Pages

Sabtu, 19 Februari 2011

Rest In Peace: Setelah Pemakaman.

Kejadiannya tiga hari lalu.
16 Februari, jam 2.30, dini hari.
Sodara aku meninggal.
Umurnya muda banget, 15 tahun.


Pagi itu, ngantuk yang biasanya masih betah-betah aja hinggap di mata, langsung hilang pas pertama kali dapat telpon dari sodara mama.

Kita semua masih diam di tempat tidur masing-masing waktu mama bilang, "Nisa meninggal." Innalillahi wa inna ilaihi rojiuunn..

Aku sendiri beneran gak habis pikir. Gimana dia bisa meninggal? Dua hari lalu masih ketawa-tawa manjat pohon Jambu sambil makan Donat. Aku terdiam lama. Lama banget. Selama ini aku selalu berfikir kalo orang yang meninggal itu, kalo gak udah tua banget, ya pasti yang sebelumnya sakit. 

Bukannya aku gak percaya ama kematian yang bisa datang ke siapa aja dan kapan pun. Tapi, dia masih muda. Gak sakit juga. Well, selama ini aku selalu nganggap kematian itu masih jauh dari hidup aku. Aku bakalan mati karena tua! Jarang banget juga kan orang mati di bawah 30 tahun. Meninggalnya sodara aku ini nyadarin aku banget kalo umur gak ada yang tahu. Kita gak tau kapan kita terakhir kali berbuat 'sesuatu'.

Begitu tersiar kabar tentang meninggalnya sodara aku ini, rame banget yang datang. ngelayat Mulai dari guru-guru dia, teman SD, teman SMP sampe teman SMA nya satu sekolah datang semua. Bayangin aja gimana sesaknya masjid tempat nyolatin dia dipenuhi ama siswa satu sekolahan, ditambah guru, sodara, ada tetangga juga. 


Dia masih terlalu muda
Sorenya, jam 4 sehabis Ashar dia diantar ke pemakaman. Dari sekian banyak teman dan sodara yang ikut ke pemakaman itu, sebagian orang  ada yang aku kenal. Ada sahabatnya dia, ada tetangga yang gak terlalu dekat, ada yang udah kenal dari kecil, teman ngajinya jaman SD, entah siapa lagi. Tujuan mereka jelas cuma satu: Mereka itu pengen ngeliat dia untuk yang terakhir kalinya. Mereka semua sayang dan perduli ama sodara aku itu. 

Gak sedikit dari yang hadir itu menyayangkan tentang hidup dia yang terlalu singkat. Tentang dia yang periang. Tentang dia yang punya cita-cita. Tentang dia yang cerdas. Tentang dia yang hari sebelumnya masih nongkrong di kantin sekolah. Iya! aku sadar banget kalo kita gak boleh menyayangkan semuanya. Tuhan udah punya ketentuan. Dan sodara aku itu udah ngejalanin aturan mutlak dari Tuhan.

Selama ini, cerita tentang kematian adalah sesuatu yang sering sekali kita sangkal keberadaannya.
Dan, kematian bukan tema yang enak buat dibahas.

Sampe pada malam tadi, acara Tahlilan hari ke tiga di rumahnya. Duduk diantara orang-orang yang lagi ngebacain do'a buat dia, ngebuat aku berfikir. You know what? Aku berfikir, gimana kalo aku nanti yang meninggal.

Apa yang bakal diomongin orang tentang aku? Berapa banyak yang ngedo'ain? Berapa banyak orang yang rela susah payah dengan ikhlas nyari parkiran cuma buat ngaterin aku ke liang lahat? Apa bakalan ada yang datang? Berapa banyak yang ngerasa kehilangan aku? Seberapa penting arti aku buat mereka selama aku hidup?
Setelah aku dikuburin nanti, apa masih ada yang datang sesekali ngebacain yasiin?  

Tadi, sepulang dari Tahlilan tiga harinya dia, sepanjang perjalanan pulang aku ngerasa sesuatu yang janggal (entah apa istilahnya) nusuk banget di hati aku. Aku ngerasa sedih, ngerasa kecil, ngerasa kerdil, ngerasa gak bisa apa-apa kalau dihadapkan pada kematian.

Selama hidup, apa yang udah aku lakuin? Apa hal berharga yang pantas buat aku dianggap jadi 'manusia'? Suatu hari nanti kita semua bakalan mati, gak terkecuali aku. Tapi seenggak-enggaknya, sebelum mati aku pengen buat hidup aku ada gunanya. Sebelum mati, aku mau ngambil semua kesempatan baik yang udah diletakin Tuhan tepat di depan muka aku. Menikmati hidup, menebar manfaat. Hidup juga cuma sekali ini, kan?

Aku gak mau selama aku hidup, aku cuma jadi manusia yang gak ada manfaatnya selain menuh-menuhin bumi.
Aku gak mau jadi orang kebanyakan, yang gak tahu apa tujuan hidupnya selain makan, minum, tidur, numpang boker, ngomong yang gak penting dan bikin onar. What for?
Aku cuma mau jadi orang yang dianggap berguna.
Seminim-minimnya, I wan’t to die special.
Sodara aku itu.
Satu dari sodara terbaik yang gak akan aku lupain.

Seenggak-enggaknya, ada satu yang paling aku ingat dari dia.
Senyumnya.
Senyum yang selalu tulus.
Senyum riang di wajah manis dia
Aku gak bakalan gampang ngelupain dia gitu aja.

Sodara aku itu sekarang udah tenang di tangan Tuhannya.

Selamat jalan Annisa. 

Annisa ( kerudung Putih)

                 Rasanya, sulit sekali menuliskan sesuatu yang begitu serius.
Read more...

Selasa, 15 Februari 2011

Surat untuk bapak pemilik uang banyak


Dear 
Bapak Pemilik Mall
di Batam 


Apa kabar, pak? Semoga bapak dan keluarga dalam keadaan sehat tak kurang satu apapun. Amiinn.

Begini, pak. Ada satu hal yang membuat saya kefikiran dan gelisah tentang niatan Bapak yang akan membangun mall baru yang namanya bapak buat terlalu gembar-gembor untuk menarik pelanggan.

Kenapa harus membangun mall untuk mengeruk uang, pak? Bapak pasti tahu kalau di Batam, mall itu sudah berserak serupa kepinding di sela tempat tidur yang tak pernah dijemur bertahun tahun di tempat lembab.

Ah, saya lupa! Menurut saya, mungkin bapak sudah tak menghitung sebanyak apa mall yang berserak itu. Karena saya duga, bapak hanya pendatang pemilik uang berkoper-koper. Nah, mari saya ajak Bapak menandanginya satu persatu mall yang saya bilang tadi.

Kita mulai dari ujung Batam sebelah pelosok dulu ya, pak. Nah, itu dia yang saya bilang tadi! Namanya Sagulung Mall, pak. Baru dibangun sekitar setahun lalu.
Berjalan lagi, kita bertemu dengan Aviari Plaza dan sedikit kekanan, itu! Itu namanya Mitra Mall. Putar haluan lagi, kita akan kekiri. Dan terlihatlah itu puncak SP Plaza, trus sedikit lagi akan kita jumpai mall baru buka-yang belum genap-satu tahun. Ada kolam renang dan water boomnya loh.

Lanjut lagi, kita lurus saja, sampai sekitaran Muka Kuning. Ada Batamindo Plaza dan Hey! Itu dia Panbil Mall dan Plaza nya, Pak.

Keren ya, Pak. Dan sekarang Bapak Mau bangun Mall lagi disimpang enam arah Batam Centre dekat Pos Polisi dengan mengusung nama Pulau kita. Mantab! Padahal, tak sampai dua kilometer didepan sana ada mall yang katanya Mega.

Hahahaha.. Saya terbahak, pak.

Pak, perkiraan saya, agaknya bapak membangun ruang kota bertingkat itu guna mencukupkan kebutuhan orang-orang kota yang butuh keramaian. Betul tak ya, Pak?

Mari saya bisiki satu rahasia besar pada bapak. Mari sini, dekat lagi, Pak.

Kalau bapak mau tahu, orang kota yang butuh sarana keramaian itu sebetulnya hatinya saja yang kesepian, pak. Bapak bangunkan pun seratus mall lagi tetap akan sepi saja hati mereka. Yang mereka butuhkan cuma tempat rekreasi segar dan hijau. Bukan bangunan berpendingin buatan begini!

Pak, cobalah ubah sedikit cara pandang bapak ke orang-orang kesepian tadi. Buatkanlah semacam hutan wisata atau arena permainan menantang layaknya Pasar Malam Tradisional yang saban bulan ramai itu.
Bukan hanya menggunduli lahan saja yang Bapak tanda tangani. Memang, dengan membuka mall, berarti Bapak sudah berpartisipasi mengurangi angka pengangguran dan menambah uang negara.

Pak, pernah bapak dengar cerita kami di masa lalu, sekitaran dua puluh tahunan silam? Kalaulah belum, mari sini, saya tak pelit berbagi cerita.

Dulu, sebelum bapak mereka-reka bagian gedung kotak-kotak berpendingin itu, kami telah lama akrab dengan tanahnya. Kami bergulingan dan bermain apa saja disana yang -pasti- tak pernah dirasakan oleh anak bapak sekarang ini.

Kami mencungkili tanah membuat lubang agar bisa berpatok lele, kami menggambari tanah agar bisa bermain jengket. Kami juga bebas berlarian bermain sembunyi-sembunyian di malam hari yang terang bulan, untuk kemudian beragam jenis goresan luka  di paha dan kaki kami hanya karena bermain gobak sodor begitu gembiranya.

Lalu, bapak diam-diam mulai meniupkan angin surga ke orang tua kami yang udik dan tak paham istilah Pembangunan berkedok Pembodohan. Maka, hilanglah semua permainan kami itu, pak.
Sudah terlambat memang kalau bapak ingin mengubah anggapan orang tua kami tentang Pembangunan berkedok Pembodohan yang telah bapak doktrinkan jauh-jauh hari dulu.

Tapi, pernahkah bapak bayangkan bagaimana nasib cerita masa kanak-kanak anak bapak yang tak sebahagia kami dulu? Masa kecil kami, tak sesuram masa kecil mereka kini yang tak pernah menyentuh lembutnya tekstur tanah yang wangi.

Lalu, suatu hari nanti, mulut anak-anak Bapak itu akan menganga lebar mendengar cerita kami dan istilah gobak sodor, patok lele dan lainnya.

Jika saat tiba, mereka akan merapatkan tangannya pada paha-paha kami-saking berdesakannya mereka-demi mendengar satu dua bualan masa kecil kami yang bahagia.
Dan kami yang beruntung ini, akan menatap mata mereka dengan tatapan peri baik hati pemberi harapan berbagi cerita.

Semakin meleleh ingin mereka mendengarkan kami, semakin iba kami pada mereka. Lalu, karena tak kuasa untuk berbagi, kami pun dengan jumawa yang paling pongah, akan beranjak meninggalkan mereka yang mengharap cerita indah masa lalu hingga terbawa kedalam mimpinya.
Itulah saat dimana kami menang melawan bapak. Lewat anak-anak bapak yang masa kecilnya telah bapak rampas lewat tangan bapak sendiri.

Sebelum semua angan licik kami terwujud, baik pertimbangkan lagi Hutan Wisata untuk kota kita ini, pak. Atau sekedar membuatkan pohon beberapa batang saja di depan mall milik bapak itu. Saya, bapak, kita, mungkin belum terlalu merasakan dampak dari pohon yang tertebang atau efek dari pendingin mall yang merusak ozon kita. Imbasnya akan dirasakan oleh anak cucu bapak nantinya. 


Baik fikirkan lagi, bagaimana nanti sedihnya melihat mereka harus berpakaian pelindung tubuh kemana-mana agar terhindar dari sinar matahari. Atau bagaimana nanti polosnya mereka bertanya tentang pohon karet, pohon pisang, pohon Nenas dan pohon Rambutan yang sudah tidak ada lagi pada masa itu.

Kalau masalah tenaga kerja yang jadi pikiran Bapak, Hutan Wisata pun membutuhkan tenaga kerja untuk merawat tanaman, membersihkan kolam ikan, untuk merawat bunga, untuk mengubah sampah menjadi pupuk dan lain sebagainya, Pak.


Semuanya berpulang pada Bapak pendatang pemilik uang berkoper-koper.


_______________



Read more...