Bodohlah orang - orang yang tidak suka berbelanja di Mall !!! Akan tambah terlihat bodoh lagi jika mereka lebih menyukai pasar rakyat !! Apa yang bisa didapatkan dari berbelanja di Pasar bau busuk itu ? Paling hanya harga yang sedikit murah 1000 rupiah saja, selebihnya ? Tidak ada apa - apa. Oh iya, orang - orang itu akan mendapatkan aroma menusuk dari perut - perut ikan yang membangkai berhari - hari, akan berdesak - desakan sesama mereka yang berkeringat - saja pun - amis.
Hal yang paling dia sukai adalah menuntaskan penat di mall. Di mall ada pusat perbelanjaan, tempat makan yang memutar musik merdu yang merayu, ada kafe, ada internet, ada orang - orang yang berbicara cerdas, ada tempat bermain yang luas, ada taman - taman dan tempat makan dan minum dengan pelayanan yang ramah - dan pastinya juga - cerdas. Intinya, tidak ada yang kurang dari tempat seperti ini, kawan.
Jika berbelanja hanya dianggap rutinitas maka mampuslah keindahan. Pergi saja kalian ke pasar bau itu. Tempat para kuli kasar pengangkut karung beras bertampang sangar. Pelototilah dinding - dinding pembatas yang hanya berlapis poster - poster usang para pejabat. Belilah itu kangkung, bayam dan terasi. Masak dan tumpukalah didalam perut.
" Melepas penat itu buat ku tidak sekedar menyandarkan punggung pada kursi saja, Jason. Melepas penat itu harus disertai dengan kenyamanan yang akhirnya mampu memulihkan suasana hati. Seperti sekarang. Duduk di salah satu kafe di Mall ini, melihat orang - orang berpakaian bersih, makan dan minum sambil membahas urusan kita. Kau lihat itu Janet ? Kau lihat orang disudut yang membaca buku roman itu ? Inilah yang dinamakan peradaban, kawan. Ha - ha - ha - ha. Peradaban, ya peradaban. Peradaban yang bermartabat. Bukan seperti para preman pasar yang makan diwarung penuh debu dan lalat itu." A Lyang menyalakan rokok bertembakau rendah, menghembuskan asapnya perlahan - lahan. Jason dan Janet yang disebut namanya itu sedang asik mengaduk makanan dengan garpunya. Sambil sesekali menoleh pada A Lyang yang berbicara.
Merekalah remaja yang menjelang usia 21 tahun, beberapa bulan lagi. Remaja bermartabat dari keluarga konglomerat. A Lyang masih melanjutkan ocehannya " Kalian tau kenapa preman - preman pasar itu bertingkah liar dan brutal ? Mereka jarang membaca. Makanya, cepat tersulut emosi, mirip hewan saja lagaknya.!! Huh!!! "
Tentu saja itu sebuah tuduhan A Lyang tanpa landasan dari buku manapun yang pernah dibaca nya. Janet sempat bergidik mendengar ucapan sahabat cerdas nya itu. Dari mereka bertiga, memang A Lyang lah yang paling senang membaca. Rasanya belum ada buku yang belum di baca A Lyang. Tentu saja kesimpulan ini didapatnya setelah melihat tumpukan buku di perpustakaan pribadi A Lyang yang segunung. Bahkan A Lyang yang bukan belajar perekonomian pun mampu membaca pemikiran Adam Smith dan John M. Keynes, dua ekonom hebat yang berpola pikir saling tolak belakang. Hebat benar teman nya yang satu ini. Tak kurang ibarat perpustakaan berjalan.
Lain A Lyang, lain pula Jason dimata Janet. Bagi Janet, Jason adalah teman sekaligus tempatnya melabuhkan hati, meski Jason lebih memilih mengencani gadis - gadis yang selalu beda tiap minggu nya. Janet tak pernah ambil pusing, toh ujung - ujungnya pasti kembali lagi padanya. Jason suka membaca juga, meski tidak serutin A Lyang. Jason menganggap bahwa perpaduan antara buku, musik, dan minuman, merupakan perpaduan penuh birahi dan berkelas. Dari pandangan nya ini lah dia tidak melerai Jason sekalipun untuk mendekati tiap meja gadis - gadis yang tertawa memancing gairah.
Sedangkan Janet sendiri, dia mencoba melihat sosok perempuan berpakaian casual pantulan dari dirinya sendiri dicermin sebelah A Lyang. Aku tidak beda jauh dari kedua orang ini, pikirnya. Dia ingat perbincangan mereka bertiga, dua hari lalu dibalkon rumahnya. " Kalian tau ? Aku tidak pernah kekurangan uang. Orang tua ku itu, cih!!! Mereka tidak pernah putus mengirimi ku uang, bahkan mungkin sampai mereka mati sekalipun..!! Mereka pikir cukup dengan uang saja membungkam mulut dan hati ku. Tanpa mereka tau bahwa aku muak dengan keluarga ini. Keluarga anjing !! "
Entah sudah berapa lama mereka duduk di kafe ini. Ini sudah kali kedua mereka memesan light-joy coffee dengan balutan musik smooth-jazz. Baru saja mereka akan beranjak dari kafe ini. Tiba - tiba. Praanggg.!! Batu setelapak tangan meluncur melewati kepala Janet. Terasa sekali angin melewati kepalanya bersamaan dengan terbangnya batu tadi, pertanda batu itu dilempar dengan kekuatan cukup keras.
"Bakar.. Bakar...!!! Rampas.. Rampas.. Rampas semua..! " Janet terpaku ditempatnya. Tak mampu berfikir.
" Lari, lari Janet..!!! Ayo lari...!!! " Panik A Lyang dan Jason menarik tangannya, mengajaknya pergi. A Lyang dan Jason memapah tubuhnya, menyeret lengannya, terseok-seok menyelamatkan kepala dan tubuh dari lemparan batu, besi dan juga pentungan kayu. Mereka berusaha keluar, lari ke luar. Tersengal-sengal. Gemetar, dan puncaknya, tentu saja ketakutan. Masih terdengar jelas bantingan benda-benda keras, amukan kayu, kemerompyang kaca-kaca, botol-botol melayang, kursi-kursi dan meja remuk dihancurkan, teriakan orang-orang kehilangan akal “ Tolong.. Tolong..!!! " Riuh rendah beradu dengan dentingan benda terpantul disetiap ruas ruangan.
" Hancurkan..!!! Bakar!!! Musnahkan !!! Kapitalis tak tau diri !!!” Bakar? Ya Tuhan. Dosa besar apakah yang dilakukan sebuah tempat bernama Mall ? Mereka bukan pemilik. Mereka hanya pengunjung dan peminat setia. Itu saja.
Hal yang paling dia sukai adalah menuntaskan penat di mall. Di mall ada pusat perbelanjaan, tempat makan yang memutar musik merdu yang merayu, ada kafe, ada internet, ada orang - orang yang berbicara cerdas, ada tempat bermain yang luas, ada taman - taman dan tempat makan dan minum dengan pelayanan yang ramah - dan pastinya juga - cerdas. Intinya, tidak ada yang kurang dari tempat seperti ini, kawan.
Jika berbelanja hanya dianggap rutinitas maka mampuslah keindahan. Pergi saja kalian ke pasar bau itu. Tempat para kuli kasar pengangkut karung beras bertampang sangar. Pelototilah dinding - dinding pembatas yang hanya berlapis poster - poster usang para pejabat. Belilah itu kangkung, bayam dan terasi. Masak dan tumpukalah didalam perut.
" Melepas penat itu buat ku tidak sekedar menyandarkan punggung pada kursi saja, Jason. Melepas penat itu harus disertai dengan kenyamanan yang akhirnya mampu memulihkan suasana hati. Seperti sekarang. Duduk di salah satu kafe di Mall ini, melihat orang - orang berpakaian bersih, makan dan minum sambil membahas urusan kita. Kau lihat itu Janet ? Kau lihat orang disudut yang membaca buku roman itu ? Inilah yang dinamakan peradaban, kawan. Ha - ha - ha - ha. Peradaban, ya peradaban. Peradaban yang bermartabat. Bukan seperti para preman pasar yang makan diwarung penuh debu dan lalat itu." A Lyang menyalakan rokok bertembakau rendah, menghembuskan asapnya perlahan - lahan. Jason dan Janet yang disebut namanya itu sedang asik mengaduk makanan dengan garpunya. Sambil sesekali menoleh pada A Lyang yang berbicara.
Merekalah remaja yang menjelang usia 21 tahun, beberapa bulan lagi. Remaja bermartabat dari keluarga konglomerat. A Lyang masih melanjutkan ocehannya " Kalian tau kenapa preman - preman pasar itu bertingkah liar dan brutal ? Mereka jarang membaca. Makanya, cepat tersulut emosi, mirip hewan saja lagaknya.!! Huh!!! "
Tentu saja itu sebuah tuduhan A Lyang tanpa landasan dari buku manapun yang pernah dibaca nya. Janet sempat bergidik mendengar ucapan sahabat cerdas nya itu. Dari mereka bertiga, memang A Lyang lah yang paling senang membaca. Rasanya belum ada buku yang belum di baca A Lyang. Tentu saja kesimpulan ini didapatnya setelah melihat tumpukan buku di perpustakaan pribadi A Lyang yang segunung. Bahkan A Lyang yang bukan belajar perekonomian pun mampu membaca pemikiran Adam Smith dan John M. Keynes, dua ekonom hebat yang berpola pikir saling tolak belakang. Hebat benar teman nya yang satu ini. Tak kurang ibarat perpustakaan berjalan.
Lain A Lyang, lain pula Jason dimata Janet. Bagi Janet, Jason adalah teman sekaligus tempatnya melabuhkan hati, meski Jason lebih memilih mengencani gadis - gadis yang selalu beda tiap minggu nya. Janet tak pernah ambil pusing, toh ujung - ujungnya pasti kembali lagi padanya. Jason suka membaca juga, meski tidak serutin A Lyang. Jason menganggap bahwa perpaduan antara buku, musik, dan minuman, merupakan perpaduan penuh birahi dan berkelas. Dari pandangan nya ini lah dia tidak melerai Jason sekalipun untuk mendekati tiap meja gadis - gadis yang tertawa memancing gairah.
Sedangkan Janet sendiri, dia mencoba melihat sosok perempuan berpakaian casual pantulan dari dirinya sendiri dicermin sebelah A Lyang. Aku tidak beda jauh dari kedua orang ini, pikirnya. Dia ingat perbincangan mereka bertiga, dua hari lalu dibalkon rumahnya. " Kalian tau ? Aku tidak pernah kekurangan uang. Orang tua ku itu, cih!!! Mereka tidak pernah putus mengirimi ku uang, bahkan mungkin sampai mereka mati sekalipun..!! Mereka pikir cukup dengan uang saja membungkam mulut dan hati ku. Tanpa mereka tau bahwa aku muak dengan keluarga ini. Keluarga anjing !! "
Entah sudah berapa lama mereka duduk di kafe ini. Ini sudah kali kedua mereka memesan light-joy coffee dengan balutan musik smooth-jazz. Baru saja mereka akan beranjak dari kafe ini. Tiba - tiba. Praanggg.!! Batu setelapak tangan meluncur melewati kepala Janet. Terasa sekali angin melewati kepalanya bersamaan dengan terbangnya batu tadi, pertanda batu itu dilempar dengan kekuatan cukup keras.
"Bakar.. Bakar...!!! Rampas.. Rampas.. Rampas semua..! " Janet terpaku ditempatnya. Tak mampu berfikir.
" Lari, lari Janet..!!! Ayo lari...!!! " Panik A Lyang dan Jason menarik tangannya, mengajaknya pergi. A Lyang dan Jason memapah tubuhnya, menyeret lengannya, terseok-seok menyelamatkan kepala dan tubuh dari lemparan batu, besi dan juga pentungan kayu. Mereka berusaha keluar, lari ke luar. Tersengal-sengal. Gemetar, dan puncaknya, tentu saja ketakutan. Masih terdengar jelas bantingan benda-benda keras, amukan kayu, kemerompyang kaca-kaca, botol-botol melayang, kursi-kursi dan meja remuk dihancurkan, teriakan orang-orang kehilangan akal “ Tolong.. Tolong..!!! " Riuh rendah beradu dengan dentingan benda terpantul disetiap ruas ruangan.
" Hancurkan..!!! Bakar!!! Musnahkan !!! Kapitalis tak tau diri !!!” Bakar? Ya Tuhan. Dosa besar apakah yang dilakukan sebuah tempat bernama Mall ? Mereka bukan pemilik. Mereka hanya pengunjung dan peminat setia. Itu saja.
Tapi dia tetap saja terdiam. " Janet.. Janet..!!! Lari.. cepat..!!! Kita tidak punya waktu berlama - lama disini. Pake otakmu !!!" Suara Jason dan A Lyang seolah terdengar samar dan jauh. Entah apa lagi yang dikatakan dua temannya itu. Yang jelas, Janet merasakan tubuhnya semakin ringan dan terbang, melayang dengan wajah A Lyang dan Jason yang memudar. Tapi dia tau, pelipisnya mengalirkan cairan panas. Darah. Dimana - mana tercium amis darah.
0 komentar:
Posting Komentar