Pages

Kamis, 19 Januari 2012

Aku Benci Kamu Hari Ini.


When the rain is blowing in your face,
and the whole world is on your case,
I could offer you a warm embrace
to make you feel my love.

Winda tergesa merogoh tasnya. Handphone-nya berdering. Dia tersenyum, sudah tahu siapa yang memanggil.

My Love Calling.
Tuh, kan. Benar! Dion menelpon. Jantung Winda berdebar tak karuan.

My Love, Winda senyum-senyum sendiri. Kadang dia masih geli dengan nama yang dibuatkan khusus untuk nomor  telpon Dion. My Love, dengan nada dering pribadi yang syahdu. To make You Feel my love,  satu lagu yang mewakili perasan Winda untuk Dion.

Bagaimana kalau Dion tahu? Ah, itu tidak mungkin. Winda tahu Dion tipe lelaki yang sangat menghargai privacy, dan selama Winda tidak ceroboh membeberkan hal ini pada Dion, itu tidak akan pernah terjadi.


“Halo, halo, Win, Winda..”
Suara Dion menggantung di seberang sana menunggu reaksi Winda.
“Hhmm,”

Winda hanya bergumam. Jaga gengsi dikitlah, biar gak keliatan banget sukanya. Begitu selalu yang ditekankan Winda pada diri sendiri. Winda percaya, dengan sedikit jual mahal dan misteri, adalah daya tarik perempuan.

“Soal janji yang gue bilang kemaren malem.”
Yes! Akhirnya, batin Winda kegirangan. Dia masih menunggu dion melanjutkan kalimat.

“Kayaknya harus ketunda dulu deh. Gue ada urusan penting soalnya.”
“Oohh..”


Aku benci kamu hari ini!

Winda menghela nafas berat. Tidak punya perasaan! Gak tau apa kalau untuk makan malam yang sudah dirancang dari kemarin membuat Winda nervous sampai hari ini?!
“Gak papa kan, Win?”


Aku benci kamu hari ini!

Dion menganggap dirinya tidak akan kenapa-napa dengan penundaan sepihak?! Dasar tidak punya hati. Bisanya bikin orang melayang aja, rutuk Winda dalam hati.

“Ato gini deh, Win. Berhubung tempat udah gue pesan, lu pergi bareng temen gue aja. Booking-nya susah tuh,”


Aku benci kamu hari ini!

Hellow! Kamu pikir aku tipe orang yang bakal menyesal seumur hidup karena tidak bisa makan di tempat mewah? Apa maksudnya?!

“Gak usah deh. Lagian, hari ini juga gue capek. Kerjaan gue segunung.”
Emosi Winda hampir meledak, untung otaknya masih waras dan bekerja sesuai fungsi.

“Oh, ya udah. Bye.”
Klik. Sambungan diputus dari seberang.


Aku benci kamu!!! Hari ini, besok, selamanya!

Bahkan Dion menutup telponnya duluan tanpa memikirkan hati Winda hancur seketika. Percuma saja dia mempersiapakan semuanya dengan begitu sempurna. Dandanan, baju, aksesoris, sampai sepatu, semuanya matching. Dan sekarang semuanya sia-sia.


Aku benci kamu!!! Hari ini, besok, selamanya!
Winda tak sanggup lagi menahan sedihnya. Dia pikir Dion memang mencintainya, dia pikir perasaannya pada Dion akan berbalas. Ternyata salah, sangat salah, salah besar!

Aku benci kamu!!! Hari ini, besok, selamanya!
Di dalam lift, Winda menangis. Dion hanya ingin mempermainkan hatinya. Dion hanya sekedar baik sebagai teman. Tidak lebih. Harusnya gue sadar dari dulu, bego, bego, bego. Winda merutuki diri.


Tring..
Lantai dasar, lift terbuka. Winda mengusap air matanya. Tidak ingin ada yang melihatnya menangis seperti ini.

Dion!
Astaga! Di depannya ada Dion! Menggenggam buket bunga, menghampirinya.
Surprise! Gue datang buat lu, Win.”


Winda mematung,
“Jadi pacar gue ya?”
 “Romantis dikit dong.”
“Ini udah maksimal.”
"Jadi,"
“Gimana?”
“Iya.”
Aku benci kamu! Benar-benar cinta, jerit Winda dalam hati.



__________________________________

catatan sikil: Ngeblog FF hari ke-8



Read more...

Rabu, 18 Januari 2012

Sepucuk Surat (Bukan) Dariku.


Mijil,

Malam itu, Jil. Malam di mana aku tidak lagi pulang kepadamu hingga pagi bergulir perlahan dan embun membasahi ranting-ranting randu yang tengah mekar.
Malam itu, kukenangkan lagi kenang-kenangan yang kita patri di setiap sudut hati kita yang mulai rapuh dan menua.

Malam itu, Jil. Hujan turun dari matamu, sedang aku tak begitu mampu meminjamkan pundak untuk rebahmu. Bahuku kini terlalu ringkih. Harusnya kita tidak perlu seperti ini. Apa yang kamu risaukan, Jil?

Kehilangan? Kesepian? Kesendirian?

Bukankah kita semua akan melaluinya? Kamu hanya terlalu takut, Jil. Akan tiba masanya kita saling menjauh, berdiam pada masing-masing angkuh kita yang membakar, tunduk pada ego yang mengoyak kenangan. Kamu hanya perlu terbiasa melewatinya, Jil. Tak perlu terburu-buru. Berikan tanganmu pada waktu, dia yang akan menuntun.


Mijil,
Seandainya kutemukan jalan lain yang terbuka untuk kita, ah! Tak perduli harus menerobos ilalang atau tersandung kerikil panas, akan tetap kugenggam tanganmu erat-erat.

Gerimis mulai terendus di kejauhan. Datang bersama angin kering yang hambar. Berbaringlah, Jil. Kita ulangi lagi menghitung bulir hujan yang jatuh di wajah kita. Satu. Dua. Tiga. Empat.


Mijil,
Jangan biarkan kubangan di matamu meruah. Sebab aku takut terseret dan tak mampu balik ketepian, tenggelam. Menjadi batu.

Sepucuk surat (bukan) dariku, simpanlah untukmu.
Sepucuk surat (bukan) dariku, sebagai pengingat bahwa kita bukan lagi dua jiwa yang bisa membagi minuman berfermentasi untuk  direguk berbarengan, Jil.


Mijil,
Perempuan sunyi itu telah lama menyembunyikan rasa di balik kutang usangnya. Kembalilah, Jil. Kembalilah pada wajah yang kamu simpan sebagai peta dalam sakumu. Ke sanalah kembalimu.

Pada akhirya, kamu dan aku akan kembali pada jalan yang kita terabas mula-mula sekali. Jejak kita yang tertinggal akan membelah, membelah, lalu berkumpul menjadi kenangan yang kesepian.

Terimalah, Mijil
Sepucuk surat (bukan) dariku yang harus kuterima untukmu. Semoga kamu mengerti.



-------------------------------------------------------------

Catatan sikil: Ngeblog FF hari ke-7





Read more...

Selasa, 17 Januari 2012

Ada dia di matamu


Dear Fauzan,

Lewat surat ini kukabarkan padamu bahwa aku baik-baik saja dan semoga begitu jugalah adanya denganmu.

Sebenarnya sudah lama ingin kukatakan bahwa kepergianku bukan karena kesalahanmu. Juga bukan karena dia. Tidak ada yang patut dipersalahakan dalam hal ini, sayangku. Kalaupun ada yang patut dipersalahakan, satu-satunya adalah diriku.

Maaf karena aku tidak bisa setia seperti yang kamu harapkan, Fauzan.

Bukan karena aku tidak cinta padamu, bukan pula karena kamu tidak menarik. Sangat klise jika kukatan jika selama ini kamu terlalu baik. Tapi bukankah sebagian besar yang adanya di dunia ini memang klise?

Kita bertemu, akrab, jatuh cinta lalu saling menjauh adalah satu dari banyak hal klise?
Anak yang terlahir dari rahim seorang ibu, besar, dewasa, menikah lalu meninggalkan ibunya juga klise? Bukankah banyak janji-janji manis yang diumbar lalu terbiar begitu saja tanpa satu perwujudan juga hal yang klise?


Fauzan, kasihku

Kuharap jangan pernah terbersit di hatimu untuk membenciku, meskipun itu tetaplah hakmu yang tidak bisa kusangkal.

Baik kita saling melupakan apa yang telah kita lalui sebagai hal yang patut dikenang saja. Tidak lebih, tidak lebih, Fauzan.
Di sini mati-matian aku menata hati kembali. Mengembalikan semua yang telah terserak dan berburai menjadi satu mozaik  yang dapat kugenggam sebagai pengingat.

Fauzan, cintaku
Maafkan jika sampai hari ini belum bisa kutetapkan hati untuk memilihmu. Sekali lagi, sekali lagi, Fauzan. Tidak ada yang salah denganmu.

Fauzan, belahan jiwaku
Terima kasih atas segala yang telah kamu berikan.

Cinta. Rindu. Sayang. Semuanya. Semua yang sangat kusayangkan, yang tak mampu aku menerimanya. Terlalu besar yang kamu berikan padaku, Fauzan.

Fauzan, permata hidupku
Semoga ini menjadi kesalahan terakhirku menyia-nyiakan kebaikan kekasih sepertimu. Kelak, akan kau temukan cinta seperti yang kamu dambakan. Pasti ada, Fauzan. Pasti ada. Pasti ada satu untukmu. Kelak.

Fauzan,
Tak bisa kupungkiri bahwa sekuat apa aku berusaha mencintaimu, semakin kuat pula ingatan akan cinta yang telah lalu membayangiku.
Ada dia di matamu.
Ada dia di matamu. Ada dia di senyummu, ada dia di indahmu. Dan ada dia di sini. Di hatiku.

Fauzan,
Baik kubatalkan saja meja panjang di pojok restaurant yang telah lama kita pesan. Karena aku tak mungkin duduk sendiri tanpa hadirmu. Aku tidak ingin terlihat sangat menyedihkan dengan kesendirian, dengan kesepian, dengan segala hampa yang melekat.

Fauzan, kekasihku
Lelaplah dalam tidurmu. Do’aku menyertaimu selalu. Suatu saat kita akan bertemu, menikmati indah dari cakrawala yang kita lukis, bersama. Sampai jumpa kekasih terbaik. Pesankan stu tempat terbaik untukku di sini, sayang.
Sampai bertemu di kehidupan yang belum pernah kita mengerti.





Read more...

Sabtu, 14 Januari 2012

Kamu manis, kataku.

Kamu manis, kataku.

Tapi tetap saja perempuan muda itu bergeming. Sebenarnya, tidak ada maksud untuk gombal, tapi perempuan itu memang terlihat manis dan sangat anggun.

Usianya hampir menginjak pertengahan dua puluh. Rambutnya yang hitam sepunggung, agak sedikit ikal. Leher jenjangnya memakai kalung yang sedikit kuno. Mungkin kalung pemberian ibu atau neneknya. Bandulnya itu loh, astaga! Seorang gadis molek yang, telanjang!

Siapa bilang hanya perempuan bermata besar yang terlihat manis? Teori salah. Orang yang berpendapat seperti itu pasti belum pernah melihat perempuan muda ini dan terlalu banyak membaca komik manga dengan tokok gadis dengan wajah yang sebagian besar dipenuhi mata. Gadis ini lain. Dengan mata agak menyipit,  justru menjadi daya tariknya. Kalau sedang tersenyum, matanya akan tertarik ke atas, semakin terlihat kecil.  

Kamu manis, kataku.

Suaraku terdengar mirip desisisan. Kali ini gadis di depanku tersenyum. Astaga! Jantungku! Jantungku berantakan.

Aku kikuk saat tatapan kami saling beradu. Dia tersenyum lagi. Wajahnya tidak terlalu mulus seperti laiknya wanita-wanita cantik pengiklan produk kecantikan. Namun satu yang mebuat dia semakin mempesona. Lesung pipinya. Lesung pipinya tidak rata, maksudku, berbeda. Bukan. Maksudku, lesung pipi kirinya lebih dalam. Jangankan senyum, sedang berbicara saja lesung pipi kirinya terlihat.

Gadis manis di depanku tengah berputa-putar kecil.

“Sayang sekali baju ini belahan dadanya agak sedikit ke bawah.” Dia membentangkan baju itu padaku.  

Kalau menurut ukuran orang-orang, baju itu tidak bermasalah. Belahan dada yang agak terbuka juga menunjukkan keseksian bukan?

Apa yang dirisaukan perempuan ini? Kulirik dadanya diam-diam. Tidak ada yang salah. Dadanya masih kencang berisi. Padat, sedikit kenyal dan hangat.  Harusnya dia lebih percaya diri.

Perempuan itu hanya memakai kutang dan celana dalam waktu menyapukan bedak ke pipinya. Kutang Hitam dan celana dalam Merah, lalu tiba-tiba tersenyum padaku.

Dia menyangga dadanya dengan kedua tangan menghadapku sambil berkata.
“Meski Cuma pakaian dalam dan tidak diperlihatkan pada orang ramai, tapi mereka juga ingin dihargai. Mereka juga ingin punya moment sendiri.” Begitu katanya. Aku diam, mengamini.

Perempuan muda ini sebenarnya pribadi yang menyenangkan, namun aku tidak berani banyak bicara. Ada kesan segan atau apa ya? Sungkan lebih tepatnya. Dia terlalu anggun dan aku selalu menjadi penikmat keanggunannya. Otakku mulai berpikir macam-macam. Tidak, tidak. Jangan sampai dia tau isi kepala mesumku.


Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Perempuan itu mendekat. Seperti membaca pikiranku, dia melirik mesra. Senyumnya mengembang dan tatapan mata itu, aku tahu persis maksudnya. Jangan sampai! Jangan sampai! Jangan sampai! Aku menegang.

Dia mulai meraba pundakku, leherku, perempuan itu mengusap dadaku. Ya, dadaku! Anjing! Apa-apaan ini?! Dan aku masih tegak berdiri, tidak melakukan apa-apa. Tidak juga berusaha menghindar. Dia anggun dan cantik, aku menikmatinya.

Jarinya yang panjang dan lentik menyentuh pipi, mengusap bibirku, aku pasarah apa yang akan dilakukannya.

Kamu manis, kataku.


Tok.. tok.. tok..

Aku terperanjat. Sekeliling kulihat hitam, sekelebat. Perempuan di depanku juga tak kalah kaget. Mati aku!

Gedoran di pintu tak bisa menunggu. “Buruan dong, lama amat dandannya.”

Gagang pintu bergerak, dan menyebul kepala, mengintipku.

“Astaga! Dari tadi elu ngapain. Jam segini baru pake kolor ama beha doang?! Kelamaan ngaca sih lo.”
Perempuan manis itu tidak terlihat lagi.  

Read more...

Dag Dig Dug


Nguiiing.. nguiiing.. nguuuiing..

Sirine polisi masih terngiang-ngiang di kuping Rasti. Meresahkan. Rasti tidak suka dengan bunyi sirine. Sirine ambulan, sirine polisi apalagi. Kenangan Randu yang ditangkap polisi karena tertuduh mengikuti organisasi penentang pemerintah masih lekat di benaknya. Rasti tahu Randu bukan tipe orang yang seberani itu. Apalagi menentang pemerintah. Randu orang baik, mahasiswa baik, anak yang baik, juga kekasih yang baik. Benar-benar mustahil.

Dag Dig Dug!

Ada yang bermain di pikiran rasti. Resah.

“Katanya ada yang terbunuh, mbak. Makanya rame banget mobil polisi.”
“Siapa?”

Pedagang kaki lima yang ditanyai Rasti mengangkat bahu. Pikiran Rasti kalut, dia harus segera pulang. Tidur lalu bangun keesokan paginya dengan badan dan pikiran yang segar. Sidang skripsi harus tak boleh mengulang, tekadnya.


Kemeja Putih dengan celana rok Hitam selutut benar-benar sesuai dengan sepatu hak tingginya. Anggun sekali.

“Tapi aku mirip tahi cicak kalau begini.” Rasti tersenyum sendiri melihat dandanannya di depan cermin.

Kriiiing.. Kriing.. Kriing..
Bah! Jam digital berteriak mengingatkan Rasti untuk segera ke kampus. Meski Rasti sendiri yang telah memprogram jam digital itu berbunyi menurut keinginannya, tapi Rasti tetap saja merasa kesal dengan suara jam yang melengking tinggi. Dia ingat teriakan Bu Marni, ibu kosnya yang judes.

Dag Dig Dug

Baru saja sampai di korridor kampus, jantun Rasti sudah tidak bisa berhenti berdetak kencang. Apa kira-kira yang akan ditanyakan para dosen itu? Bagaimana jika aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka? Rasti gugup. Segugup gugupnya gugup. Lututnya gemetar.


Dag Dig Dug.

Lagi-lagi jantungnya berdesakan ingin keluar. Beberapa mahasiswa yang juga berpakaian Putih Hitam sepertinya berkerumun di satu tempat. Berbicara satu sama lain. Berdiskusi atau sedang memperbincangkan sesuatu yang membuat Rasti penasaran. Rasti sangat penasaran tapi tidak ingin berusaha tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Debaran jantunya lebih menyita perhatian.

Tidak berapa lama, seorang lelaki gemuk menghampiri kerumunan mahasiswa yang bercakap-cakap. Semenit, dua menit, tiga menit. Lalu bubar.

“Sidang kita ditunda, nanti ada pemberitahuan susulan.”
“katanya, Pak Randi mati dibunuh kemarin malam.”

Darah Rasti mengalir cepat dari kepala hingga kakinya. Rasti bisa merasakan itu. tapi entah kenapa Rasti senang. Mungkin karena sidang skripsi ditunda, mungkin karena jantungnya mulai berdetak perlahan, mungkin juga karena dosen pengujinya yang mati. Mungkin...


Tok.. Tok.. Tok..
Siapa yang mengetuk pintu semalam ini? Kalau bukan karena urusan mendesak, pastilah orang ini tidak tahu etika bertamu, sungut Rasti.

“Benar anda yang bernama Rasti?” Lelaki yang di depan Rasti langsung bertanya begitu pintu terbuka. Rasti hanya mengangguk.

 “Anda terpaksa kami tahan, kartu mahasiswa anda tertinggal di kamar hotel tempat mayat Bapak Randi ditemukan.”

Dag Dig dug. Jantung Rasti berlompatan satu-satu.


Dia teringat peristiwa dua malam sebelumnya, dua orang lelaki menyekapnya sepulang dari kampus, lalu dibawa ke kamar hotel. Dicampakkan begitu saja ke tempat tidur, muncul seorang lelaki hampir tua, Pak Randi, dosennya.

“Kamu harus menyusul Randu. Randu kangen kamu. Dia gantung diri dipenjara karena kamu tidak bisa menjadi kekasih yang setia.” Lelaki tua itu mencekiknya. Rasti panik, nafasnya megap-megap. Dia menggapai-gapai mencari pegangan.

Bruuk! Lelaki itu terjatuh. Kepalanya berlumur darah, Rasti tertegun. Tangannya masih menggenggam pecahan botol. Pak Randi, dosennya.

Dag Dig Dug.



--------------------------------------------------------

Catatan sikil: FF yang telat publish karena inet yang mendadak mati seharian kemarin.
Read more...

Kamis, 12 Januari 2012

Halo, Siapa Namamu?


Dulu, ruangan ini penuh sesak. Selalu penuh sesak. Tapi itu dulu, sebelum semua berubah. Sebelum Mas Harsja pergi, sebelum Bapak sibuk, sebelum Timo mati kelindes motor, sebelum ibu ditaksir Pak Jana, tukang bata sebelah rumah. 

Mas Harsja pergi dengan pacarnya, tinggal berdua padahal belum menikah. Bapak sempat kalap dan hampir membunuh pacar mas Harsja kalau saja tidak dilerai tetangga.

“Ada-ada saja. Pacaran kok ya sama Joni. Kaya udah ndak ada perempuan saja.”

Aku diam, ibu juga diam, cuma Bapak yang misuh-misuh. Timo ketiduran di kursi waktu itu.

Entah apa sebabnya Bapak mulai jarang pulang ke rumah. Yang aku tahu kemudian Bapak dan Ibu mulai jarang bicara. Ibu sepertinya kangen Mas harsja. Tiap kali telpon berdering, ibu tergopoh-gopoh.

“Pasti dari Harsja.” Begitu selalu kilah ibu.

“Bukan Harsja.” Gagang telpon diletakkan begitu saja. Kadang tergantung, kadang malah ditutup. Tapi aku tak berani protes, Timo melarang.

Mulanya, aku pikir ibu hanya kangen Mas harsja saja makanya selalu mengangkat telpon jadi ritual wajib. Tapi makin hari, ibu makin aneh. Ibu mulai suka menekan-nekan nomor telpon sembarangan, acak-acakan. Banyak yang tersambung.

“Halo, siapa namamu?”
“Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”

Sudah berulang kali kukatakan, ada waktunya Mas Harsja pulang. Tapi ibu tak terima, Timo hampir mati dicekiknya. Sial!

Keesokan hari, aku dijemput Pak Jana ke sekolah. Langkahnya panjang menggamit lenganku, aku berjalan tersaruk-saruk. Ada apa ini? Di beranda kulihat ayah menenteng koper besar. Ibu mematung memeluk Timo.

“Kamu mau ikut atau inggal di sini? Hah!”

Aku tidak suka bapak, dia suka membentak, mulutnya lebar dan nafasnya bau. Bau rokok, bau kopi, belakangan juga bau alkohol. Aku bergeming, sampai esok hari ayah tidak pernah pulang sampai hari ini.


“Halo, siapa namamu?”

Aku mulai terbiasa melihat kelakuan ibu yang tiap hari menelpon orang yang tak dikenal untuk mencari Mas Harsja. Hasilnya, tentu saja tetap nihil.


Di rumah ini aku hanya punya Timo. Kucing kecil yang pincang, Timo dirawat Pak Jana sampai sembuh lalu diberikan padaku. Kupikir dulu Pak Jana menyukai ibu makanya baik padaku. Tapi akhirnya Timo juga pergi, dia mati. Lehernya hancur terlindas motor yang melaju kencang di depan jalan. Padahal ibu sedang ada di rumah waktu itu. Ibu tidak menjaga Timo bahkan ibu tidak tahu Timo mati, setiap hari kalau tidak melamun ibu pasti menelpon,

“Halo, siapa namamu?”
“Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”

Sekarang aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Rasanya seperti ibu.


Kemarin, selesai menaburkan bunga ke makam Timo, aku tersentak, banyak orang berlarian dari ujung jalan. Wajah mereka pias, aku penasaran. Apa yang terjadi? Kulihat Pak Jana tengah memeluk seorang perempuan. Astaga! Pak Jana memeluk ibu.

Orang-orang bergidik ngeri, Pak Jana terengah melawan rontaan ibu. Pak Jana dan ibu menjadi tontonan. Ibu tersenyum pada kerumunan, ibu mencoba menggapai beberapa orang yang sebaya dengan Mas Harsja.

“Halo, siapa namamu?”
“Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”

Kata Pak Jana ibu kangen Mas Harsja. Kata orang ibuku gila. Aku merasa semakin mirip ibu.
  



 _______________________________________________________________


Catatan sikil: Selain biar ini blog gak melanggar kaidah dan ketentuan perblog-an saking jarangnya di update, fiksi ini juga ditulis buat ngeramein acaranya pesta blog iseng #15HariNgeblogFF.

Read more...