Pages

Selasa, 06 September 2011

(Re-Post) Paman Kita Yang Menjadi Tokoh Mimpi Buruk

Gambar diunduh dari pencarian Google

Dear Afrizal,
Bersama surat ini kukabarkan bahwa aku baik-baik saja dan hendaknya begitu juga denganmu di sana.

Sebagaimana layaknya surat, maka semua akan berisi kata-kata saja. Mungkin ada sesisip rindu yang kuwakilkan lewat kecup yang tak nyata. Karena begitulah layaknya surat, penuh dengan kata-mulai dari kata manis basa-basi, kata sapaan palsu, hingga kata cinta yang gombal-tapi tetap saja aku tak bosannya mengirimimu kata-kata. Kupikir memang begitulah hakikatnya manusia, siapa yang ingin disapa, harus menyapa, bukan?

Afrizal tercinta,
Beberapa malam belakangan ini aku tidak bisa tidur sebab dibayangi mimpi seram yang begitu nyata. Entahlah. Sekarangpun aku susah membedakan apakah mimpi yang terasa nyata atau kenyataan yang mirip mimpi. Aku merasa tak jauh berbeda serupa Nancy yang akan dibunuh oleh Freedy Krauger dalam A Nighmare on Elm street. Aku takut kalau mimpi yang kualami menjadi betul terjadi, Zal.


Afrizal pujaan hatiku, Afrizal yang kucinta, apa kamu masih ingat tentang mimpiku yang kuceritakan dulu? Iya! Tentang Paman Ali itu. Selalu saja dia menjadi tokoh mimpi burukku. Tak pernah bisa kuenyahkan atau kugantikan dia dengan tokoh jahat lainnya, Zal. Agaknya, dialah Raja dari Diraja tertinggi pemegang kekuasaan yang mengatur segala peran tokoh mimpi buruk, yang punya wewenang membagi tugas para tokoh mimpi buruk untuk menghampiri si pemimpi yang telah dia tentukan. Ngeri bukan main, Zal.


Afrizal kekasihku,
Malam itu aku bermimpi tengah mencari siput di bibir muara belakang rumahku.
Angin sore yang berhembus dari tengah laut membawa aroma bacin tubuh nelayan di kejauhan. Daun-daun pokok kelapa bergoyang ke kiri-ke kanan menurut perintah angin. Anak-anak kepiting berlarian tak tahan ditimpa sinar matahari sore yang menyengat, kocar-kacir kepiting-kepiting itu menyurukkan tubuhnya kedalam pasir pantai yang berkilauan, mencari perlindungan. Kadang kepiting itu sempoyongan menabrak akar-akar kelapa yang menjulur keluar dari tanah.

Lalu pada satu malam purnama dengan awan berarak di langit, tiba-tiba tiang-tiang rumah papan kami berderak-derak dihantam gelombang laut yang pasang. Tak sampai menunggu pagi, rumah-rumah kami, perahu-perahu kami, jala-jala yang belum selesai kami jahit, semua kelihatan bersih disapu gelombang pasang. Tangis jerit anak yang bapaknya tak selamat di tengah laut bedengking memekkan telinga.

Esok harinya, Paman Ali datang dengan mobil mewah lengkap dengan safari necis mengolok-olok kami.
“Kalau tak ingin terkena badai, jangan berumah di tepi pantai”
Bah! Perkataan apa pula itu! Padahal dalam mimpiku, Paman Ali itu tetua kampung yang harusnya mewakili kami dalam segala suka duka.


Afrizal cahaya hidupku, jantung hatiku, apa kamu masih tetap melanjutkan membaca surat dariku ini? Kalau datang jemumu, baik hentikan barang sebentar.

Mimpi terakhirku-yang kupikir lanjutan dari mimpi pertamaku tentang Paman Ali yang menjadi tokoh Antagonis-tentang pencurian di gudang ikan milik nelayan.
Gudang itu satu-satunya tempat hasil tangkapan nelayan disimpan, agar kalau nanti datang tauke dari kota, bolehlah menjual ikan barang sepeti-dua peti. Layaknya kebanyakan tempat penyimpanan, ditugaskanlah penjaga-penjaga yang kekar, tahan bertanggang mata semalaman, lihai melihat dalam kegelapan, dan tentu saja orang yang berilmu lagi terpercaya.

Seperti biasa, di awal minggu para tauke dari kota datang membeli ikan. Setelah timbang sana-timbang sini, sepakat dengan harga tawaran, dinaikkanlah ikan-ikan ke atas truk yang besarnya tak terkira.
Mirip-mirip tak ada yang salah, semua berjalan sesuai rencana. Lama-kelamaan, jumlah tangkapan nelayan yang disimpan di gudang berkurang kilo demi kilo. Tauke bersikukuh kalau timbangannya masih dalam masa kalibrasi yang belum kadaluwarsa, begitu juga nelayan-nelayan miskin yang terlatih menakar berat jarang salah.

Saling tak percaya mulai jadi pemandangan biasa saban awal minggu. Penjaga-penjaga gudang bersih tak terlibat sengketa.
Hingga satu malam, seorang nelayan yang baru saja pulang melaut di malam hari menyaksikan penghianatan penjaga gudang yang tengah mengeruk isi peti. Menjejalkan ikan, kepiting, cumi, hingga teripang dalam plastik. Menjual pada penadah, lembar demi lembar rupiah. Penjaga gudang tak lagi dipercaya, mereka lari tak tentu rimba. Berita menjadi santer.

Esok harinya, Paman Ali datang dengan bergaya, berbicara di atas podium.
“Harap kita bisa memaafkan mereka, saudara-saudara kita yang khilaf itu.”
Huh! Paman Ali bilang mereka saudara kami! Saudara mana yang tega mencuri hak saudaranya sendiri, Afrizal!
Nelayan miskin yang kemalingan kehilangan tokoh tetua kampung sekaligus sosok panutan.
“Keparat kau Paman Ali!”
Wong Edan! Pateni wae!”
Nenek tua yang anak dan cucunya mati ditelan badai, menangis sesenggukan.
Dak punya hati engkau menengok budak-budak yatim yang dah tak cukup makan ni, Ali?”
Dak tau untung engkau, Ali!”

Nelayan yang biasanya ramah dan lembut hati merasa terhianati tapi tak bisa berbuat banyak. Paman Ali berlalu begitu saja. Masuk ke mobil mewahnya. Sama sekali tak mendengar jerit tangis kekecewaan nelayan kampung kami, Afrizal.


Afrizal sayangku,
Begitulah mimipiku yang terasa begitu nyata. Aku menjadi takut pada Paman Ali. Aku takut satu hari nanti tak ada lagi yang percaya pada sosok pemimpin panutan, meski sosok itu benar-benar ada sekalipun. Aku takut anak-anak kita menjadi terbiasa dengan segala carut marut kampung kita, Afrizal.
Afrizal kekasihku yang selalu kupuja dan kucintai, doakan semua menjadi baik. Dengan ini kusudahi suratku padamu nun di perantauan sana, dengan peluk dan cium untukmu selalu.

________________
catatan sikil: ditulis pertama kali untuk Kompasiana.
Read more...