Pages

Sabtu, 17 Agustus 2013

Isi Pikiran Saya Jika Nanti Saya Menjadi Presiden


Seorang teman maya, Imannuel mengajak kita semua mengikuti ‘Lomba Ngayal Jadi Presiden’ dari artikel yang dia share di jejaring sosial. Saya sempat ragu untuk ikutan karena dari kecil saya sama sekali tidak pernah mimpi jadi Presiden. Mimpi saya cukup satu: jadi Habibie!

Dulu sekali, awal sekolah dasar saya sungguh mengira kalau Habibie itu jenis pekerjaan. “Pokoknya engkau mesti belajar rajin, biar jadi Habibie. Di sekolah mesti pintar, biar jadi Habibie! Ajari adikmu belajar, biar kalian jadi Habibie” Ibu-ibu kerap memotivasi anaknya dengan kalimat yang mirip-mirip itu. Tentu saja kisah Habibie dan Pulau Batam tidak bisa dilupakan. Bahkan, kabar yang sempat beredar  katanya Pulau Batam punya Habibie. Maaf, cerita soal itu lebih baik lain waktu saja.

Untung bagi saya karena dari kecil hingga sekarang, saya menetap di Pulau Batam. Jadi saya sendiri secara tidak langsung punya kontak fisik dengan Habibie.

Adalah saya yang masih kelas dua sekolah dasar. Sekolah saya di SDN 020 Lubuk Baja, Nongsa (sekarang menjadi SDN 006). Tepat di depan Studio 21 lama, Raden Patah. Sekedar kalau ada yang penasaran dan mencari di search angine atau google map. Saya masuk sekolah pukul 10.00 pagi. Karena sudah telat-dan jarak rumah ke sekolah hanya sepelemparan batu-saya menyeberang tidak pakai mata. Karena menyeberang memang pakai kaki, tentu saja. Jadilah saya tertabrak iring-iringan mobil sedang Hitam dengan bendera Merah-Putih kecil di depannya.  

Entah bagaimana rasanya tertabrak mobil, jangan tanyakan saya. Singkat cerita, saya sudah ada dipelukan Om berpakaian serba gelap. Tubuh saya diambil dari aspal, digendong, dimasukin ke mobil. Yang saya ingat, tangan Om berpakaian gelap tadi berotot dan besar. Asli, saya ingat betul itu. Antara sadar dan enggak, saya cuma bilang. “Om, sepatuku copot” itu satu-satunya kalimat yang keluar dari mulut saya. Saya dibawa ke Rumah Sakit, diperiksa sebentar terus tidak sadar lagi. Kali ini, antara tidak sadar atau mengantuk saya lihat mama buka pintu. Mama jejeritan histeris sementara saya masih digendong Om tadi. Saya di tempat tidur, Om tadi pulang. Saya masih juga tidak sadar. Fakta terbaru, hobby saya selain tidur:’ tidak sadar’.

Beberapa hari kemudian saya tahu kalau Om yang bertanggungjawab itu adalah salah satu ajudan Pak Habibie. Dan mobil yang menabrak saya adalah mobil yang mengawal Pak Habibie.

Sejak kejadian itu,orang-orang berdatangan ke rumah menjenguk saya. Orang tua saya bercerita meluap-luap, mereka bangga. Saya yang tidak tahu apa-apa, ikutan bangga. Tetangga saya takjub. Segenap warga Pelita VII, kagum. Aneh, padahal, saya kena tabrak.

            Saya memelihara kebodohan hingga kelas tiga SD! Baru di situ saya tahu kalau Habibie itu bukan pekerjaan tapi nama manusia. Bapak Mentri Negara Riset Dan Tekhnologi: BJ. Habibie. Terimakasih saya haturkan pada Ibu Endang, guru SD yang mewajibkan murid menghapal nama-nama mentri dan kepada buku RPUL. Terimakasih.     


            Hingga empat hari lalu, lewat Immanuel saya tahu ada lomba ini. Kenapa akhirnya saya ikutan? Karena hadiah? Tentu saja, saya tidak ingin terlalu naif! Karena apalagi? Karena saya pikir, ada baiknya pemimpin kita yang sekarang menerima masukan terbuka dari masyarakat berbagai kalangan. Tak melulu hanya dari para Mentri dan pejabat negara yang kita hormati. Mengingat UUD 1945 pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” yang juga berkaitan dengan UUD 1945 pasal 30 ayat (1): “ Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”

Jadi saya pikir,  kita sudah dalam kategori ‘setengah’ ikut serta dalam usaha mempertahankan dan mengamankan negara meski hanya lewat masukan yang kita layangkan pada Bapak Presiden secara tidak langsung dan kita telah terjamin dalam Undang-undang. Undang-undang negara yang sah. Bukan main hebat kekuatan blogger masa kini, ya! Uhuk.

Ide saya mungkin tak sehebat orang lain yang dengan niat mulia ingin menjadikan Indonesia sebagai pemimpin di Asia. Luhur bukan main impian mereka. Semoga diijabah oleh Allah. Aamiin.

Sedang saya, seandainya pun saya yang menjadi Presiden, ide-ide saya masih sebatas hal-hal kecil saja. Periode jabatan kepala negara hanya lima tahun. Itupun kalau tak dipaksa mundur oleh massa. Berangkat dari hitung-hitungan pendek tadi saya memutuskan: karena sebagai Presiden dengan periode lima tahun tidak bisa mengubah negara menjadi lebih baik, terpikirlah saya bagaimana memperbaiki negara menjadi lebih baik dalam lima tahun. Pola pikir saya lebih cenderung memperbaiki daripada mengubah. Tidak ada yang perlu diubah di negara kita yang sudah sempurna ini. Yang kita butuhkan hanya perbaikan. Itu anggapan saya.


Pertama sekali yang akan saya perbaiki di awal masa jabatan saya adalah: Hukum.

Tidak ada pengecualian dalam hal apapun di depan hukum. Yang salah, dihukum. Yang benar, dilindungi. Apapun kasusnya, apapun persoalannya, Hukum yang mengatur. Hukum negara kita sudah sangat perfecto! Yang perlu diperbaiki, ya, perlakuan kita terhadap hukum itu sendiri. Hukum itu buta, maka hanya ‘orang buta’ yang takhluk pada hukum. Koruptor, gembong narkoba, pelaku pelecehan seksual, pembunuhan, maling ayam, maling coklat, mereka harus dihukum sesuai ketentuan. Kalau memang hukumannya harus tembak mati, lakukan. Kalau hukuman pencuri ayam memang 112 tahun, lakukan. Kalau hukuman pelaku pembunuhan hanya 3 hari, lakukan. Tidak ada tebang pilih.

Kedua, makmurkan bangsa. Tumpas kelaparan. Berantas Kurang gizi.

Saya ingat betul diakhir tahun 1990-an kita terkenal sebagai salah satu negara Penghasil Palawija terbesar di Asia. Hasil bumi kita melanglang buana hingga kemana, saya tidak tahu. Saking makmurnya pertanian kita, kala itu. Sekarang, tak sampai 20 tahun berlalu, kita negara pembeli beras Thailand yang “asal masak pokoknya makan, enak tak enak telan sajalah” Gula, Minyak goreng, bahkan wortel pun dari luar negeri. Kesannya memang luar negeri. Tapi martabat kita sebagai negara yang pernah jaya di masanya tentu terkoyak-koyak di mata dunia.

Mari kita nyanyikan sebentar lagu yang sering diputar di TVRI saat kita masih kecil:
Nasi putih terhidang di meja, kita santap s’tiap hari
Beraneka ragam hasil bumi, dari manakah asalnya?
Dari sawah dan ladang di sana, petanilah penanamnya
Terimakasih bapak tani, terimakasih Ibu tani
Tugas anda sungguh mulia.  

Sekarang? Coba kita tanya pada diri sendiri. Berapa banyak dari kita yang ingin jadi petani? Kamu. Kamu. Iya, kamu! Kenapa? Malu jadi petani?
Sekolah tinggi-tinggi masa iya jadi petani?! Kotor, lumpur, bau, keringat, lengket.!! Itu yang kamu bilang. Saya enggak tuh. Petani itu seksi. Keringatnya bahkan beraroma macho. Lumpur dan kotor-kotor di bajunya itu cowok banget. Pria petani pertanda dia perkasa dan berotot. Kita lebih bangga menjadi buruh pabrik di rantau orang daripada menjadi petani di kampung sendiri. Ayo ngaku…


Bedengan siap tanam (dok. Pribadi)
Orang tua saya makan gaji tiap bulan dari tempat mereka bekerja. Hidupnya terjamin secara teratur. Tidak ada peningkatan dalam penghasilan. Aman secara grafik.

Paman saya, adik ibu, dia petani. Hidupnya lumayan. Lumayan deg-degan, akunya. Dia harus memutar otak bagaimana menghasilkan tanaman tanpa banyak pengeluaran. Iklim tak menentu, struktur tanah yang gersang berbatu-batu jadi tantangan tiap hari. Mereka, para petani harus pakai otak.

Ssstt, petani jaman sekarang jarang yang miskin cong. Selamanya tanah tidak akan menghianati tuannya yang memperlakukan mereka dengan baik hati.



Gimana mau bertani, tanah saja tidak punya. Paman saya tidak punya tanah luas jadilah memutar otak menumbuhkan kebun hydroponik. Tanaman sumber uang sehari-hari (cash crops) seperti bayam, seledri, dia tanam di pipa-pipa panjang berisi air. Tanah hanya dipakai untuk tanaman tabungan jangka panjang (saving crops), tanaman penjaga tanah (cover crops), pun tanaman sumber tanaman (food crops). Lagi-lagi terbukti petani tidak hanya modal tenaga. Mereka lebih cerdas dari kita.

Rosella, tanaman penjaga tanah (dok. Pribadi)


Lain paman saya, lain pula seorang teman yang saya panggil Paman (usianya terlalu jauh jika saya sebut teman dan kesannya dia tua banget kalau saya sebut paman). Teman yang saya sebut Paman tadi juga petani di Cijapun. Dia tidak berotot, kurus kering, ompong, dan pemalas. Bayangkan bagaimana orang dengan gambaran seperti itu bisa sukses dan bertahan hidup dengan predikat petani! Tidak masuk akal. Tapi lagi-lagi, itulah petani. Mereka memakai otak. Kalau paman saya petani hydro maka teman yang saya sebut Paman ini lebih menjadi petani alami.


Saya pernah dibikin takjub dengan teorinya tentang prinsip dia sebagai petani malas dan pelit:

 “Bila nyawa sebatang saya hanya perlu makan nasi, dengan konsumsi beras taruh kata 300 gram/hari maka sebulan saya hanya perlu 9 kg. dalam setahun butuh 108 kg beras. Setiap kilogra gabah kering digiling akan mengalami susut bobot sebesar 25% (dalam kisaran paling parah, bisa susut 40%). Berarti bila matematika saya tak goblok benar, maka saya perlu 144 kg gabah per tahun.

Artinya sederhana, saya hanya perlu sawah seluas 144 meter persegi, bila dalam setahun hanya sekali tanam. Bila bisa 3 kali tanam dalam seahun, kebutuhan konsumsi beras saya pribadi bisa dipenuhi oleh tanah berlumpur seluas 48 meter persegi. Bila punya keluarga kecil dengan sati istri dua anak, ya tinggal kali empat.”

Lagi-lagi, petani juga meski pandai berhitung. Mereka paket lengkap. Punya otak dan punya otot. Dari kedua paman saya ini saya temukan fakta: bahwa untuk memperbaiki negeri, maka perbaiki generasinya terlebih dulu. Cukupkan gizinya, sehatkan badannya, maka otaknya akan encer.
Apalagi pertanian tidak hanya sebatas ‘petani tukang kebun’. Harga karet, cengkeh, kelapa, meroket tinggi belakangan ini. Petani karet, petani cengkeh, mereka semua makmur.

Saya juga tertarik untuk menjual budaya jika nanti menjadi Presiden.
Siapa yang tidak tahu Korean Wave? Budaya mereka bukan main mempengaruhi anak muda mulai dari kota sampai pelosok. Super Junior, MBLAQ, Big Bang, BoA, dan kumpulannya yang lain sukses menuai ketenaran. Dari artikel yang saya baca sekilas, mereka bisa sebesar ini sebagian besar karena campur tangan pemerintah dalam promosi.

Pulau Jeju, Pulau Nami, Distrik Gangnam, mereka promosikan secara samar dalam balutan drama-drama dan video klip yang sering kita tonton. Bahkan banyak dari lokasi syuting mereka yang jadi pusat kunjungan wisata.

Indonesia sendiri kurang apa? Kita punya alam, adat, ragam bahasa dan sumber daya yang lebih menjual. Setiap jengkal daerah di negeri kita ini berpotensi unggul, hanya bagaimana pemerintah setempat menggali potensi daerahnya itu sendiri dengan tetap diawasi pelaksanaanya. Belajarlah kita dari Bali, Bunaken, Raja Ampat, dan daerah yang kaya akan turisnya. Permudah akses tujuan wisata, lestarikan adat dan lingkungannya lalu jual di pasar wisata.   


Cerdaskan anak bangsa.

Sekolah gratis, perbanyak beasiswa, dan dukung bakat serta prestasi anak muda. Terlalu banyak bakal dan keunggulan anak bangsa yang tidak mendapat dukungan yang pantas dari pemerintah kita saat ini. Siapa yang tahu kalau negara kita punya Gita Novalista, anak pedalaman Bajo yang berhasil meraih penghargaan Certificate Of Nomination Best New Comer atau pemeran pendatang baru terbaik dalam the 6th Asian Film Awards Maret 2012 di Hongkong.
Prestasi mendunia tanpa perhatian cukup selamanya hanya akan menjadi berlian yang terkubur lumpur. Itu baru satu anak dari satu cabang prestasi. Kita punya banyak anak lain namun luput dari pandangan.

Majukan perdagangan dan ekonomi
Tahu tekhnik negara maju untuk menaikkan pendapatan negara mereka? Memperlakukan kebijakan proteksionisme. Semacam kebijakan yang memberlakukan pengurangan tarif perdagang antar negara. Oke, sederhanya begini (saya kutip dari blog yangmencerahkan):

Negara-negara berkembang menawarkan konsensi tariff pada negara maju, sedangkan negara-negara maju akan menukarkan konsensi tersebut dengan produk-produk yang menjadi kepentingannya. Negara berkembang tetap mendapatkan keuntungan dari pengurangan tariff yang dibuat oleh negara maju di bawah klausul the most-favoured-nation. Tarif yang ditetapkan oleh negara-negara maju ini  menurun pada awal tahun1960-an, dengan barang atau produk dagang manufaktur impor dari negara-negara berkembang. Namun, tetap saja, jumlah tariff yang ditetapkan ini masih dalam kategori tinggi bila dibandingkan dengan tariff rata-rata barang atau produk manufaktur dari negara maju (Balassa, 1965 dalam, t.t).

Jadi, itulah yang akan saya lakukan untuk memperbaiki keadaan negara kita saat ini jika harus pada saya kemajuan negara diserahkan. Ide-ide dari teman-temanlain pastilah lebih besar lagi. Dan tidak ada salahnya jika banyak ide kita gabung menjadi satu, karena saya sangat percaya banyak kepala lebih baik dari hanya satu kepala.

Terlalu lama, kita-para generasi muda-mengeluh mempersoalkan kebobrokan negeri tanpa didasari perbaikan dari diri sendiri. Semoga, hajatan yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Sanjai ini menjadi pemicu kita untuk membuka mata demi masa depan kita yang lebih banyak.

Bual saya ini dalam rangka meramaikan lomba Festik Sulsel Sinjai yang diadakan oleh Komunitas Blogger Sinjai.






FesTIK


KBS












Read more...