Dia terlihat agak kurus, bagian pundaknya terbuka dan ada kulit yang terkelupas, pasti perih kalau terpanggang matahari. Kulirik dia sekali lagi. Dulu otot tangannya tidak menyembul serupa itu, ada bintik-bintik hitam sekarang diwajahnya.
Kuperhatikan sekali lagi, caranya menyeruput kopi perkasa sekali. Dia kekasihku, ayah dari calon anak ini. Bukan! Bukan suamiku, kami belum menikah. Hanya sesekali dia mengunjungiku, saat udang yang kami ternak akan dipanen.
Dia datang kesini, mau memberi kejutan katanya. Aku tersenyum mendengar kata kejutan. Orang papah seperti kami ini tak perlulah mendapat kejutan. Tiap hari, saban pagi aku selalu mendapat kejutan dipasar pagi. Harga cabai yang menanjak tajam seakan susul menyusul dengan harga gula. Bandrol sabun mandipun tak mau kalah. Gengsi jika tak ikutan naik.
*****
Lelakiku itu, mampu membuatku melayang tiap kali berbicara. Mungkin itulah yang membuatku ikhlas dibuntinginya. Tak pernah ku paksa dia menikahiku. Dia akan berang, lalu murka. Serupa setan kalau sudah begitu, baik kudiamkan saja.
Kretek itu masih tergantung disudut bibirnya saat dia berbicara sambil menjahit jala.
“Aku ada kejutan untukmu,tapi nanti kalau semua udang selesai kita panen.”
“Apa?”
“Ah, kau ini. Bukan kejutan kalau diberi tahu.”
“Aku ada kejutan untukmu,tapi nanti kalau semua udang selesai kita panen.”
“Apa?”
“Ah, kau ini. Bukan kejutan kalau diberi tahu.”
Aku tersenyum, geli.
*****
Dia datang lagi sepagi ini. Membawakan baju hamil berwarna ungu. Aku suka, seleranya bagus memang.
“Kenapa ungu? Seperti warna janda.”
“Warnanya bagus untuk kulit putihmu. Nanti sore aku kesini lagi, bersiaplah. Pakai baju itu nanti.”
“Kita kemana?”
“Kejutan.”
“Warnanya bagus untuk kulit putihmu. Nanti sore aku kesini lagi, bersiaplah. Pakai baju itu nanti.”
“Kita kemana?”
“Kejutan.”
Aku tersenyum, kali ini sumringah. Lagi-lagi kejutan.
*****
Pasar malam ini ramai, hiruk pikuk memekakkan. Aku tak betah, tumitku yang membengkak tak nyaman dibawa berjalan seperti ini.
“Aku capek, kita pulang saja.”
“Sebentar lagi, masih ada kejutan untukmu. Tunggu disini.”
“Sebentar lagi, masih ada kejutan untukmu. Tunggu disini.”
Aku mengalah. Dia pergi setengah berlari, menjemput kejutan katanya. Aku asyik membayangkan kejutan apalagi.
Mungkin kalung emas? Mana mungkin, uang penjualan udang hanya mampu membeli mas suasa dua setengah gram. Tentu saja aku tau, tadi kami menanyakan pada toko mas dipojok pasar malam ini.
Atau, baju daster lagi? Ah, tidak! Aku tadi bilang lebih baik beli perlengkapan bayi saja.
*****
Sepuluh menit lelakiku itu pergi. Belum juga kembali. Sesuatu yang dingin tertempel dileherku. Seseorang menempelkannya dari belakang. Aku tak menoleh, jadi juga dibelinya kalung imitasi itu! Aku tersenyum.
Orang-orang melihatku bingung. Aku pikir ini pasti pernah mereka lihat ditv, adegan cinta dari kekasih untuk wanitanya. Aku semakin bangga.
Ada aroma wangi tercium dari pundakku, bukan bau tubuh lelakiku. Dia pasti sengaja membeli minyak wangi hanya untuk malam ini. Indah sekali! Aku makin tersanjung.
*****
Aku terhanyut suasana kejutan ciptaan lelakiku itu. Aku semakin melayang, tak mampu lagi mencerna keadaan.
Lamat-lamat kudengar suara dibalik tengkukku, seperti desauan angin.
“Ini akibatnya jika merebut suamiku, jalang!”
Sempat kulihat orang berlarian sambil berteriak. “Ada pembunuhan! Ada pembunuhan!”
Nafasku berpaju dengan darah yang menyembur dari batang leherku.
___________
0 komentar:
Posting Komentar