dan menunggu hingga matahari sedikit terbenam.

“Kita seperti bule” Kakaknya ikut terbahak dan terbatuk karena serpihan debu tilam lapuk. Dia menuangkan lagi jus ke gelas kakaknya meski masih terisi banyak dan menjejalkan Sandwich ke mulutnya. Lelehan mayonaise mengotori sudut bibirnya dan dia tercekik batu es karena minum sambil berbaring. Hari hampir malam tapi mereka tak juga beranjak masuk. Di dalam rumah tak bisa melihat bintang, dia sesak menghirup udara gerah pendingin ruangan, kasur empuknya tak senyaman tilam tipis. Dia betah disini, menemani kakaknya yang tidur pulas dengan nafas teratur.

Pernah satu kali, dia membangunkan kakaknya tepat tengah malam. Dengan mata kuyu yang sembab, dia jejali kakaknya ocehan tentang pantai pasir putih di bawah tebing curam dekat sekolah perawat yang lama terlantar dan setengah rubuh. Dia tak sengaja menemukan pantai indah itu beberapa jam lalu saat tersesat ketika bersepeda.

Malam itu juga mereka nekat ke pantai. Berpegangan pada tepian batu dan sulur-sulur tanaman rambat yang menjalar mengelilingi tebing. Tepat di bibir pantai, patahan ranting-ranting kering pinus yang meranggas, berserakan begitu saja. Cahaya remang malam menjadikan pohon kelapa menjelma seperti makhluk asing raksasa dengan tangan yang menggapai-gapai, mengerikan.

Sepenuh malam, dia dan kakaknya tidur bersandar bahu dengan senter listrik yang tetap menyala. Merapatkan jaket hingga ke leher untuk menahan dingin, membiarkan air laut menjilati separuh betis mereka, mendengar musik deburan ombak yang menghantam karang, menekan perut agar lapar tak terlalu terasa hingga pelupuk mata memohon untuk dipejam. Suasana hening. Bisu. Kelam. Dengkur dan gemuruh ombak saling bersahutan hingga pagi.

Dia masih berdiri di balkon ketika tangan lembut menyentuh pundaknya. Tangan itu gemetar, terasa sekali.
“Mobil pengantar jenazah sudah di depan. Mau ikut?”
Dengan mantap dia mengangguk. Dia terlanjur terikat janji yang tak terlanggar.

 “Temani aku ke pemakaman nanti, ya.” Kakaknya menggenggam lemah tangannya, seperti memohon. Dia merasa akan tumbang. Lututnya goyah.

Kakaknya pasti tak ingin pergi sendiri ke tempat pemakaman. Dia kenal kakaknya. Dalam hati dia marah dan protes namun sama sekali tak keberatan. Mengapa dia harus menyanggupi permintaan seseorang yang selalu menemaninya belasan tahun tapi tak setia kawan dan lebih memilih meninggalkannya sendiri, tunduk pada bujuk lelaki ceking yang masih tersenyum saat selang-selang yang membebat tubuhnya harus dicopot semua. Harusnya dia menolak.

Dia sesenggukan waktu itu. Namun, air matanya menguap bagitu mendengar cerita kakaknya tentang gua-gua dimana mereka pernah menyaksikan burung betina mengajari anaknya pertama kali mengepak sayap, bercerita tentang rumah pohon mereka yang setengah jadi dan akan basah jika hujan karena dinding sebelah kiri sengaja tak dibuat agar mereka bisa melihat pohon randu saat berbunga, tentang berat tubuhnya kala dia digendong kakaknya di punggung sambil berlari karena kalah bertaruh kelereng, tentang hayalan konyol mereka yang ingin menjadi bajak laut hingga merusak kain batik ibunya yang dililit pada batang sapu membentuk layar kapal hingga tertidur karena kelelahan.  Dia menyerapah dalam tawa yang sedih.

Bertahun dia mengalaskan hidupnya dengan doa-doa agar maut tak seinci pun sanggup menyentuh kakaknya. Tak perduli pagi, siang, malam atau kapan pun. Tapi sekarang, penyakit maupun kecelakaan tetap menjadi jalan bagi Pemilik nyawa untuk memisahkan mereka, pikirnya.   

Dia terdiam. Dunianya abu-abu. Sekeliling nampak berbayang dan muram. Genggaman di tangannya melemah hingga akhirnya terkulai di sisi tempat tidur. Meja, kursi, selang infus dan kantong cairan yang tergantung di tiang besi terasa lebih dingin dari biasa.

Ibu tegak kaku disebelahnya, Ayah meremas rambut dan menghela nafas berat. Kumpul keluarga yang dia dan kakaknya selalu rindukan dan baru kesampaian hari ini. Hari dimana isak tangis bukan lagi haru.

Ayah yang tegas dan penuh wibawa ternyata luluh di hadapan kakaknya yang berbaring tenang. Ayah terisak seperti anak kecil, entah kemana semua garang dan angkuhnya disangkutkan.

“Dia sudah pergi, semua yang hidup pasti akan mati. Tapi, harusnya aku tau apa cita-citanya” Sebuah penyesalan yang terlambat. Penyesalan yang tidak bisa dia terima dengan alasan apapun. Dikeluarkannya selendang Hitam pemberian kakaknya dua hari lalu. Hadiah yang paling tidak ingin diterimanya dengan hati sakit.

Dipakainya selendang, doa paling tulus dia bisikkan pada Penguasa Jiwa. Dia yakin doanya pasti sampai meski air mata dan sesenggukan menyamarkan kalimatnya. Dia aka tetap disini. Berdoa dan meresapi semua kenangan indah mereka, dia dan kakaknya. Dia tak punya kenangan lain. Seperti hatinya.
 
  



 ______________________________________________


Catatan sikil : Tanpa mengurangi ketertarikan saya pada blog ini, maka izinkan saya membuat pengakuan, sodara-sodara!!
Tulisan ini sebenarnya akan diposting di Kompasiana, akan tetapi kegeblekan saya yang tidak bisa edit hasil copas dari Word membuat draftnya berantakan. 

MySpace Berhubung sudah terlanjur nulis, maka saya tempel saja disini. Blog juga punya sendiri ini. Hahahaha


MySpace
Read more...