Pages

Rabu, 07 Maret 2012

The Road: Cermin Kehidupan Negeri Kita


Sumber gambar: Google
Kemarin malam, kebetulan ada film lumayan bagus yang ditayangkan di saluran televisi berbayar, Star Movie. Film ini mengisahkan tentang bagaiman seorang ayah dan anak lelakinya bertahan hidup dari segala kemungkinan dan ketidakmungkinan dalam hidup yang sudah bisa diprediksi sebelumnya.

Saya tidak sedang meresensi film, selain tidak hebat dalam urusan resensi-meresensi mungkin ada yang sudah beberapa kali menonton film ini, atau kalau ingin tahu bagaimana film ini berkisah, tinggal ketikkan  saja katakuncinya, Paman Google langsung punya jawaban..

The Road = Kehidupan kaum miskin di masa depan.

Sebenarnya, ini fim tergolong lama, sekitaran 2009-2010 kalau tak salah. Tapi tetap nyesak buat ditonton. sepanjang film diputar, otak standar saya tiba-tiba cemerlang dan kritis. Bukan! Bukan Kritis yang harus masuk UGD.

Dalam hati saya, "Gilak!.. Ini film perwakilan kaum miskin masa depan di Endonesa nih." 
Ternyata, yang menggerutu begitu bukan cuma hati saya, tapi keluar juga dari mulut. Sampai-sampai, mama dan adek yang kebetulan juga ikut nonton terganggu. "Berisik! Nonton aja!" Hahahaha. Mereka kompak banget kalo soal bentak orang. Mirip Polantas yang pamer sama seragamnya padahal jadi polisi baru satu bulan. Ups! 

Ada beberapa adegan yang bikin miris, dimana orang-orang yang bertahan hidup dari bencana-di film ini diceritakan Amerika habis terkena bencana nuklir-harus saling bunuh. Mereka yang jadi 'penyamun' menangkapi orang-orang yang lemah, dikurung di ruang bawah tanah buat dijadikan stok bahan makanan. Saling bantai. Kalau tak ingin dibunuh, harus membunuh.

Tak ada lagi yang namanya belas kasihan, karena tiap orang selalu was-was, selalu merasa diawasi, selalu dibayangi kecemasan. Pada akhirnya, semua orang memang akan mati, tapi setidaknya, mati dengan cara yang benar-benar diinginkan. 

Ada satu adegan dimana tokoh protagonis di film ini (ayah dan anak yang tidak disebutkan namanya) bertemu dengan seorang tua bernama Ely. Ely berusia 90 tahun, agak buta , pincang dan kelaparan. Awalnya, si ayah tidak ingin membantu Ely karena bahan makanan yang mereka dapat dari ruang bawah tanah peninggalan orang yang sudah mati belum tentu cukup untuk mereka berdua. Perjalanan menuju Selatan masih panjang, secara logika, siapa sih yang mau berkorban demi orang lain saat sudah tidak ada lagi yang mampu menolong selain diri sendiri? Tapi, sang anak berhasil meyakinkan ayahnya, bahwa apa yang mereka punya mampu menyelamatkan nyawa Ely setidaknya untuk hari ini

Mereka lebih memilih untuk menyelamatkan diri sendiri. Demikian saat mereka telah sampai di pantai yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Seorang gelandangan kulit hitam mencuri gerobak mereka yang berisi perlengkapan dan makanan saat si anak tengah lelap tertidur karena demam, sementara ayahnya sedang berenang ke kapal yang tenggelam di lepas pantai dan akhirnya hanya menemukan satu pistol api, tindakan si ayah cukup terbilang kejam.

Ia berhasil mengejar si gelandangan mengancamnya dengan pistol yang hanya tersisa satu peluru. Si gelandangan dipaksa melepaskan seluruh pakaiannya hingga telanjang dalam kondisi yang dingin dan kelaparan. 
Ada kalimat dari gelandangan yang membuat saya terenyuh, "Tolong jangan setega ini padaku, Tuan. Aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya kelaparan. Tolonglah, Tuan. Jangan setega ini padaku, Tuan." 
Anyyyiiiiinggg!!!! Di sini saya benar-benar mewek! Saya bukan tipe orang yang cengeng kalau menonton. Tapi, adegan itu total banget mirisnya. Kamfreet! Hahahaha

Tindakan si ayah benar-benar sesuai realita, sangat diterima akal meski memang kejam. Satu-satunya tindakan yang dilakukan demi bertahan hidup di keadaan pasca perang dan kelaparan. Untunglah ada tokoh anak yang menetralisir keadaan. Lagi-lagi, dia berhasil membujuk ayahnya untuk menolong orang lain. Mereka akhirnya mencari gelandangan tadi. Meski tidak bertemu, tapi pakaian dan sekaleng makanan tetap mereka tinggalkan dengan harapan si gelandangan tadi akan kembali ke tempat semula dan menemukannya.

Lalu, apakah saya lebay jika menyamakan The Road dengan masa depan Indonesia?

Coba kita masing-masing pikirkan, kehancuran dunia yang terjadi di film ini sangat luar biasa. Tidak hanya manusia dan peradaban yang hancur, tapi juga hewan dan tumbuhan. Dua tokoh protagonis dalam film ini hanya manusia biasa. Tidak mampu berkelahi, tidak punya rumah, tidak ada aliran listrik dan senjata. Satu-satunya senjata yang mereka miliki hanya satu pistol dengan dua peluru, dimana satu peluru telah dipakai untuk membunuh seorang kanibal yang ingin membunuh anaknya. 

Mereka harus menggelandang dari satu tempat ke tempat lainnya. Melewati kota yang hancur, jembatan yang putus dan mobil-mobil mewah yang tidak berfungsi dan teronggok begitu saja. Mereka setiap hari harus bersembunyi dari para kanibal yang menjadi musuh utama mereka. 

Di sinilah saya berpikir. Mungkin, potret negeri saya ke depan tak lebih baik dari seluruh adegan di film ini. Ayah dan anak merupakan perwakilan dari rakyat miskin yang harus selalu menghindar dari serangan para kanibal berpakaian rapi.
Alam yang mulai hancur, rumah-rumah yang tidak besar yang tidak ada gunanya ditinggali, sumber makanan yang mulai habis. Semuanya! Semuanya! Ketamakan dan kerakusan dari orang yang kuat hanya berlaku bagi yang mampu bertahan. 

Dan mereka yang papah akan mati perlahan-lahan. Pada akhirnya, semua orang memang akan mati, tapi setidaknya, mati dengan cara yang benar-benar diinginkan.

Hahahahahaha. Mungkin, ada beberapa yang baca tulisan ini terus nyeluk, "Basi lu! Paling lu juga hedonis yang sok-sok peduli kemanusiaan yang bisanya cuma ngomong!" Terserah, sob.

Yang jelas, tiap orang punya cara masing-masing ngejalanin apa yang diyakini, kan?
Mengutip kalimat dari film The Road ini, "Saat tidak punya apa-apa lagi, Aku membayangkan impian yang diimpiukan bocah kecil."
Gak tepat banget kayak di film, tapi intinya sih gitu. :)

Read more...

Jumat, 02 Maret 2012

Cari, Temukan dan Selamatkan. Mungkin Para Tuna Asmara Masih banyak Di Sekitar Anda.

Gambar diunggah dari Google
 Pernahkah Anda punya teman-Kau-Tahu-Siapa-yang tetap fokus ‘melototin’ layar monitor pas malam Minggu dengan  alibi bahwa dia tidak bermalam Minggu karena tidak punya pacar sibuk mencari bahan makalah? Lantas apa reaksi Anda? Percaya lalu pergi bermalam minggu begitu gembiranya?

Atau anda pernah ketemu dengan Mas-mas pengkolan yang rambutnya di cat Ungu, berotot dengan bulu kaki lebat tapi berbando dan blush on-an?

Apakah temans pernah merasakan  jadi orang yang berada di contoh kasus pertama? Atau pernah gak mikirin betapa nyeseknya nasib orang di contoh kasus kedua? Pernahkah? PERNAHKAH? PERNAHKAAAHH???!! (Sengaja saya ulang biar efek dramatisnya kerasa).


John Maynard Keynes feat Santy Novaria

Bersyukurlah Keynes punya otak cemerlang yang akhirnya menjadi Ekonom termashyur lalu melahirkan gagasan ekonomi makro, ekonomi moneter dan teori permintaan dan penawaran yang berhubungan dengan output.

Hampir sepakat dengan Om Keynes, saya juga setuju bahwa masalah ekonomi tidak hany melulu soal penawaran, perilaku konsumen, penerimaan, biaya dan laba rugi suatu perusahaan. Tapi lebih ke lingkup yang lebih luas. Pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, pengangguran dan kebijakan ekonomi. Kenapa kok bisa? Entah, saya lebih setuju aja. Mungkin dampak langsungnya akan terlihat di artikel ini. Mungkin. #MulaiGakYakin

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu dampak dari pemikiriran Om Keynes yang hebat ini adalah munculnya Pengangguran, yang di zaman Om Adam Smith, sama sekali tidak terpikirkan dan masih belum ditemukannya solusi yang benar-benar solusi sampai sekarang.

Jika dalam teori ekonomi makro disebutkan,  orang yang usianya telah pantas menjadi angkatan kerja dan sedang mencari pekerjaan minimal dalam jangka waktu empat minggu tetapi masih tetap menganggur disebut Tuna Karya yang lebih akrab kita dengan sebutan Pengangguran (unemployment) maka saya mencoba memandang dari sisi yang bedanya cuma dikit.

Ada Apa Dengan Mas Pengkolan? Kenapa harus Mas Pengkolan?

Kemungkinan besar, mas-mas tadi dandanannya belum begitu sampai satu hari dia terjebak Andy Lau (ANtara DYlema dan gaLAU) karena diputusin mbak-mbak pujaan hati dan hampir nyuntikin Baygon cair ke nadinya sebelum Mas Bunga menyelamatkan hidupnya.

Sudah berapa lama dia berteman dengan Mas Bunga? Apa saja yang telah mereka lakukan selama berteman? Berapa tarif yang mereka pasang jika short time? Lupakan!

Kita ibaratkan Mas Pengkolan tadi adalah ‘angkatan kerja’, lalu mbak pujaan hati adalah ‘lapangan pekerjaan’, maka jika dalam waktu lebih dari empat minggu mas pengkolan tadi belum juga mendapatkan pengganti mbak pujaan hati lalu dia menyerah dan putus asa begitu saja, dalam teori ekonomi makro kasus Mas Pengkolan tadi dikenal sebagai discouraged-worker.discouraged-worker.

Tapi dalam istilah Santy Novaria, Mas Pengkolan tadi adalah Tuna Asmara atau yang lebih populer lagi disebut JOMBLO.


Cari, Temukan dan Selamatkan

Dari jaman pelajaran PKn masih PPKn dan PPKn masih PMP, dari jaman PSPB belum jadi pelajaran Sejarah,  kita sudah diajarkan bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Merugilah orang yang tidak peka terhadap orang lain di lingkungannya.

Lalu apa hubungan unemployment dengan Jomblo?

Jika dalam ekonomi makro, pengangguran punya latar belakang penyebab yang berbeda-beda, begitu juga dengan kisah Mas Pengkolan dan teman yang-Kau-Tahu-Siapa-juga pasti punya alasan tersendiri kenapa mereka lebih memilih mejadi Tuna Asmara.

Selama ini kita terlalu terfokus pada prinsip Permintaan dan Penawaran di ekonomi Mikro yang kita hubung-hubungkan dengan-penyebab-kenapa-mereka-Jomblo.
Oh, mereka Jomblo karena permintaan si calon gebetan terlalu tinggi dan supplier gak kuasa ngimbangin. Jomblo deh..
Gak! Gak Cuma itu temans, mari kita bahas dari versi Ekonomi Makro

Cari
1.      Jomblo Friksional (Frictional Unemployment)

Terjadi karena apa yang kita punya (fisik, kematangan emosional dan materi) tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Calon Cem-ceman.
Ditahap Jomblo ini masih berlaku sih penawaran (kualitas yang kita punya) dengan permintaan (keinginan si calon pacar). Tapi cuman dikit. Dikit banget malah.

2.      Jomblo Cyclical (Cyclical Unemployment)

Jomblo musiman. Kita sebut saja begitu, jomblo yang terjadi karena situasi yang berubah-ubah sesuai dengan siklusnya.
Misalnya, dalam satu ruangan ada belasan cowok mendadak jomblo karena diputusin sama pacarnya yang lagi PMS massal. Bawaan ceweknya pengen minta putus aja gak tau kenapa. Bosan liat mukanya, emosi nyium bau keteknya, inilah-itulah.
Tapi jangan khawatir, namanya juga musiman. Ntar juga kalo malem minggu paling si cewek minta balikan lagi.

3.      Jomblo Struktural (Structural Unemployment)

Jomblo yang terjadi karena adanya perubahan yang sangat berarti di struktur kehidupan asmara mereka.
Mereka inilah orang-orang yang dengan kerelaan hati memilih untuk Jomblo dalam periode tertentu.

Temukan

1.      Pelaku Jomblo Friksional.
Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam JOKER.
Bukaaan.. Bukan JOmblo KERen, tapi JomblO Karena kERe.
Mereka adalah Jomblo dengan kualitas dompet ngap-ngapan yang ngotot naksir gadis Mall yang hobbi berburu tas bermerk meski cuma KW13 (saking palsunya), mereka adalah orang dengan kapasitas uang saku ala kadarnya yang pedekate sama cewek doyan nonton di bioskop padahal film bajakannya dijual dipinggiran trotoar. Muahahaha
#MentalMahasiswa  #CurhatColongan

2.      Pelaku Jomblo Cyclical.
Merekalah para JONGOS. JOmblo NGos-ngOSan. Jomblo yang mati-matian minta jangan diputusin dan siap terkena serangan asma ngejar-ngejar pacarnya buat balikan lagi. Malang? Mungkin, semoga kita tidak termasuk.
Hey, kamu! Iya, kamu. Kamu! Pake lirik orang lain.
3.      Pelaku Jomblo Struktural
     Adalah mereka yang mengaku JOJOBA. Yap, mereka yang menghibur diri sebagai JOmblo-JOmblo BahAgia.
Orang yang mengikuti aliran ini, sering sesumbar tidak pernah merasa terganggu dengan predikat jomblo tersebut. Karena bagi mereka lebih baik menjadi Jomblo yang Bahagia dari pada jadi korban perselingkuhan, korban pacaran posesif maupun korban pacaran jarak jauh.

Mereka merasa bebas mau jalan kemana aja tanpa ada yang nelponin tiap menit, nanyain "kamu dimana? Sama siapa? Lagi ngapain?", mereka bahagia karena gak ada pacar rese yang bawel, yang ngurigain, yang marah-marahin, yang ngambekan karena sms gak dibales, yang... cukup. Fokus. #TerbawaPerasaan


Selamatkan.

Setelah kita tahu penyebab Jomblo berdasarkan kategori diatas, tak jauh beda penangannya dengan pemberantasan Pengangguran yang sampai sekarang masih dicari solusi jalan terbaiknya.

1.      Jomblo Friksional (Frictional Unemployment)
Kaum jomblo dalam golongan ini biasanya masih terbuka menerima masukan dari orang lain.

Jangan pernah berhenti mengingatkan bahwa kita hidup di dunia nyata. Tidak ada Pangeran yang benar-benar ingin menikahi Upik Babu. Sadar. Ngaca, kalo kata orang tua. Jarang ada pesta hingga larut malam kecuali di diskotik atau warung remang-remang dan Babu dilarang masuk, kecuali ada muntahan yang harus dibersihkan.

Kalaupun beneran ada, itu mukjizat, mamen!

2.      Jomblo Cyclical (Cyclical Unemployment)

Satu-satunya cara adalah tunggu sampai siklusnya berakhir. Namanya juga musiman.
Kalau gak berhasil juga? Tunggu sampai musim orang nikahan menjamur. Sering-seringlah berbaju Batik dan rapi, pantengin acaranya dari awal sampe kelar, selain dapat makan gratis mungkin ada satu diantara tamu yang senasib dengan anda.

3.      Jomblo Struktural (Structural Unemployment)

Apakah Anda korban pernah menjumpai jomblo tipe macam ini? Agak susah nyelamatin jomblo yang dalam tahap ini karena bisa dibilang inilah jalan yang mereka anggap terbaik buat mereka.

Tapi, hey!
Kenapa anda merendahkan diri anda sendiri? Move on, guys!
Kita terlalu berharga buat terjebak dalam lingkaran sesat kayak gini.

So, What?? Bukan Kiamat ini.

“ Trus, gimana dengan gue yang keseringan Jomblo dari pada punya pacarnya?”
“  Itu derita lo dong.”
HAHAHAHAHA

Gak lah. Becanda. Nikmatin aja dulu jalan anda yang sekarang.
Karena Tuhan selalu tahu apa yang terbaik buat kita. Dia mempersiapkan semua yang akan diberikan untuk kita kalau waktunya sudah tepat. Amiiinn.

Menunggu Pasangan hidup sama dengan menunggu waktunya Wisuda dan make toga. Tak perlu tepat waktu. Tapi menunggu waktu yang tepat.
 #NgelesLevelDewa     #MenghiburDiriSendiri   #MenghindariTopikWisuda

Kalau biasanya di akhir ceramah ada doa sebagai penutup, saya inget satu kata bijak yang entah punya siapa:

“ Love is like a sand in the hand. The more you keep it, the more you lose it.. “

Yang JOMBLO MANA SUARANYAAAA?????


___________________

Catatan Sikil: Terinspirasi dari coretan iseng Raditya Dika
Read more...

Rabu, 08 Februari 2012

Dari Fiksi Hamzah Fansuri ke Sastra Fiksi Maya

Ibarat anak, saya adalah anak durhaka yang jarang bgtnya ngurusin ortunya. Ibarat sholat, intensitas saya udah kayak sholat Idul Fitri yang cuman sekali setaun ngunjungin ini kamar maya. Ibarat Rumah, ini blog udah kayak rumah-rumah di pelem horor Oma Suzanna saking jarang dibersihinnya.

MySpace 

Pada Agustus 2001, gema Sastra bergaung di penjuru Batam. Joni Ariadinata hadir sebagai pembicara dalam Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Penulis Lampor yang jangkung dan botak itu tidak hanya mampir di Batam, bersama 60 orang sastrawan lainnya mereka mampir ke 10 provinsi dan menyambangi 39 kota di Indonesia.

Sayang, acara tersebut hanya diperuntukkan bagi sekolah SMA/Madrasah Aliyah, sedangkan saya dan anak SMP lain cuma bisa mendengar cerita. Tapi, secara umum sambutan terhadap acara tersebut sangat responsif dengan nada yang positif.

Belakangan saya tahu, SBSB lahir atas keprihatinan sastrawan-sastrawan terhadap merosotnya budaya membaca, mengarang, dan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia.

Sebenarnya kalau mau bercermin, kemandekan terhadap minat sastra tidak hanya terjadi di sekolah tingkat atas saja. Lihat di kampus-kampus yang punya Fakultas Sastra di kebanyakan negeri kita, jarang sekali ada kegiatan rutin mendatangkan sastrawan dan berdiskusi dengan mahasiswa. Padahal karya-karya mereka ber puluh tahun dijadikan riset, ditelaah, dianalisa, dikritik dan ditulis ulang dalam berbagai bahasa tanpa ada interaksi kesinambungan dengan penulisnya. Aneh luar biasa.

Tak bisa dipungkiri, banyak dari kita kurang ‘menikmati’ sastra. Kesan sastra yang njlimet dan susah dimengerti menjadi momok membosankan. Ditambah lagi kebiasaan yang menempatkan rak sastra di lorong ujung perpustakaan dengan pencahayaan yang remang dan apek debu menyesakkan hidung. Huff.. Makin malas aja bawaannya.

Taufik Ismail mengatakan: “Budaya membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di masyarakat kita sudah sampai pada taraf parah luar biasa, baik secara kualitatif maupun kuantitaf” [1]

Saya pernah menonton salah satu acara talkshow TV swasta yang tersohor yang menghadirkan Taufik Ismail sebagai narasumber, terang-terangan Pak Taufik mengatakan kalau bangsa kita akan ambruk jika generasi muda tidak ada yang perduli dengan sastra negeri sendiri. Baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis.

Hampir benar! Coba kita lihat, sudah tidak ada lagi pelajaran mengarang di kurikulum sekolah. Karya anomin pengarang Bugis yang ternama, I La Galigo yang lahir sekitar abad 16-17 dengan 1.000 halaman sastra indah tentang ihwal nenek moyang suku Bugis, justru rapi terdokumentasi bukan di negeri sendiri. Program SBSB yang notabene adalah program pendidikan dengan biaya tak sedikit justru didukung penuh oleh Ford Foundation, sebuah yayasan nirlaba Amerika. Yang terakhir belakangan ini, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bernasib mirip busa di lautan, terombang-ambing menunggu hancur.

Padahal, bisa dikatakan negeri kita salah satu penyumbang sastra hebat di dunia. Sebut saja ‘Gurindam 12’. Adalah sastra kuno berisi langgam nasehat tentang kearifan menjalani hidup yang dirangkum oleh pujangga hebat Melayu.

Padahal, jauh sebelum Gurindam 12 populer, pada akhir abad ke 16 seorang Hamzah Fansuri mempelopori sastra syair­ Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Dari tangan Hamzah Fansuri lahir beberapa syair indah, sebut saja: ‘Syair Perahu’, ‘Syair dagang’, ‘Syair burung Pingai’, dan beberapa karya lainnya.
Di kemudian hari, berkat isi dan keindahan bahasa puisi Hamzah Fansuri ini, beliau diberi gelar Bapak Bahasa dan Sastra Melayu sebagai penghargaan atas jerih payah dan mutu karyanya (Abdul Hadi W.M.: 1983).[2]

Lalu pada 1901, Sastra Indonesia diramaikan oleh lahirnya Sastra Drama yang ditulis oleh F. Wiggers, seorang peranakan Belanda dengan drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno yang kemudian disusul beberapa naskah drama pendek Melayu (lagi-lagi Melayu punya gaya).

Pada 1913, Rustam Effendi yang kita kenal sebagai Bapak Poejangga Baroe menulis Bebasari, sebuah drama dalam bentuk syair yang kemudian disusul dengan munculnya beberapa pujangga sastra drama lainnya seperti: Muhammad Yamin dan Sanusi Pane.

Meski sastra drama tak seramai novel, sajak maupun cerpen, sastra drama tetap ditulis dan dikembangka oleh teater-teater asuhan sastrawan abad 20 seperti: Rendra, Nano Riantiarno, Arifin C. Noor, Putu Wijaya hingga komunitas-komunitas teater kampus masa kini.

Baru pada 1929, lewat cerita pendek ‘Bertengkar Berbisik’ Muhammad Kasim memulai era cerpen Indonesia dengan menulis cerpen-cerpen jenaka. Sebelum menjamur seperti sekarang, cerita pendek pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad Kasim lewat kumcer karyanya yang berjudul Teman Duduk. Dan menurut Korrie Layun Rampan, Muhammad Kasim adalah Bapak Cerita Pendek Indonesia.[3]

Kini, di masa modern banyak lahir sastrawan-sastrawan hebat yang mempublikasikan karya mereka lewat dunia maya. Entah siapa yang memulai, tapi mirip jamur di musim hujan yang tumbuh di kayu busuk. Ramai. Berkat bantuan blog, sosial media, dan media penayangan virtual lainnya kita bebas membaca dan menulis selung waktu yang kita punya.

Sebagai penikmat sastra fiksi, saya merasa ruang maya semacam jendela ajaib yang menyegarkan sekaligus gratis untuk membaca kesegaran baru dalam berbagai genre sastra negeri ini sepuas yang saya mau.
Lewat blog pribadi maupun blog yang di kelola pihak tertentu, kini kita bebas membaca karya Seno Gumirah, Ayu Utami, Gunawan Muhammad, Dewi Lestari, Helvi Tiana Rosa, hingga Butet Kertarejasa, dan Hasan Aspahani. Tinggal buka buka blog mereka. Selesai. (okey, saya sengaja memasukkan nama terakhir karena beliau orang Batam. Ha ha ha) #Norak #PengenPamer

Menurut saya, makin banyak sastra diterbitkan-tanpa mengesampingkan kualitas dan kuantitas karya yang ditulis-dengan memanfaatkan media publikasi dengan tujuan beragam pula, tentu makin baik. Karena pembaca jugalah yang diuntungkan. 

Ilmu berserakan di mana-mana, tinggal bagaimana mengambilnya, memilah-milah kemudian, menyerap yang baik, dan mengimplementasikan dalam tindak nyata. Itu saja, tak payah-payah sekali, bukan?
Mengutip perkataan dahsyat Taufik Ismail, “ Petiklah sebanyak-banyaknya bunga dan buah untuk dibawa pulang, cangkoklah mana yang patut dicangkok lalu tanam di pekarangan rumah sendiri, mudah-mudahan tumbuh, berbuah ranum dan lezat citarasanya.”







catatan sikil:


[1] Pengamatan Taufik Ismail dalam Benarkah Bangsa Kita Telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis? (1997)

[2] Dikutip dari Buku Horison Sastra Indonesia, kitab 4 hal xx bagian 5 paragraf ke - 3
[3] Dikutip dari Buku Horison Sastra Indonesia Kitab 4 hal xx bagian 5 paragraf ke - 4
Read more...

Kamis, 19 Januari 2012

Aku Benci Kamu Hari Ini.


When the rain is blowing in your face,
and the whole world is on your case,
I could offer you a warm embrace
to make you feel my love.

Winda tergesa merogoh tasnya. Handphone-nya berdering. Dia tersenyum, sudah tahu siapa yang memanggil.

My Love Calling.
Tuh, kan. Benar! Dion menelpon. Jantung Winda berdebar tak karuan.

My Love, Winda senyum-senyum sendiri. Kadang dia masih geli dengan nama yang dibuatkan khusus untuk nomor  telpon Dion. My Love, dengan nada dering pribadi yang syahdu. To make You Feel my love,  satu lagu yang mewakili perasan Winda untuk Dion.

Bagaimana kalau Dion tahu? Ah, itu tidak mungkin. Winda tahu Dion tipe lelaki yang sangat menghargai privacy, dan selama Winda tidak ceroboh membeberkan hal ini pada Dion, itu tidak akan pernah terjadi.


“Halo, halo, Win, Winda..”
Suara Dion menggantung di seberang sana menunggu reaksi Winda.
“Hhmm,”

Winda hanya bergumam. Jaga gengsi dikitlah, biar gak keliatan banget sukanya. Begitu selalu yang ditekankan Winda pada diri sendiri. Winda percaya, dengan sedikit jual mahal dan misteri, adalah daya tarik perempuan.

“Soal janji yang gue bilang kemaren malem.”
Yes! Akhirnya, batin Winda kegirangan. Dia masih menunggu dion melanjutkan kalimat.

“Kayaknya harus ketunda dulu deh. Gue ada urusan penting soalnya.”
“Oohh..”


Aku benci kamu hari ini!

Winda menghela nafas berat. Tidak punya perasaan! Gak tau apa kalau untuk makan malam yang sudah dirancang dari kemarin membuat Winda nervous sampai hari ini?!
“Gak papa kan, Win?”


Aku benci kamu hari ini!

Dion menganggap dirinya tidak akan kenapa-napa dengan penundaan sepihak?! Dasar tidak punya hati. Bisanya bikin orang melayang aja, rutuk Winda dalam hati.

“Ato gini deh, Win. Berhubung tempat udah gue pesan, lu pergi bareng temen gue aja. Booking-nya susah tuh,”


Aku benci kamu hari ini!

Hellow! Kamu pikir aku tipe orang yang bakal menyesal seumur hidup karena tidak bisa makan di tempat mewah? Apa maksudnya?!

“Gak usah deh. Lagian, hari ini juga gue capek. Kerjaan gue segunung.”
Emosi Winda hampir meledak, untung otaknya masih waras dan bekerja sesuai fungsi.

“Oh, ya udah. Bye.”
Klik. Sambungan diputus dari seberang.


Aku benci kamu!!! Hari ini, besok, selamanya!

Bahkan Dion menutup telponnya duluan tanpa memikirkan hati Winda hancur seketika. Percuma saja dia mempersiapakan semuanya dengan begitu sempurna. Dandanan, baju, aksesoris, sampai sepatu, semuanya matching. Dan sekarang semuanya sia-sia.


Aku benci kamu!!! Hari ini, besok, selamanya!
Winda tak sanggup lagi menahan sedihnya. Dia pikir Dion memang mencintainya, dia pikir perasaannya pada Dion akan berbalas. Ternyata salah, sangat salah, salah besar!

Aku benci kamu!!! Hari ini, besok, selamanya!
Di dalam lift, Winda menangis. Dion hanya ingin mempermainkan hatinya. Dion hanya sekedar baik sebagai teman. Tidak lebih. Harusnya gue sadar dari dulu, bego, bego, bego. Winda merutuki diri.


Tring..
Lantai dasar, lift terbuka. Winda mengusap air matanya. Tidak ingin ada yang melihatnya menangis seperti ini.

Dion!
Astaga! Di depannya ada Dion! Menggenggam buket bunga, menghampirinya.
Surprise! Gue datang buat lu, Win.”


Winda mematung,
“Jadi pacar gue ya?”
 “Romantis dikit dong.”
“Ini udah maksimal.”
"Jadi,"
“Gimana?”
“Iya.”
Aku benci kamu! Benar-benar cinta, jerit Winda dalam hati.



__________________________________

catatan sikil: Ngeblog FF hari ke-8



Read more...

Rabu, 18 Januari 2012

Sepucuk Surat (Bukan) Dariku.


Mijil,

Malam itu, Jil. Malam di mana aku tidak lagi pulang kepadamu hingga pagi bergulir perlahan dan embun membasahi ranting-ranting randu yang tengah mekar.
Malam itu, kukenangkan lagi kenang-kenangan yang kita patri di setiap sudut hati kita yang mulai rapuh dan menua.

Malam itu, Jil. Hujan turun dari matamu, sedang aku tak begitu mampu meminjamkan pundak untuk rebahmu. Bahuku kini terlalu ringkih. Harusnya kita tidak perlu seperti ini. Apa yang kamu risaukan, Jil?

Kehilangan? Kesepian? Kesendirian?

Bukankah kita semua akan melaluinya? Kamu hanya terlalu takut, Jil. Akan tiba masanya kita saling menjauh, berdiam pada masing-masing angkuh kita yang membakar, tunduk pada ego yang mengoyak kenangan. Kamu hanya perlu terbiasa melewatinya, Jil. Tak perlu terburu-buru. Berikan tanganmu pada waktu, dia yang akan menuntun.


Mijil,
Seandainya kutemukan jalan lain yang terbuka untuk kita, ah! Tak perduli harus menerobos ilalang atau tersandung kerikil panas, akan tetap kugenggam tanganmu erat-erat.

Gerimis mulai terendus di kejauhan. Datang bersama angin kering yang hambar. Berbaringlah, Jil. Kita ulangi lagi menghitung bulir hujan yang jatuh di wajah kita. Satu. Dua. Tiga. Empat.


Mijil,
Jangan biarkan kubangan di matamu meruah. Sebab aku takut terseret dan tak mampu balik ketepian, tenggelam. Menjadi batu.

Sepucuk surat (bukan) dariku, simpanlah untukmu.
Sepucuk surat (bukan) dariku, sebagai pengingat bahwa kita bukan lagi dua jiwa yang bisa membagi minuman berfermentasi untuk  direguk berbarengan, Jil.


Mijil,
Perempuan sunyi itu telah lama menyembunyikan rasa di balik kutang usangnya. Kembalilah, Jil. Kembalilah pada wajah yang kamu simpan sebagai peta dalam sakumu. Ke sanalah kembalimu.

Pada akhirya, kamu dan aku akan kembali pada jalan yang kita terabas mula-mula sekali. Jejak kita yang tertinggal akan membelah, membelah, lalu berkumpul menjadi kenangan yang kesepian.

Terimalah, Mijil
Sepucuk surat (bukan) dariku yang harus kuterima untukmu. Semoga kamu mengerti.



-------------------------------------------------------------

Catatan sikil: Ngeblog FF hari ke-7





Read more...

Selasa, 17 Januari 2012

Ada dia di matamu


Dear Fauzan,

Lewat surat ini kukabarkan padamu bahwa aku baik-baik saja dan semoga begitu jugalah adanya denganmu.

Sebenarnya sudah lama ingin kukatakan bahwa kepergianku bukan karena kesalahanmu. Juga bukan karena dia. Tidak ada yang patut dipersalahakan dalam hal ini, sayangku. Kalaupun ada yang patut dipersalahakan, satu-satunya adalah diriku.

Maaf karena aku tidak bisa setia seperti yang kamu harapkan, Fauzan.

Bukan karena aku tidak cinta padamu, bukan pula karena kamu tidak menarik. Sangat klise jika kukatan jika selama ini kamu terlalu baik. Tapi bukankah sebagian besar yang adanya di dunia ini memang klise?

Kita bertemu, akrab, jatuh cinta lalu saling menjauh adalah satu dari banyak hal klise?
Anak yang terlahir dari rahim seorang ibu, besar, dewasa, menikah lalu meninggalkan ibunya juga klise? Bukankah banyak janji-janji manis yang diumbar lalu terbiar begitu saja tanpa satu perwujudan juga hal yang klise?


Fauzan, kasihku

Kuharap jangan pernah terbersit di hatimu untuk membenciku, meskipun itu tetaplah hakmu yang tidak bisa kusangkal.

Baik kita saling melupakan apa yang telah kita lalui sebagai hal yang patut dikenang saja. Tidak lebih, tidak lebih, Fauzan.
Di sini mati-matian aku menata hati kembali. Mengembalikan semua yang telah terserak dan berburai menjadi satu mozaik  yang dapat kugenggam sebagai pengingat.

Fauzan, cintaku
Maafkan jika sampai hari ini belum bisa kutetapkan hati untuk memilihmu. Sekali lagi, sekali lagi, Fauzan. Tidak ada yang salah denganmu.

Fauzan, belahan jiwaku
Terima kasih atas segala yang telah kamu berikan.

Cinta. Rindu. Sayang. Semuanya. Semua yang sangat kusayangkan, yang tak mampu aku menerimanya. Terlalu besar yang kamu berikan padaku, Fauzan.

Fauzan, permata hidupku
Semoga ini menjadi kesalahan terakhirku menyia-nyiakan kebaikan kekasih sepertimu. Kelak, akan kau temukan cinta seperti yang kamu dambakan. Pasti ada, Fauzan. Pasti ada. Pasti ada satu untukmu. Kelak.

Fauzan,
Tak bisa kupungkiri bahwa sekuat apa aku berusaha mencintaimu, semakin kuat pula ingatan akan cinta yang telah lalu membayangiku.
Ada dia di matamu.
Ada dia di matamu. Ada dia di senyummu, ada dia di indahmu. Dan ada dia di sini. Di hatiku.

Fauzan,
Baik kubatalkan saja meja panjang di pojok restaurant yang telah lama kita pesan. Karena aku tak mungkin duduk sendiri tanpa hadirmu. Aku tidak ingin terlihat sangat menyedihkan dengan kesendirian, dengan kesepian, dengan segala hampa yang melekat.

Fauzan, kekasihku
Lelaplah dalam tidurmu. Do’aku menyertaimu selalu. Suatu saat kita akan bertemu, menikmati indah dari cakrawala yang kita lukis, bersama. Sampai jumpa kekasih terbaik. Pesankan stu tempat terbaik untukku di sini, sayang.
Sampai bertemu di kehidupan yang belum pernah kita mengerti.





Read more...

Sabtu, 14 Januari 2012

Kamu manis, kataku.

Kamu manis, kataku.

Tapi tetap saja perempuan muda itu bergeming. Sebenarnya, tidak ada maksud untuk gombal, tapi perempuan itu memang terlihat manis dan sangat anggun.

Usianya hampir menginjak pertengahan dua puluh. Rambutnya yang hitam sepunggung, agak sedikit ikal. Leher jenjangnya memakai kalung yang sedikit kuno. Mungkin kalung pemberian ibu atau neneknya. Bandulnya itu loh, astaga! Seorang gadis molek yang, telanjang!

Siapa bilang hanya perempuan bermata besar yang terlihat manis? Teori salah. Orang yang berpendapat seperti itu pasti belum pernah melihat perempuan muda ini dan terlalu banyak membaca komik manga dengan tokok gadis dengan wajah yang sebagian besar dipenuhi mata. Gadis ini lain. Dengan mata agak menyipit,  justru menjadi daya tariknya. Kalau sedang tersenyum, matanya akan tertarik ke atas, semakin terlihat kecil.  

Kamu manis, kataku.

Suaraku terdengar mirip desisisan. Kali ini gadis di depanku tersenyum. Astaga! Jantungku! Jantungku berantakan.

Aku kikuk saat tatapan kami saling beradu. Dia tersenyum lagi. Wajahnya tidak terlalu mulus seperti laiknya wanita-wanita cantik pengiklan produk kecantikan. Namun satu yang mebuat dia semakin mempesona. Lesung pipinya. Lesung pipinya tidak rata, maksudku, berbeda. Bukan. Maksudku, lesung pipi kirinya lebih dalam. Jangankan senyum, sedang berbicara saja lesung pipi kirinya terlihat.

Gadis manis di depanku tengah berputa-putar kecil.

“Sayang sekali baju ini belahan dadanya agak sedikit ke bawah.” Dia membentangkan baju itu padaku.  

Kalau menurut ukuran orang-orang, baju itu tidak bermasalah. Belahan dada yang agak terbuka juga menunjukkan keseksian bukan?

Apa yang dirisaukan perempuan ini? Kulirik dadanya diam-diam. Tidak ada yang salah. Dadanya masih kencang berisi. Padat, sedikit kenyal dan hangat.  Harusnya dia lebih percaya diri.

Perempuan itu hanya memakai kutang dan celana dalam waktu menyapukan bedak ke pipinya. Kutang Hitam dan celana dalam Merah, lalu tiba-tiba tersenyum padaku.

Dia menyangga dadanya dengan kedua tangan menghadapku sambil berkata.
“Meski Cuma pakaian dalam dan tidak diperlihatkan pada orang ramai, tapi mereka juga ingin dihargai. Mereka juga ingin punya moment sendiri.” Begitu katanya. Aku diam, mengamini.

Perempuan muda ini sebenarnya pribadi yang menyenangkan, namun aku tidak berani banyak bicara. Ada kesan segan atau apa ya? Sungkan lebih tepatnya. Dia terlalu anggun dan aku selalu menjadi penikmat keanggunannya. Otakku mulai berpikir macam-macam. Tidak, tidak. Jangan sampai dia tau isi kepala mesumku.


Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Perempuan itu mendekat. Seperti membaca pikiranku, dia melirik mesra. Senyumnya mengembang dan tatapan mata itu, aku tahu persis maksudnya. Jangan sampai! Jangan sampai! Jangan sampai! Aku menegang.

Dia mulai meraba pundakku, leherku, perempuan itu mengusap dadaku. Ya, dadaku! Anjing! Apa-apaan ini?! Dan aku masih tegak berdiri, tidak melakukan apa-apa. Tidak juga berusaha menghindar. Dia anggun dan cantik, aku menikmatinya.

Jarinya yang panjang dan lentik menyentuh pipi, mengusap bibirku, aku pasarah apa yang akan dilakukannya.

Kamu manis, kataku.


Tok.. tok.. tok..

Aku terperanjat. Sekeliling kulihat hitam, sekelebat. Perempuan di depanku juga tak kalah kaget. Mati aku!

Gedoran di pintu tak bisa menunggu. “Buruan dong, lama amat dandannya.”

Gagang pintu bergerak, dan menyebul kepala, mengintipku.

“Astaga! Dari tadi elu ngapain. Jam segini baru pake kolor ama beha doang?! Kelamaan ngaca sih lo.”
Perempuan manis itu tidak terlihat lagi.  

Read more...

Dag Dig Dug


Nguiiing.. nguiiing.. nguuuiing..

Sirine polisi masih terngiang-ngiang di kuping Rasti. Meresahkan. Rasti tidak suka dengan bunyi sirine. Sirine ambulan, sirine polisi apalagi. Kenangan Randu yang ditangkap polisi karena tertuduh mengikuti organisasi penentang pemerintah masih lekat di benaknya. Rasti tahu Randu bukan tipe orang yang seberani itu. Apalagi menentang pemerintah. Randu orang baik, mahasiswa baik, anak yang baik, juga kekasih yang baik. Benar-benar mustahil.

Dag Dig Dug!

Ada yang bermain di pikiran rasti. Resah.

“Katanya ada yang terbunuh, mbak. Makanya rame banget mobil polisi.”
“Siapa?”

Pedagang kaki lima yang ditanyai Rasti mengangkat bahu. Pikiran Rasti kalut, dia harus segera pulang. Tidur lalu bangun keesokan paginya dengan badan dan pikiran yang segar. Sidang skripsi harus tak boleh mengulang, tekadnya.


Kemeja Putih dengan celana rok Hitam selutut benar-benar sesuai dengan sepatu hak tingginya. Anggun sekali.

“Tapi aku mirip tahi cicak kalau begini.” Rasti tersenyum sendiri melihat dandanannya di depan cermin.

Kriiiing.. Kriing.. Kriing..
Bah! Jam digital berteriak mengingatkan Rasti untuk segera ke kampus. Meski Rasti sendiri yang telah memprogram jam digital itu berbunyi menurut keinginannya, tapi Rasti tetap saja merasa kesal dengan suara jam yang melengking tinggi. Dia ingat teriakan Bu Marni, ibu kosnya yang judes.

Dag Dig Dug

Baru saja sampai di korridor kampus, jantun Rasti sudah tidak bisa berhenti berdetak kencang. Apa kira-kira yang akan ditanyakan para dosen itu? Bagaimana jika aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka? Rasti gugup. Segugup gugupnya gugup. Lututnya gemetar.


Dag Dig Dug.

Lagi-lagi jantungnya berdesakan ingin keluar. Beberapa mahasiswa yang juga berpakaian Putih Hitam sepertinya berkerumun di satu tempat. Berbicara satu sama lain. Berdiskusi atau sedang memperbincangkan sesuatu yang membuat Rasti penasaran. Rasti sangat penasaran tapi tidak ingin berusaha tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Debaran jantunya lebih menyita perhatian.

Tidak berapa lama, seorang lelaki gemuk menghampiri kerumunan mahasiswa yang bercakap-cakap. Semenit, dua menit, tiga menit. Lalu bubar.

“Sidang kita ditunda, nanti ada pemberitahuan susulan.”
“katanya, Pak Randi mati dibunuh kemarin malam.”

Darah Rasti mengalir cepat dari kepala hingga kakinya. Rasti bisa merasakan itu. tapi entah kenapa Rasti senang. Mungkin karena sidang skripsi ditunda, mungkin karena jantungnya mulai berdetak perlahan, mungkin juga karena dosen pengujinya yang mati. Mungkin...


Tok.. Tok.. Tok..
Siapa yang mengetuk pintu semalam ini? Kalau bukan karena urusan mendesak, pastilah orang ini tidak tahu etika bertamu, sungut Rasti.

“Benar anda yang bernama Rasti?” Lelaki yang di depan Rasti langsung bertanya begitu pintu terbuka. Rasti hanya mengangguk.

 “Anda terpaksa kami tahan, kartu mahasiswa anda tertinggal di kamar hotel tempat mayat Bapak Randi ditemukan.”

Dag Dig dug. Jantung Rasti berlompatan satu-satu.


Dia teringat peristiwa dua malam sebelumnya, dua orang lelaki menyekapnya sepulang dari kampus, lalu dibawa ke kamar hotel. Dicampakkan begitu saja ke tempat tidur, muncul seorang lelaki hampir tua, Pak Randi, dosennya.

“Kamu harus menyusul Randu. Randu kangen kamu. Dia gantung diri dipenjara karena kamu tidak bisa menjadi kekasih yang setia.” Lelaki tua itu mencekiknya. Rasti panik, nafasnya megap-megap. Dia menggapai-gapai mencari pegangan.

Bruuk! Lelaki itu terjatuh. Kepalanya berlumur darah, Rasti tertegun. Tangannya masih menggenggam pecahan botol. Pak Randi, dosennya.

Dag Dig Dug.



--------------------------------------------------------

Catatan sikil: FF yang telat publish karena inet yang mendadak mati seharian kemarin.
Read more...

Kamis, 12 Januari 2012

Halo, Siapa Namamu?


Dulu, ruangan ini penuh sesak. Selalu penuh sesak. Tapi itu dulu, sebelum semua berubah. Sebelum Mas Harsja pergi, sebelum Bapak sibuk, sebelum Timo mati kelindes motor, sebelum ibu ditaksir Pak Jana, tukang bata sebelah rumah. 

Mas Harsja pergi dengan pacarnya, tinggal berdua padahal belum menikah. Bapak sempat kalap dan hampir membunuh pacar mas Harsja kalau saja tidak dilerai tetangga.

“Ada-ada saja. Pacaran kok ya sama Joni. Kaya udah ndak ada perempuan saja.”

Aku diam, ibu juga diam, cuma Bapak yang misuh-misuh. Timo ketiduran di kursi waktu itu.

Entah apa sebabnya Bapak mulai jarang pulang ke rumah. Yang aku tahu kemudian Bapak dan Ibu mulai jarang bicara. Ibu sepertinya kangen Mas harsja. Tiap kali telpon berdering, ibu tergopoh-gopoh.

“Pasti dari Harsja.” Begitu selalu kilah ibu.

“Bukan Harsja.” Gagang telpon diletakkan begitu saja. Kadang tergantung, kadang malah ditutup. Tapi aku tak berani protes, Timo melarang.

Mulanya, aku pikir ibu hanya kangen Mas harsja saja makanya selalu mengangkat telpon jadi ritual wajib. Tapi makin hari, ibu makin aneh. Ibu mulai suka menekan-nekan nomor telpon sembarangan, acak-acakan. Banyak yang tersambung.

“Halo, siapa namamu?”
“Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”

Sudah berulang kali kukatakan, ada waktunya Mas Harsja pulang. Tapi ibu tak terima, Timo hampir mati dicekiknya. Sial!

Keesokan hari, aku dijemput Pak Jana ke sekolah. Langkahnya panjang menggamit lenganku, aku berjalan tersaruk-saruk. Ada apa ini? Di beranda kulihat ayah menenteng koper besar. Ibu mematung memeluk Timo.

“Kamu mau ikut atau inggal di sini? Hah!”

Aku tidak suka bapak, dia suka membentak, mulutnya lebar dan nafasnya bau. Bau rokok, bau kopi, belakangan juga bau alkohol. Aku bergeming, sampai esok hari ayah tidak pernah pulang sampai hari ini.


“Halo, siapa namamu?”

Aku mulai terbiasa melihat kelakuan ibu yang tiap hari menelpon orang yang tak dikenal untuk mencari Mas Harsja. Hasilnya, tentu saja tetap nihil.


Di rumah ini aku hanya punya Timo. Kucing kecil yang pincang, Timo dirawat Pak Jana sampai sembuh lalu diberikan padaku. Kupikir dulu Pak Jana menyukai ibu makanya baik padaku. Tapi akhirnya Timo juga pergi, dia mati. Lehernya hancur terlindas motor yang melaju kencang di depan jalan. Padahal ibu sedang ada di rumah waktu itu. Ibu tidak menjaga Timo bahkan ibu tidak tahu Timo mati, setiap hari kalau tidak melamun ibu pasti menelpon,

“Halo, siapa namamu?”
“Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”

Sekarang aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Rasanya seperti ibu.


Kemarin, selesai menaburkan bunga ke makam Timo, aku tersentak, banyak orang berlarian dari ujung jalan. Wajah mereka pias, aku penasaran. Apa yang terjadi? Kulihat Pak Jana tengah memeluk seorang perempuan. Astaga! Pak Jana memeluk ibu.

Orang-orang bergidik ngeri, Pak Jana terengah melawan rontaan ibu. Pak Jana dan ibu menjadi tontonan. Ibu tersenyum pada kerumunan, ibu mencoba menggapai beberapa orang yang sebaya dengan Mas Harsja.

“Halo, siapa namamu?”
“Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”

Kata Pak Jana ibu kangen Mas Harsja. Kata orang ibuku gila. Aku merasa semakin mirip ibu.
  



 _______________________________________________________________


Catatan sikil: Selain biar ini blog gak melanggar kaidah dan ketentuan perblog-an saking jarangnya di update, fiksi ini juga ditulis buat ngeramein acaranya pesta blog iseng #15HariNgeblogFF.

Read more...