Pages

Sabtu, 28 September 2013

Kenapa Perempuan Tidak Membutuhkan Pahlawan Super?

Gambar diunduh dari Google
Siapa yang tidak kenal dengan jagoan di film-film besutan sutradara besar Hollywood? Sebut saja James Bond, Spiderman, Batman, Superman, Fantastic 4, dan silahkan tambah sendiri daftar lainnya.


Menyoal judul di atas, saya sebutkan women, bukan girls. Tentu tak perlu saya berpanjang-panjang menjelaskan tentang perbedaan kedua kata di atas karena siapapun yang membaca paham benar perbedaan keduanya. Baik dari segi usia, sikap, dan sifat.


Tokoh yang saya sebut di atas adalah para pahlawan super sempurna. Tampang keren, tubuh bagus, pembela kebenaran, pembasmi kejahatan dan tentu saja digilai banyak wanita. Lalu apa yang kurang? Sekilas memang tidak ada. Sekilas.


Sebut saja James Bond. Mereka menjadikan pria Inggris nan flamboyan paruh baya itu sebagai simbol spionase dengan citra berkelas. Pernah melihat rambut James Bond yang klimis berkilat-kilat itu acak-acakan sehabis berkelahi? Sekian banyak filmnya yang sempat saya tonton, tidak pernah. Paling juga luka-luka kecil dengan seuprit darah di sela bibirnya.


Lalu Spiderman, hadir dengan jaring lentur yang keluar dari jemarinya. Menyelamatkan kekasihnya dengan begitu gentleman. Melompat, merayap, mengeluarkan jala, menjadi pahlawan New York.


Lalu lagi, ada Batman. Superman. Fantastic 4. Kita tahu cerita itu.


Di dalam film, mereka benar-benar berhasil punya tempat di hati penikmatnya. Terutama penonton perempuan. Sebagian akhirnya berandai-andai ‘jika saja’. Jika saja saya Marry Jane, maka saya akan.. Jika saja super hero itu ada, mungkin saya adalah…

Bagi pria efek yang ditimbulkan selepas menonton film itu (mungkin) sama seperti perempuan di atas. Bedanya, untuk kaum lelaki, ‘jika saja’ menjadi perandaian dari segi yang berbanding terbalik. Jika saja saya punya kekuatan super, maka saya akan menyelamatkan dunia. Jika saja saya menjadi penyelamat dunia, maka saya akan membuat pacar saja bangga.


Dan itulah yang dijual produser serta sutradara tadi. Mimpi dan ilusi, tentunya! Ilusi yang paling laku adalah ilusi tentang kekuatan. Ilusi ini kemudian berkembang menjadi ilusi yang baik tetapi lebih banyak menjadi ilusi buruk yang melenakan.


Tentu sebagian ada yang menolak pesona para pahlawan super tadi dengan menghidupkan mereka menjadi tokoh nyata sehari-hari. Begini…

Spiderman hanya seorang juru poto keliling rendahan yang saking ‘sibuknya’ tidak pernah punya waktu menonton pertunjukan teater kekasihnya. Tidak mampu mengutarakan cinta pada Mary Jane meski mereka telah bertetangga sejak kanak-kanak. Dia miskin, dan Mary Jane lebih memilih sahabatnya yang lebih kaya, sebelum Mary Jane tahu bahwa Spiderman adalah Spiderman (namanya saya lupa, malas gooling). Mary Jane matre? Tidak! Dia hanya bersikap realistis.


Lalu Batman, dia hanya seorang pria tampan kaya yang cengeng, yang juga tidak punya keahlian apa-apa tanpa peralatan canggihnya. Sebelas-dua belas dengan James Bond. Tanpa bantuan tekhnologi canggih yang mereka miliki, dua puluh tahun kemudian mereka mungkin akan menjadi lelaki tua genit yang makan saja harus disuapi perawat seksi berdada 38B.


Pun Superman, betapa malang nasibnya karena akhirnya dia menyaksikan perempuan yang dicintainya menikah, punya anak dan hidup berbahagia dengan orang lain. Bukan salah perempuannya, dia yang pergi terlalu lama tanpa kabar. Perempuannya tidak setia? Bukan! Dia hanya bersikap realistis. Saya ulang dua kali biar efek dramatisnya kerasa. Dia sudah melakukan hal yang benar, menikah dan berbahagia. Untuk apa menunggu Clark yang hilang begitu saja. Sampai kapan? Ditembak juga kagak, cuma dikasih kode dan di-php-in. Ora sudi, Man


Terakhir ada fantastic 4, diketuai oleh lelaki gepeng yang lentur. Ilmuwan yang sarat dengan simbol kelabilan ekonomi. Tagihan ini, tagihan itu, tagihan sana, tagihan situ, perkara tagihan. Mengutarakan cinta? Koreksi saya kalau salah. Bukannya Susan Storm yang ngungkapin duluan?


Mereka memang super hero. Pahlawan yang membela hal-hal abstrak yang sebenarnya bisa dilakukan para polisi jika saja peran polisi dan tentara tidak dibuat menjadi boneka dungu dan pelengkap cerita agar durasi bertambah beberapa menit. Kalau saya jadi polisinya, saya akan protes pada penulis ceritanya karena telah merendahkan instansi penting negara ke level rendah serendah-rendahnya. Saya sedikit miris, ketika sebuah negeri tidak bisa ‘diamankan’ oleh kekuatan besar. Maka diciptakanlah satu pahlawan dengan segala kelebihannya, mampu menumpas musuh seorangan. Fasilitas publik kacau balau serupa kebun singkong diamuk babi hutan.


Untungnya itu hanya fiktif yang meski digandrungi banyak pemirsa, dalam kenyataan, kisah heroik itu tidak terjadi.

Lalu di mana sinkronisasi antara judul dan kisah para pahalawan super? Ya, saya hampir lupa kalau saja tidak diingatkan.


Bagi saya pribadi, mereka benar pahlawan super. Tapi bukan jagoan. Menjadi pahlawan adalah menjadi tokoh yang dielu-elukan, berjiwa penolong, heroik dan membuat aman. Sedang jagoan adalah menjadi andalan. Kehadiran mereka disadari, diharapkan dan membuat nyaman.


            Gadis remaja membutuhkan figur yang mampu membuat aman. Yang penting aman. Aman belum tentu bisa mendatangkan kenyamanan maka itulah remaja putri masih tergila-gila pada bad boy. Bertampang keren, otot sebesar talas bogor, sedikit urakan dan tengil. Yowes, sing penting aman.


            Perempuan dewasa membutuhkan orang yang mampu diandalkan. Siklus usia menjadi wanita dewasa menuntut mereka menemukan seseorang yang mampu membuat nyaman, aman saja tidak cukup. Lapar bisa saja ditutupi dengan kenyang. Itu aman. tapi kenyang belum tentu karena dia memakan makanan yang enak. Minum air segalon juga bikin kenyang tapi tidak puas. Gambaran puas di sini yang saya sebut kenyamanan.


    Wanita tidak lagi membutuhkan petualangan hidup yang menggetarkan dengan pria heroik, jauh berbeda dengan para gadis remaja. Terlalu beresiko menghabiskan umur dengan pria sebangsa Rambo. Itulah kenapa dalam Sex And The City, Carrie Bradshaw memilih hidup dengan Mr. Big yang matang daripada mantan kekasihnya si pengusaha karpet yang masih doyan pelesiran.


            Tidak menutup kemungkinan: bahwa ada masanya laki-laki akan berevolusi menjadi pria. Sayangnya, dalam masa proses yang memakan waktu itu, mungkin saja orang yang anda cintai sepenuh hati telah termakan pesona pria yang telah lebih dulu memberikannya kenyamanan.


Kenyaman tidaklah selalu disimbolkan dengan kemegahan. Tetapi sedikit kemegahan mampu mendatangkan kenyamanan. Itu kalimat klise yang entah siapa pertama kali mencetuskan, yang jelas saya mengamininya.



            Hanya laki-laki yang masih sibuk berkutat memikirkan keefektifan analisis SWOT tentang pasangannya. Marcopolo saja, pemberani dan tangguh. Sementara, PRIA PUNYA SELERA!! 
Read more...