Pages

Rabu, 08 Februari 2012

Dari Fiksi Hamzah Fansuri ke Sastra Fiksi Maya

Ibarat anak, saya adalah anak durhaka yang jarang bgtnya ngurusin ortunya. Ibarat sholat, intensitas saya udah kayak sholat Idul Fitri yang cuman sekali setaun ngunjungin ini kamar maya. Ibarat Rumah, ini blog udah kayak rumah-rumah di pelem horor Oma Suzanna saking jarang dibersihinnya.

MySpace 

Pada Agustus 2001, gema Sastra bergaung di penjuru Batam. Joni Ariadinata hadir sebagai pembicara dalam Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Penulis Lampor yang jangkung dan botak itu tidak hanya mampir di Batam, bersama 60 orang sastrawan lainnya mereka mampir ke 10 provinsi dan menyambangi 39 kota di Indonesia.

Sayang, acara tersebut hanya diperuntukkan bagi sekolah SMA/Madrasah Aliyah, sedangkan saya dan anak SMP lain cuma bisa mendengar cerita. Tapi, secara umum sambutan terhadap acara tersebut sangat responsif dengan nada yang positif.

Belakangan saya tahu, SBSB lahir atas keprihatinan sastrawan-sastrawan terhadap merosotnya budaya membaca, mengarang, dan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia.

Sebenarnya kalau mau bercermin, kemandekan terhadap minat sastra tidak hanya terjadi di sekolah tingkat atas saja. Lihat di kampus-kampus yang punya Fakultas Sastra di kebanyakan negeri kita, jarang sekali ada kegiatan rutin mendatangkan sastrawan dan berdiskusi dengan mahasiswa. Padahal karya-karya mereka ber puluh tahun dijadikan riset, ditelaah, dianalisa, dikritik dan ditulis ulang dalam berbagai bahasa tanpa ada interaksi kesinambungan dengan penulisnya. Aneh luar biasa.

Tak bisa dipungkiri, banyak dari kita kurang ‘menikmati’ sastra. Kesan sastra yang njlimet dan susah dimengerti menjadi momok membosankan. Ditambah lagi kebiasaan yang menempatkan rak sastra di lorong ujung perpustakaan dengan pencahayaan yang remang dan apek debu menyesakkan hidung. Huff.. Makin malas aja bawaannya.

Taufik Ismail mengatakan: “Budaya membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di masyarakat kita sudah sampai pada taraf parah luar biasa, baik secara kualitatif maupun kuantitaf” [1]

Saya pernah menonton salah satu acara talkshow TV swasta yang tersohor yang menghadirkan Taufik Ismail sebagai narasumber, terang-terangan Pak Taufik mengatakan kalau bangsa kita akan ambruk jika generasi muda tidak ada yang perduli dengan sastra negeri sendiri. Baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis.

Hampir benar! Coba kita lihat, sudah tidak ada lagi pelajaran mengarang di kurikulum sekolah. Karya anomin pengarang Bugis yang ternama, I La Galigo yang lahir sekitar abad 16-17 dengan 1.000 halaman sastra indah tentang ihwal nenek moyang suku Bugis, justru rapi terdokumentasi bukan di negeri sendiri. Program SBSB yang notabene adalah program pendidikan dengan biaya tak sedikit justru didukung penuh oleh Ford Foundation, sebuah yayasan nirlaba Amerika. Yang terakhir belakangan ini, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bernasib mirip busa di lautan, terombang-ambing menunggu hancur.

Padahal, bisa dikatakan negeri kita salah satu penyumbang sastra hebat di dunia. Sebut saja ‘Gurindam 12’. Adalah sastra kuno berisi langgam nasehat tentang kearifan menjalani hidup yang dirangkum oleh pujangga hebat Melayu.

Padahal, jauh sebelum Gurindam 12 populer, pada akhir abad ke 16 seorang Hamzah Fansuri mempelopori sastra syair­ Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Dari tangan Hamzah Fansuri lahir beberapa syair indah, sebut saja: ‘Syair Perahu’, ‘Syair dagang’, ‘Syair burung Pingai’, dan beberapa karya lainnya.
Di kemudian hari, berkat isi dan keindahan bahasa puisi Hamzah Fansuri ini, beliau diberi gelar Bapak Bahasa dan Sastra Melayu sebagai penghargaan atas jerih payah dan mutu karyanya (Abdul Hadi W.M.: 1983).[2]

Lalu pada 1901, Sastra Indonesia diramaikan oleh lahirnya Sastra Drama yang ditulis oleh F. Wiggers, seorang peranakan Belanda dengan drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno yang kemudian disusul beberapa naskah drama pendek Melayu (lagi-lagi Melayu punya gaya).

Pada 1913, Rustam Effendi yang kita kenal sebagai Bapak Poejangga Baroe menulis Bebasari, sebuah drama dalam bentuk syair yang kemudian disusul dengan munculnya beberapa pujangga sastra drama lainnya seperti: Muhammad Yamin dan Sanusi Pane.

Meski sastra drama tak seramai novel, sajak maupun cerpen, sastra drama tetap ditulis dan dikembangka oleh teater-teater asuhan sastrawan abad 20 seperti: Rendra, Nano Riantiarno, Arifin C. Noor, Putu Wijaya hingga komunitas-komunitas teater kampus masa kini.

Baru pada 1929, lewat cerita pendek ‘Bertengkar Berbisik’ Muhammad Kasim memulai era cerpen Indonesia dengan menulis cerpen-cerpen jenaka. Sebelum menjamur seperti sekarang, cerita pendek pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad Kasim lewat kumcer karyanya yang berjudul Teman Duduk. Dan menurut Korrie Layun Rampan, Muhammad Kasim adalah Bapak Cerita Pendek Indonesia.[3]

Kini, di masa modern banyak lahir sastrawan-sastrawan hebat yang mempublikasikan karya mereka lewat dunia maya. Entah siapa yang memulai, tapi mirip jamur di musim hujan yang tumbuh di kayu busuk. Ramai. Berkat bantuan blog, sosial media, dan media penayangan virtual lainnya kita bebas membaca dan menulis selung waktu yang kita punya.

Sebagai penikmat sastra fiksi, saya merasa ruang maya semacam jendela ajaib yang menyegarkan sekaligus gratis untuk membaca kesegaran baru dalam berbagai genre sastra negeri ini sepuas yang saya mau.
Lewat blog pribadi maupun blog yang di kelola pihak tertentu, kini kita bebas membaca karya Seno Gumirah, Ayu Utami, Gunawan Muhammad, Dewi Lestari, Helvi Tiana Rosa, hingga Butet Kertarejasa, dan Hasan Aspahani. Tinggal buka buka blog mereka. Selesai. (okey, saya sengaja memasukkan nama terakhir karena beliau orang Batam. Ha ha ha) #Norak #PengenPamer

Menurut saya, makin banyak sastra diterbitkan-tanpa mengesampingkan kualitas dan kuantitas karya yang ditulis-dengan memanfaatkan media publikasi dengan tujuan beragam pula, tentu makin baik. Karena pembaca jugalah yang diuntungkan. 

Ilmu berserakan di mana-mana, tinggal bagaimana mengambilnya, memilah-milah kemudian, menyerap yang baik, dan mengimplementasikan dalam tindak nyata. Itu saja, tak payah-payah sekali, bukan?
Mengutip perkataan dahsyat Taufik Ismail, “ Petiklah sebanyak-banyaknya bunga dan buah untuk dibawa pulang, cangkoklah mana yang patut dicangkok lalu tanam di pekarangan rumah sendiri, mudah-mudahan tumbuh, berbuah ranum dan lezat citarasanya.”







catatan sikil:


[1] Pengamatan Taufik Ismail dalam Benarkah Bangsa Kita Telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis? (1997)

[2] Dikutip dari Buku Horison Sastra Indonesia, kitab 4 hal xx bagian 5 paragraf ke - 3
[3] Dikutip dari Buku Horison Sastra Indonesia Kitab 4 hal xx bagian 5 paragraf ke - 4
Read more...