Sumber gambar : michaeldennisadam.blogspot.com |
Dia melangkah pelan
menyusuri lantai papan rumahnya yang licin dan dingin. Kamarnya ada di lantai
dua, bersebelahan dengan kamar tidur kakaknya. Tepat di depan kamar tadi ada
pintu yang kalau dibuka akan langsung menuju balkon tempat mesin cuci dan
gantungan baju lembab, kolor basah, dan kutang setengah kering tersampir
seperti rumbai-rumbai pesta ulang tahun.
Dulu, dia dan
kakaknya sering bersembunyi di balik mesin cuci itu sekedar mencuri-curi
menghisap rokok. Berlagak seperti Steven Spilberg di film laga. Menghisap cerutu
penuh gaya, menahan asapnya dalam mulut lalu menghembuskan ke udara dalam bentuk
bulatan-bulatan unik. Dan sepertinya, punggung mesin cuci bukanlah tempat yang
nyaman untuk bersandar saat merokok.
Dia masih ingat,
hari itu Minggu sore. Ayah dan Ibu sedang tak di rumah, kesempatan baik untuk
merasuki pikiran kakaknya agar mengajarinya merokok. Pelan-pelan mereka naik ke
balkon. Dia keluarkan dua batang rokok yang dicuri kemarin siang dari saku
ayahnya yang tergantung di balik pintu kamar. Kakaknya yang pamer tentang cara
membentuk asap rokok menjadi lingkaran bergulung-gulung benar-benar membuatnya
iri. Tapi, entah sudah hembusan keberapa
tetap juga asap itu tak bisa dibuatnya bergulung-gulung. Rokok di tangannya
tinggal seruas jari saja sekarang. Sedang kakaknya menatapnya iba.
Dia benci tatapan
iba, dia pantang dikasihani, dia tak suka dianggap tak mampu. Semua bentuk air
muka seperti itu seolah elusan halus di pundak saat kau mengalami kekalahan di
permainan kasti yang sudah susah payah kau usahakan agar menang tapi tetap saja
kalah, sedang badanmu sudah remuk redam terkena hantaman bola yang dilemparkan
sekuat tenaga saat kau berlari ke pos amanmu. Saat itu kau pasti lebih suka
mendengar makian dari pada pelukan dan tepukan di pundak untuk sekedar
penyemangat, bukan?
Dia menatap
kakaknya sadis. Semacam protes dan bentakan lewat telepati, “Apa lihat-lihat?!
Aku pun pasti bisa!!”
Dia memang keras
kepala. Rokok hampir menyentuh bagian busa putih tetap juga disedotnya dalam.
Bibirnya sudah perih, lidahnya pahit, keringkongannya kering, tak terhitung
berapa kali dia sudah terbatuk.
“Asu!”
Diputarnya puntung
rokok ke semen penuh geram, mati. Dipungutnya. Dipandangnya beberapa lama.
Ditendangnya sekuat tenaga namun meleset. Puntung rokok tetap di tempat tak
bergeming, dia merasa diperolok. Emosinya memuncak. Diinjaknya berkali-kali
hingga puntung rokok terburai mengenaskan. Tak cukup itu saja, tumit kakinya
menindih kuat sisa puntung, lalu dengan gerakan memutar ditekannya berkali-kali
puntung itu hingga lebur. Tamat kisah. Kakaknya bersandar kepala di dinding
dengan mata terpejam, malas melihat adegan sadis tadi.
Di lain waktu, dia
dan kakaknya menggelar tikar ayaman pandan kesayangannya ibunya di balkon atas.
Menimpa tikar dengan tilam busuk yang mereka geret dari gudang. Menata tilam
agak sedikit serong ke Barat, melarikan sebotol jus jeruk, menyelundupkan dua
gelas tamu berbentuk cekung, mengisi setengah termos batu es, meracik roti
dengan telur dadar dan mayonaise agar mirip Sandwich,
dan menunggu hingga matahari sedikit terbenam.
“Kita seperti bule”
Kakaknya ikut terbahak dan terbatuk karena serpihan debu tilam lapuk. Dia
menuangkan lagi jus ke gelas kakaknya meski masih terisi banyak dan menjejalkan
Sandwich ke mulutnya. Lelehan
mayonaise mengotori sudut bibirnya dan dia tercekik batu es karena minum sambil
berbaring. Hari hampir malam tapi mereka tak juga beranjak masuk. Di dalam
rumah tak bisa melihat bintang, dia sesak menghirup udara gerah pendingin
ruangan, kasur empuknya tak senyaman tilam tipis. Dia betah disini, menemani
kakaknya yang tidur pulas dengan nafas teratur.
Pernah satu kali,
dia membangunkan kakaknya tepat tengah malam. Dengan mata kuyu yang sembab, dia
jejali kakaknya ocehan tentang pantai pasir putih di bawah tebing curam dekat
sekolah perawat yang lama terlantar dan setengah rubuh. Dia tak sengaja
menemukan pantai indah itu beberapa jam lalu saat tersesat ketika bersepeda.
Malam itu juga
mereka nekat ke pantai. Berpegangan pada tepian batu dan sulur-sulur tanaman
rambat yang menjalar mengelilingi tebing. Tepat di bibir pantai, patahan
ranting-ranting kering pinus yang meranggas, berserakan begitu saja. Cahaya
remang malam menjadikan pohon kelapa menjelma seperti makhluk asing raksasa
dengan tangan yang menggapai-gapai, mengerikan.
Sepenuh malam, dia
dan kakaknya tidur bersandar bahu dengan senter listrik yang tetap menyala.
Merapatkan jaket hingga ke leher untuk menahan dingin, membiarkan air laut
menjilati separuh betis mereka, mendengar musik deburan ombak yang menghantam
karang, menekan perut agar lapar tak terlalu terasa hingga pelupuk mata memohon
untuk dipejam. Suasana hening. Bisu. Kelam. Dengkur dan gemuruh ombak saling
bersahutan hingga pagi.
Dia masih berdiri
di balkon ketika tangan lembut menyentuh pundaknya. Tangan itu gemetar, terasa
sekali.
“Mobil pengantar
jenazah sudah di depan. Mau ikut?”
Dengan mantap dia
mengangguk. Dia terlanjur terikat janji yang tak terlanggar.
“Temani aku ke pemakaman nanti, ya.” Kakaknya
menggenggam lemah tangannya, seperti memohon. Dia merasa akan tumbang. Lututnya
goyah.
Kakaknya pasti tak
ingin pergi sendiri ke tempat pemakaman. Dia kenal kakaknya. Dalam hati dia
marah dan protes namun sama sekali tak keberatan. Mengapa dia harus menyanggupi
permintaan seseorang yang selalu menemaninya belasan tahun tapi tak setia kawan
dan lebih memilih meninggalkannya sendiri, tunduk pada bujuk lelaki ceking yang
masih tersenyum saat selang-selang yang membebat tubuhnya harus dicopot semua.
Harusnya dia menolak.
Dia sesenggukan waktu
itu. Namun, air matanya menguap bagitu mendengar cerita kakaknya tentang
gua-gua dimana mereka pernah menyaksikan burung betina mengajari anaknya
pertama kali mengepak sayap, bercerita tentang rumah pohon mereka yang setengah
jadi dan akan basah jika hujan karena dinding sebelah kiri sengaja tak dibuat
agar mereka bisa melihat pohon randu saat berbunga, tentang berat tubuhnya kala
dia digendong kakaknya di punggung sambil berlari karena kalah bertaruh
kelereng, tentang hayalan konyol mereka yang ingin menjadi bajak laut hingga
merusak kain batik ibunya yang dililit pada batang sapu membentuk layar kapal
hingga tertidur karena kelelahan. Dia
menyerapah dalam tawa yang sedih.
Bertahun dia
mengalaskan hidupnya dengan doa-doa agar maut tak seinci pun sanggup menyentuh
kakaknya. Tak perduli pagi, siang, malam atau kapan pun. Tapi sekarang,
penyakit maupun kecelakaan tetap menjadi jalan bagi Pemilik nyawa untuk
memisahkan mereka, pikirnya.
Dia terdiam.
Dunianya abu-abu. Sekeliling nampak berbayang dan muram. Genggaman di tangannya
melemah hingga akhirnya terkulai di sisi tempat tidur. Meja, kursi, selang
infus dan kantong cairan yang tergantung di tiang besi terasa lebih dingin dari
biasa.
Ibu tegak kaku
disebelahnya, Ayah meremas rambut dan menghela nafas berat. Kumpul keluarga
yang dia dan kakaknya selalu rindukan dan baru kesampaian hari ini. Hari dimana
isak tangis bukan lagi haru.
Ayah yang tegas dan
penuh wibawa ternyata luluh di hadapan kakaknya yang berbaring tenang. Ayah
terisak seperti anak kecil, entah kemana semua garang dan angkuhnya disangkutkan.
“Dia sudah pergi,
semua yang hidup pasti akan mati. Tapi, harusnya aku tau apa cita-citanya”
Sebuah penyesalan yang terlambat. Penyesalan yang tidak bisa dia terima dengan
alasan apapun. Dikeluarkannya selendang Hitam pemberian kakaknya dua hari lalu.
Hadiah yang paling tidak ingin diterimanya dengan hati sakit.
Dipakainya
selendang, doa paling tulus dia bisikkan pada Penguasa Jiwa. Dia yakin doanya
pasti sampai meski air mata dan sesenggukan menyamarkan kalimatnya. Dia aka
tetap disini. Berdoa dan meresapi semua kenangan indah mereka, dia dan
kakaknya. Dia tak punya kenangan lain. Seperti hatinya.
______________________________________________
Catatan sikil : Tanpa mengurangi ketertarikan saya pada blog ini, maka izinkan saya membuat pengakuan, sodara-sodara!!
Tulisan ini sebenarnya akan diposting di Kompasiana, akan tetapi kegeblekan saya yang tidak bisa edit hasil copas dari Word membuat draftnya berantakan.
Berhubung sudah terlanjur nulis, maka saya tempel saja disini. Blog juga punya sendiri ini. Hahahaha
Berhubung sudah terlanjur nulis, maka saya tempel saja disini. Blog juga punya sendiri ini. Hahahaha
nge fans sm Nova *pengakuan tak jujur :P
BalasHapusah, kangen lagi...
Aih, mau muji aja pake gengsi..
BalasHapusHahaha
nice story
BalasHapusKatanya lg ngak punya ide... hemmmmmm dasar.
BalasHapusSedih..... :( :(
BalasHapustitip salam manis untuk yang manis #eh
BalasHapusIman: Tengkiyu, Man. Eh, pegimane perjalanan skripsi lo?
BalasHapusBelakangan, jarang blogwalking ini. :(
Deng Irsyam, Mbak Reni, Bang Iphank..
BalasHapusNgapa jadi pada ngerusuh dimarih? Kayak orang laen aja.
Hahaha
Anyway, Bang Iphank.. si manisnya cengengesan noh, pas tau ada yg salam..
:D
bagus.
BalasHapusNova, terus menulis, yah. aku selalu baca.
ngiikkk...dalem ceritanya..awalnya gue kira cuman cerita persaudaraan biasa..eh, tapi ada kejutan di endingnya...kereenn..
BalasHapusMbak/Mas Nama: (Ini identitasnya siapa yak?)
BalasHapusMakasih buat dukungannya ..
Opi: Maksih ya, Pi..
Eh, blog lo keren deh.. :)
emang kenapa dia mati?
BalasHapusMas/Mbak Anonim: Dia mati karena nafasnya udah habis.
BalasHapusNgahahaha
ada award buat kamu
BalasHapushttp://emmanuelthespecialone.blogspot.com/2010/10/tebak-tebakan-yang-tak-ada-ujungnya.html