Pages

Selasa, 09 Agustus 2011

(Re-Post) Jawaban Untuk Kekasih Lewat Surat Cinta Yang Kompleks

Gambar diunggah dari Google.com
Dear Zein,
Bersama surat yang kukurimkan ini, kusisipkan rindu dalam pekat malam yang makin malam. Kamu apa kabar? Semoga setelah tak lagi mengepalai proyek pertambangan milik kapitalis ternama itu, kesehatanmu makin baik-baik saja.

Dua bulan lalu kamu bilang, kalau kamu semakin sibuk membenahi segala urusan pekerjaan barumu, mungkin karena itulah, pesan yang kutinggalkan di ruang kotak virtual berkali-kali lalu tak juga kamu balas. Tak mengapa.

Aku ingat janji terakhirmu sebelum kita berpisah, kamu juga bilang, kamu tidak akan selingkuh tanpa setahuku. Aku tertawa antara bangga dan bahagia. Kadang aku heran sendiri bagaimana aku bisa tahan sekian lama denganmu yang begitu tak tertebak dan hidup terlalu teratur.


Zein sayang,
Seperti apa kamu sekarang? Apa kamu rutin mencukur bulu-bulu halus di dagumu? Dua hari lalu, saat gerah hampir di setiap malam belakangan ini, aku membayangkan liburan pagi kita yang indah. Berbelanja, memasak, sekedar meminum teh di sore hari atau menonton opera yang sudah lama kita rencanakan.

Bagaimana cuaca di kotamu sekarang, kamu masih di Vienna bukan? Sesekali aku ingin ikut denganmu, berpindah dari satu kota besar ke kota besar lainnya. Merasakan makanannya, berlibur di atas perahu-perahu mengarungi sungai yang mengalir di bawah jembatan tua yang kokoh, atau memberi makan burung-burung dara di taman kota Amsterdam yang bersalju.

Bulan-bulan lalu aku menerima kabar lewat surat elektronik dari teman tentang musim badai salju dan hujan es yang mampu meretakkan kaca-kaca mobil. Aku cemas sekali ketika itu, pasti kamu tengah meringkuk kedinginan di depan perapian apartemen yang dingin di Dubai.

Kudesak kamu agar menyalakan penghangat ruangan dan memakai alat pemanas di bawah kasurmu tiap kali ingin tidur. Kamu bilang aku tak perlu cemas karena semua baik-baik saja. Gampang sekali kamu bicara, My Dear. Bagaimana bisa aku tak cemas kalau aku tak yakin kamu baik-baik saja?


Zein,
Sudah lama sekali aku mendamba kita punya waktu barang sebentar untuk sekedar mengobrol. Tentang kamu. Tentang masa depan cinta kita. Tentang banyak hal.
Aku ingin mendengar kisah remajamu saat masih di Nigeria. Apa kau pernah mengencani gadis-gadis yang menaiki punggung-punggung unta yang ditarik dengan tali saat mereka menyeberangi Gurun Sahara menuju Burkuni?

Apa kau pernah jatuh cinta pada gadis pengembara Samia yang doyan meminum susu dan berhidung mancung itu?
Sumpah demi apapun aku tak dibakar cemburu. Setiap kita punya masa lalu, Zein.


Zein pujaanku,
Tiga hari lalu aku menghadiri pernikahan Erick dan Risa. Mereka mengirimiku tiket, memaksaku datang. Pestanya sederhana, hanya di apartemen di pinggiran Utrech.

Belakangan aku tahu, Erick begitu kangen pada negeri kita. Kami bercerita hingga larut di balkon apartemennya, dia rindu kampung halamannya di pesisir Sumatera sana. Erick bilang, dia sudah lama tak mencium aroma tanah kering di sini.

Risa, dia sudah lama tak mendengar Indonesia Raya seperti dulu masih di kotanya, Dili. hingga hampir fajar kami masih di balkon dengan mantel tebal yang menempel. Sambil mengusap air mata sesekali, Risa menceritakan luka dan perihnya saat bertahun-tahun melihat ibunya hampir gila menunggu saudara lelakinya yang tak pernah pulang setelah dibawa beberapa orang berseragam. Indisiden di Dili masih melekat dan menyisakan ketakutan, kelebat orang-orang ramai menenteng golok dan kelewang masih menyisakan trauma untuk Risa.

Aku miris melihat mereka, Zein. Erick dan Risa itu. Punya tanah air tapi harus mencari penghidupan yang layak di negeri orang. Malam itu kami saling mengenangkan malam-malam purnama yang cahayanya menembus reranting pohon rambutan di desa, masa kanak-kanak kami yang keras, kecipak air sungai yang memercik di wajah. Semuanya, sebelum segala carut marut menjadi biasa. Malam itu di tengah hujan salju yang mulai menjelma badai, kami kenangkan kembali kenangan-kenangan tentang negeri yang kami rindu.


Zein,
Kamu pernah bertanya beberapa kali padaku tentang cinta. Apa kamu percaya kalau aku bilang, aku masih tak mampu menjawab, bahkan hingga sekarang? Cinta bukan sekedar rasa yang hadir dari hati dan berbiak sampai ke jiwa. Bukan.

Cinta lebih kompleks dari sekedar ungkapan sajak picisan yang kerap kamu baca di buku-buku roman mahal koleksimu. Cinta juga tak harus diumbar. Cinta harusnya menjadi mantra yang gelap dalam alam bawah sadar kita yang jujur. Cinta bukan sekedar kita bahagia karena bisa hidup bersama. Karena bahagia bisa saja kita buat-buat. Toh, bahagia hanya permainan olah pikir masing-masing kita.

Itulah kenapa aku tak pernah bisa meyakinkan cintaku padamu seberapa besar dan seberapa lama aku akan bertahan untuk terus mencintaimu. Cintaku padamu tak bisa kuutarakan, aku terlalu gugup untuk bisa menjelaskan. Semuanya. Semua yang kau tanyakan tentang cinta padaku. Tak mengapalah sesekali kita menjadi pengecut.


Zein,
Baik kita sudahi saja perdebatan kita tentang cinta dalam definisiku yang tak pernah bisa kau mengerti. Atau kita kembalikan saja semua pada ruang dan waktu, hingga kemudian hanya akan menjadi skenario hati masing-masing kita yang tidak akan pernah terjawab. Begitulah. Meski hingga akhir jaman nanti.

Aku hanya bisa bilang, akan kamu temui jawaban tentang cintaku saat kita mulai menua menanti datangnya uban di usia kita yang renta, dan aku tetap ada di sampingmu menyajikan kopi dengan tangan bergemetar meski punggungku mulai bungkuk.

Tanganku yang menggigil akan tetap merengkuh pinggangmu yang berjalan tertatih dengan tongkat dan sendal yang kebesaran di kakimu, tetapi debar dalam hatiku tak pernah berhenti berdesir hebat tiap kali bersamamu.
Itulah saat dimana kita tak membutuhkan cinta dimaknai dengan kata, Zein. Karena dalam cinta, kita tak butuh apapun untuk tetap saling perduli.

Cinta bagiku adalah sebuah kegigihan mempertahankan rasa yang rapuh. Karena dalam hidup, cinta bukanlah sebuah komitmen yang bisa kita rencanakan akhirnya tanpa adanya kehambaran. Dan kenyataannya, bahwa dalam cinta, keraguan dan pertanyaan adalah mutlak.


Zein,
Mungkin besok aku akan berpamitan pada Erick dan Risa. Tapi pikiranku masih dijejali hal- hal aneh yang entah apa. Aku sedih, sedih sekali. Entah apa sebabnya. Aku ingin ada kamu di sini, mendekapku hangat. Sudah lama aku tak punya teman bicara, Zein.

Tapi sekarang aku harus merias wajahku. Erick, Risa juga aku akan makan malam di cafe’ yang mereka janjikan. Pasangan pengantin baru itu harusnya menghabiskan waktu mereka untuk berbulan madu, bukan? Melihat mereka, aku teringat kita. Hubungan kita.

Sepanjang jalan menuju halte, kami tak saling bicara di bawah rintik salju dan lampu-lampu kota yang tampak seperti kunang-kunang dari kejauhan. Di dalam kereta, kami mencoba berdamai dengan rasa patah hati masing-masing. Seorang pemuda menggumamkan lagu sedih yang menyayat.

Tiba-tiba, bayangmu muncul sekelebat. Menciumku. Menggamit lenganku.
Kita terbang. Tinggi.
Lalu meledak di udara. Berserak.



 ___________________
catatan sikil: Coretan ini pertama kali dipublish di Dumalana.com
Read more...