Pages

Selasa, 06 September 2011

(Re-Post) Paman Kita Yang Menjadi Tokoh Mimpi Buruk

Gambar diunduh dari pencarian Google

Dear Afrizal,
Bersama surat ini kukabarkan bahwa aku baik-baik saja dan hendaknya begitu juga denganmu di sana.

Sebagaimana layaknya surat, maka semua akan berisi kata-kata saja. Mungkin ada sesisip rindu yang kuwakilkan lewat kecup yang tak nyata. Karena begitulah layaknya surat, penuh dengan kata-mulai dari kata manis basa-basi, kata sapaan palsu, hingga kata cinta yang gombal-tapi tetap saja aku tak bosannya mengirimimu kata-kata. Kupikir memang begitulah hakikatnya manusia, siapa yang ingin disapa, harus menyapa, bukan?

Afrizal tercinta,
Beberapa malam belakangan ini aku tidak bisa tidur sebab dibayangi mimpi seram yang begitu nyata. Entahlah. Sekarangpun aku susah membedakan apakah mimpi yang terasa nyata atau kenyataan yang mirip mimpi. Aku merasa tak jauh berbeda serupa Nancy yang akan dibunuh oleh Freedy Krauger dalam A Nighmare on Elm street. Aku takut kalau mimpi yang kualami menjadi betul terjadi, Zal.


Afrizal pujaan hatiku, Afrizal yang kucinta, apa kamu masih ingat tentang mimpiku yang kuceritakan dulu? Iya! Tentang Paman Ali itu. Selalu saja dia menjadi tokoh mimpi burukku. Tak pernah bisa kuenyahkan atau kugantikan dia dengan tokoh jahat lainnya, Zal. Agaknya, dialah Raja dari Diraja tertinggi pemegang kekuasaan yang mengatur segala peran tokoh mimpi buruk, yang punya wewenang membagi tugas para tokoh mimpi buruk untuk menghampiri si pemimpi yang telah dia tentukan. Ngeri bukan main, Zal.


Afrizal kekasihku,
Malam itu aku bermimpi tengah mencari siput di bibir muara belakang rumahku.
Angin sore yang berhembus dari tengah laut membawa aroma bacin tubuh nelayan di kejauhan. Daun-daun pokok kelapa bergoyang ke kiri-ke kanan menurut perintah angin. Anak-anak kepiting berlarian tak tahan ditimpa sinar matahari sore yang menyengat, kocar-kacir kepiting-kepiting itu menyurukkan tubuhnya kedalam pasir pantai yang berkilauan, mencari perlindungan. Kadang kepiting itu sempoyongan menabrak akar-akar kelapa yang menjulur keluar dari tanah.

Lalu pada satu malam purnama dengan awan berarak di langit, tiba-tiba tiang-tiang rumah papan kami berderak-derak dihantam gelombang laut yang pasang. Tak sampai menunggu pagi, rumah-rumah kami, perahu-perahu kami, jala-jala yang belum selesai kami jahit, semua kelihatan bersih disapu gelombang pasang. Tangis jerit anak yang bapaknya tak selamat di tengah laut bedengking memekkan telinga.

Esok harinya, Paman Ali datang dengan mobil mewah lengkap dengan safari necis mengolok-olok kami.
“Kalau tak ingin terkena badai, jangan berumah di tepi pantai”
Bah! Perkataan apa pula itu! Padahal dalam mimpiku, Paman Ali itu tetua kampung yang harusnya mewakili kami dalam segala suka duka.


Afrizal cahaya hidupku, jantung hatiku, apa kamu masih tetap melanjutkan membaca surat dariku ini? Kalau datang jemumu, baik hentikan barang sebentar.

Mimpi terakhirku-yang kupikir lanjutan dari mimpi pertamaku tentang Paman Ali yang menjadi tokoh Antagonis-tentang pencurian di gudang ikan milik nelayan.
Gudang itu satu-satunya tempat hasil tangkapan nelayan disimpan, agar kalau nanti datang tauke dari kota, bolehlah menjual ikan barang sepeti-dua peti. Layaknya kebanyakan tempat penyimpanan, ditugaskanlah penjaga-penjaga yang kekar, tahan bertanggang mata semalaman, lihai melihat dalam kegelapan, dan tentu saja orang yang berilmu lagi terpercaya.

Seperti biasa, di awal minggu para tauke dari kota datang membeli ikan. Setelah timbang sana-timbang sini, sepakat dengan harga tawaran, dinaikkanlah ikan-ikan ke atas truk yang besarnya tak terkira.
Mirip-mirip tak ada yang salah, semua berjalan sesuai rencana. Lama-kelamaan, jumlah tangkapan nelayan yang disimpan di gudang berkurang kilo demi kilo. Tauke bersikukuh kalau timbangannya masih dalam masa kalibrasi yang belum kadaluwarsa, begitu juga nelayan-nelayan miskin yang terlatih menakar berat jarang salah.

Saling tak percaya mulai jadi pemandangan biasa saban awal minggu. Penjaga-penjaga gudang bersih tak terlibat sengketa.
Hingga satu malam, seorang nelayan yang baru saja pulang melaut di malam hari menyaksikan penghianatan penjaga gudang yang tengah mengeruk isi peti. Menjejalkan ikan, kepiting, cumi, hingga teripang dalam plastik. Menjual pada penadah, lembar demi lembar rupiah. Penjaga gudang tak lagi dipercaya, mereka lari tak tentu rimba. Berita menjadi santer.

Esok harinya, Paman Ali datang dengan bergaya, berbicara di atas podium.
“Harap kita bisa memaafkan mereka, saudara-saudara kita yang khilaf itu.”
Huh! Paman Ali bilang mereka saudara kami! Saudara mana yang tega mencuri hak saudaranya sendiri, Afrizal!
Nelayan miskin yang kemalingan kehilangan tokoh tetua kampung sekaligus sosok panutan.
“Keparat kau Paman Ali!”
Wong Edan! Pateni wae!”
Nenek tua yang anak dan cucunya mati ditelan badai, menangis sesenggukan.
Dak punya hati engkau menengok budak-budak yatim yang dah tak cukup makan ni, Ali?”
Dak tau untung engkau, Ali!”

Nelayan yang biasanya ramah dan lembut hati merasa terhianati tapi tak bisa berbuat banyak. Paman Ali berlalu begitu saja. Masuk ke mobil mewahnya. Sama sekali tak mendengar jerit tangis kekecewaan nelayan kampung kami, Afrizal.


Afrizal sayangku,
Begitulah mimipiku yang terasa begitu nyata. Aku menjadi takut pada Paman Ali. Aku takut satu hari nanti tak ada lagi yang percaya pada sosok pemimpin panutan, meski sosok itu benar-benar ada sekalipun. Aku takut anak-anak kita menjadi terbiasa dengan segala carut marut kampung kita, Afrizal.
Afrizal kekasihku yang selalu kupuja dan kucintai, doakan semua menjadi baik. Dengan ini kusudahi suratku padamu nun di perantauan sana, dengan peluk dan cium untukmu selalu.

________________
catatan sikil: ditulis pertama kali untuk Kompasiana.
Read more...

Selasa, 09 Agustus 2011

(Re-Post) Jawaban Untuk Kekasih Lewat Surat Cinta Yang Kompleks

Gambar diunggah dari Google.com
Dear Zein,
Bersama surat yang kukurimkan ini, kusisipkan rindu dalam pekat malam yang makin malam. Kamu apa kabar? Semoga setelah tak lagi mengepalai proyek pertambangan milik kapitalis ternama itu, kesehatanmu makin baik-baik saja.

Dua bulan lalu kamu bilang, kalau kamu semakin sibuk membenahi segala urusan pekerjaan barumu, mungkin karena itulah, pesan yang kutinggalkan di ruang kotak virtual berkali-kali lalu tak juga kamu balas. Tak mengapa.

Aku ingat janji terakhirmu sebelum kita berpisah, kamu juga bilang, kamu tidak akan selingkuh tanpa setahuku. Aku tertawa antara bangga dan bahagia. Kadang aku heran sendiri bagaimana aku bisa tahan sekian lama denganmu yang begitu tak tertebak dan hidup terlalu teratur.


Zein sayang,
Seperti apa kamu sekarang? Apa kamu rutin mencukur bulu-bulu halus di dagumu? Dua hari lalu, saat gerah hampir di setiap malam belakangan ini, aku membayangkan liburan pagi kita yang indah. Berbelanja, memasak, sekedar meminum teh di sore hari atau menonton opera yang sudah lama kita rencanakan.

Bagaimana cuaca di kotamu sekarang, kamu masih di Vienna bukan? Sesekali aku ingin ikut denganmu, berpindah dari satu kota besar ke kota besar lainnya. Merasakan makanannya, berlibur di atas perahu-perahu mengarungi sungai yang mengalir di bawah jembatan tua yang kokoh, atau memberi makan burung-burung dara di taman kota Amsterdam yang bersalju.

Bulan-bulan lalu aku menerima kabar lewat surat elektronik dari teman tentang musim badai salju dan hujan es yang mampu meretakkan kaca-kaca mobil. Aku cemas sekali ketika itu, pasti kamu tengah meringkuk kedinginan di depan perapian apartemen yang dingin di Dubai.

Kudesak kamu agar menyalakan penghangat ruangan dan memakai alat pemanas di bawah kasurmu tiap kali ingin tidur. Kamu bilang aku tak perlu cemas karena semua baik-baik saja. Gampang sekali kamu bicara, My Dear. Bagaimana bisa aku tak cemas kalau aku tak yakin kamu baik-baik saja?


Zein,
Sudah lama sekali aku mendamba kita punya waktu barang sebentar untuk sekedar mengobrol. Tentang kamu. Tentang masa depan cinta kita. Tentang banyak hal.
Aku ingin mendengar kisah remajamu saat masih di Nigeria. Apa kau pernah mengencani gadis-gadis yang menaiki punggung-punggung unta yang ditarik dengan tali saat mereka menyeberangi Gurun Sahara menuju Burkuni?

Apa kau pernah jatuh cinta pada gadis pengembara Samia yang doyan meminum susu dan berhidung mancung itu?
Sumpah demi apapun aku tak dibakar cemburu. Setiap kita punya masa lalu, Zein.


Zein pujaanku,
Tiga hari lalu aku menghadiri pernikahan Erick dan Risa. Mereka mengirimiku tiket, memaksaku datang. Pestanya sederhana, hanya di apartemen di pinggiran Utrech.

Belakangan aku tahu, Erick begitu kangen pada negeri kita. Kami bercerita hingga larut di balkon apartemennya, dia rindu kampung halamannya di pesisir Sumatera sana. Erick bilang, dia sudah lama tak mencium aroma tanah kering di sini.

Risa, dia sudah lama tak mendengar Indonesia Raya seperti dulu masih di kotanya, Dili. hingga hampir fajar kami masih di balkon dengan mantel tebal yang menempel. Sambil mengusap air mata sesekali, Risa menceritakan luka dan perihnya saat bertahun-tahun melihat ibunya hampir gila menunggu saudara lelakinya yang tak pernah pulang setelah dibawa beberapa orang berseragam. Indisiden di Dili masih melekat dan menyisakan ketakutan, kelebat orang-orang ramai menenteng golok dan kelewang masih menyisakan trauma untuk Risa.

Aku miris melihat mereka, Zein. Erick dan Risa itu. Punya tanah air tapi harus mencari penghidupan yang layak di negeri orang. Malam itu kami saling mengenangkan malam-malam purnama yang cahayanya menembus reranting pohon rambutan di desa, masa kanak-kanak kami yang keras, kecipak air sungai yang memercik di wajah. Semuanya, sebelum segala carut marut menjadi biasa. Malam itu di tengah hujan salju yang mulai menjelma badai, kami kenangkan kembali kenangan-kenangan tentang negeri yang kami rindu.


Zein,
Kamu pernah bertanya beberapa kali padaku tentang cinta. Apa kamu percaya kalau aku bilang, aku masih tak mampu menjawab, bahkan hingga sekarang? Cinta bukan sekedar rasa yang hadir dari hati dan berbiak sampai ke jiwa. Bukan.

Cinta lebih kompleks dari sekedar ungkapan sajak picisan yang kerap kamu baca di buku-buku roman mahal koleksimu. Cinta juga tak harus diumbar. Cinta harusnya menjadi mantra yang gelap dalam alam bawah sadar kita yang jujur. Cinta bukan sekedar kita bahagia karena bisa hidup bersama. Karena bahagia bisa saja kita buat-buat. Toh, bahagia hanya permainan olah pikir masing-masing kita.

Itulah kenapa aku tak pernah bisa meyakinkan cintaku padamu seberapa besar dan seberapa lama aku akan bertahan untuk terus mencintaimu. Cintaku padamu tak bisa kuutarakan, aku terlalu gugup untuk bisa menjelaskan. Semuanya. Semua yang kau tanyakan tentang cinta padaku. Tak mengapalah sesekali kita menjadi pengecut.


Zein,
Baik kita sudahi saja perdebatan kita tentang cinta dalam definisiku yang tak pernah bisa kau mengerti. Atau kita kembalikan saja semua pada ruang dan waktu, hingga kemudian hanya akan menjadi skenario hati masing-masing kita yang tidak akan pernah terjawab. Begitulah. Meski hingga akhir jaman nanti.

Aku hanya bisa bilang, akan kamu temui jawaban tentang cintaku saat kita mulai menua menanti datangnya uban di usia kita yang renta, dan aku tetap ada di sampingmu menyajikan kopi dengan tangan bergemetar meski punggungku mulai bungkuk.

Tanganku yang menggigil akan tetap merengkuh pinggangmu yang berjalan tertatih dengan tongkat dan sendal yang kebesaran di kakimu, tetapi debar dalam hatiku tak pernah berhenti berdesir hebat tiap kali bersamamu.
Itulah saat dimana kita tak membutuhkan cinta dimaknai dengan kata, Zein. Karena dalam cinta, kita tak butuh apapun untuk tetap saling perduli.

Cinta bagiku adalah sebuah kegigihan mempertahankan rasa yang rapuh. Karena dalam hidup, cinta bukanlah sebuah komitmen yang bisa kita rencanakan akhirnya tanpa adanya kehambaran. Dan kenyataannya, bahwa dalam cinta, keraguan dan pertanyaan adalah mutlak.


Zein,
Mungkin besok aku akan berpamitan pada Erick dan Risa. Tapi pikiranku masih dijejali hal- hal aneh yang entah apa. Aku sedih, sedih sekali. Entah apa sebabnya. Aku ingin ada kamu di sini, mendekapku hangat. Sudah lama aku tak punya teman bicara, Zein.

Tapi sekarang aku harus merias wajahku. Erick, Risa juga aku akan makan malam di cafe’ yang mereka janjikan. Pasangan pengantin baru itu harusnya menghabiskan waktu mereka untuk berbulan madu, bukan? Melihat mereka, aku teringat kita. Hubungan kita.

Sepanjang jalan menuju halte, kami tak saling bicara di bawah rintik salju dan lampu-lampu kota yang tampak seperti kunang-kunang dari kejauhan. Di dalam kereta, kami mencoba berdamai dengan rasa patah hati masing-masing. Seorang pemuda menggumamkan lagu sedih yang menyayat.

Tiba-tiba, bayangmu muncul sekelebat. Menciumku. Menggamit lenganku.
Kita terbang. Tinggi.
Lalu meledak di udara. Berserak.



 ___________________
catatan sikil: Coretan ini pertama kali dipublish di Dumalana.com
Read more...

Senin, 18 Juli 2011

(Re-Post) Mungkin Tuhan Memberi Petunjuk Lewat Ayat yang Tak Sempat Dibaca

Diambil dari arunals.files.wordpress.com
Setiap Kun hanya berjodoh dengan fayakuun agar lengkap dia sebagai perkataan ajaib Tuhan, si Penguasa yang Maha Segala. Sekali waktu saat menerima orderan do'a manusia yang berjubel dalam sehari, Tuhan malas membaca kun fayakuun tadi. Sudah tau Dia siapa yang meminta. Maka jangan heran pada ucap semoga yang terlampau sering menjadi musykil.

Harusnya di dunia ini tak disekat antara baik dan buruk. Kenapa otak tak diletakkan saja di luar batok kepala agar pikiran cabul, meski hanya sekelebat,  jelas terlihat dan sebesar apa isi kepala kita yang sesungguhnya.
Hahahaha

Kalau begitu akan berlomba orang-orang melafazkan alif, ba, ta, tsa. Bar dan dentuman speaker yang menggema akan kalah dibanding  surau tempat mengeja dhomah, tanwin dan sukun lewat pengeras suara karatan tak terganti berkali musim.

Tak ada yang lebih menggelisahkan bagi perempuan rumah bordil selain tak dapat pelangan meski telah lewat larut malam. Gincu dan pupur sudah mulai luntur dengan busa penyangga dada melorot berkali-kali, tali kutang yang kendur bukan lagi menjadi prioritas utama untuk dibeli jika sudah ada beberapa lembar uang di tangan.

"Kalo sudah tak tahan menjaga selangkangmu, baik kau puasa."
Itu ucapan terkonyol yang pernah didengar Ratmi, perempuan rumah bordil itu. Demi Nabi yang selalu menyampaikan wahyu, dia bukan haus birahi. Hanya saja kalaulah dia tak melacur, siapa bersedia menanggung mulut tiga anaknya yang butuh makan sedang laki mati tak berwarisan?

"Baik kau cari riski halal, Ratmi."

Bukan dia tak percaya pada agungnya Tuhan, tapi bagaimana dia tak kecewa jika orang hanya cakap bernasehat tapi berpaling bila sudah ditadahi tangan.
Dia pun faham dosa, tau hakikat sorga-neraka, mahir membedakan baik dan buruk. Dia bukan pula berputus pengharapan pada kuasa Tuhan, hanya saja terlalu perih beban yang ditanggungnya.


Tuhan selalu baik pada setiap manusia, maka diciptakannya dua takdir mutlak tak terbantah: Takdir dapat diubah dan takdir yang tidak dapat diubah, takdir mentok kalau kata orang.
Seperti penciptaan setan yang menjadi pembangkang. Jika saja dari awal para setan sadar mereka memang sengaja   diciptakan agar  manusia bisa arif dalam hidup, maka harusnya mereka menuntut hak pengembalian nama baik.
Terlalu lama mereka pasrah dituding atas perbuatan manusia yang tak sedikitpun berasal dari bisik dan rayu setan sendiri. Setan tengah lengah tertidur pulas meredam panas luka tusuk tombak berbara api neraka sambil tersedan, saat manusia saling bunuh. Saling hujat, saling tuding, saling lempar kesalahan. Berujung pada teriakan,
"Akulah yang benar!"

Tapi tuhan memang Maha Bijaksana lagi Maha Perencanaan. Dia merancang semua agar nanti dapat dilihat siapa yang benar khusu' dalam sujud atau sekedar ruku' dalam striptease liukan tubuh yang semlohay.


Berlinang air mata perempuan rumah bordil itu saat dua anaknya terpaksa dirampas kamtib sewaktu di pertigaan lampu Merah mengguncang kerincingan tutup botol menjaja suara. Anak titipan Tuhan yang semestinya dijaga dan disusui, telah menjelma menjadi anak yang dibesarkan debu dan didewasakan didikan angin.

"Mak, kami ni dah bukan budak kecik lagi. Tak mengapalah kalo memang harus mengamen, biar mak tak perlu bergincu tengah malam."
Ibu mana  yang tak perih hatinya mendengar pinta setulus itu. Kalau boleh memilih, baik perempuan itu luka dipukuli lelaki maniak saja, bisa disembuhkan barang sehari dua hari.

"Mak, mungkin besok kita tak bertemu lagi. Kitorang nak dibawa... katmana, bang?"
Anak kedua dari perempuan rumah bordil itu mengoceh sambil mengunyah roti tawar yang diangsurkan ibunya. Sementara abang yang ditanya tak kalah sibuknya mengolesi roti dengan gula pasir, tak ada mentega, tak ada selai kacang.

Perempuan rumah bordil itu memeluk erat anak terkecil yang harusnya masih menetek sampai sekarang, ada luka di mata perempuan itu. Bukan tanpa alasan dia melacur selama ditinggal laki. Bagaimanapun pahitnya hidup selama bersama dengan anak-anaknya, si perempuan yakin dunia tetap tak akan terbalik.
Tapi apa lacur sekarang?


Karena Tuhan punya rahasia, disebutlah Dia Maha Agung. Tak ada yang luput dari pengawasan barang sedetik. Tak ada yang terlupa dari pantauannya barang sekejap meski doa tak selalu langsung terijabah. Tuhan malas mengucap kun lalu fayakuun di saat bersamaan.

Begitu pula dengan perempuan rumah bordil, lewat razia kamtib ada pesan langsung dari Penguasa. Lewat pintu yang tertutup, Dia membuka banyak jendela lain.


Perempuan rumah bordil itu kali ini bergincu dan berpupur lagi setelah absen belasan tahun lalu. Diusapnya kaca yang kian buram menguning dengan telapak kiri, tangannya bergetar saat memoles bibir yang kian keriput dengan gincu yang sempat menghiasi bibirnya bertahun silam.

Perlu beberapa kejap meratakan pupur pada wajahnya, dia sudah tak terampil kini. Ah, perempuan rumah bordil itu tertegun. Pernah dia bersumpah tak akan bercermin lagi hanya untuk berias. Dulu, dulu sekali saat anaknya meminta dia berhenti melacur.

" Mak, cepatlah. Dah datang mobil kat depan. Satu jam lagi Bang Amir wisuda."
Inilah Firman Tuhan yang tak sempat dibaca Ratmi. Takdir!


*****
catatan sikil:
kitorang: kita
katmana: dimana
budak kecik: anak kecil

Read more...

Selasa, 31 Mei 2011

(Harapan) Blackbook di tangan

Jadi, ceritanya lagi niat banget ikutan acaranya Emak Gaul yang ngadain bagi-bagi Novel Blackbook gratisan.
MySpace
Ya, yang namanya manusia kere tapi maruk doyan banget ama kata yang ada bau-bau gratisannya.


Cerita simpelnya, blog ini pas bulan January kemaren ngadain acara Kisah 50K buat ngerangsang semangat nulis bareng emak-mbak gaul lainnya. Harus diakui bahwa jaman sekarang kita yang masih muda kalah liar dan brutal untuk masalah kreatifitas dibanding mereka yang tuaan. Gak percaya? Cekidot kisahnya di sini, temans! Dan kalian akan menganga.

Well, itu cerber sayang banget mandek ditengah jalan padahal konflik lagi seru-serunya. Ibarat sinetron semilyar juta episode, udah masuk bagian di mana penonton pengen banget ngejambak dan melintir kepala tokoh antagonisnya. 


Singkatnya, ada dua pria kece dan tiga wanita cantik yang sahabatan dari jaman kuliah sampe udah pada nikah. Namanya juga sahabatan pasti lahir segala macam bentuk cinta-cintaan. Misalnya, cinta terpendam Sandra-Decky atau cinta terpendam Donny-Tasha, cinta absurd Ratna-Donny, cinta pertama Decky-Kayla, cinta bertepuk sebelah tangan Tasha-Decky dan Sandra-Decky. Ribet banget kan itu cinta? Belum lagi masalah rumah tangga tokoh Sandra sama suaminya Reza yang cemburu ke Decky karena Sandra masih nyimpen sisa cinta jaman kuliahnya yang bertepuk sebelah tangan lewat catatan pribadi di blog Sandra. Hikmah sesatnya buat kita kalo udah nikah nanti adalah berhati-hatilah dalam ngeblog.
MySpace

Tapi pinternya lagi, emak gaul yang bernama pena Winda Krisnadefa ini lihay banget ngaduk-ngaduk konflik jadi makin runyam. Itu kali yang bikin ini cerita ngegantung gak selesai. Pasti puyeng banget mikir lanjutannya. Kecuali, tanyakan pada Serena Luna si Penulis skenario Putri Yang Ditukar (?)


Eh, kalo diceritain semua malah gak asik dong. Mendingan baca aja sendiri yak.

Sebagai yang udah ngebaca duluan serial ini sampe bagian gantung, ada usul, gimana kalo akhirnya Tasha jadian ama Donny berkat usaha gigih Ratna yang jadi makcomblang tulus. Kayla yang misterius ternyata sepupu jauhnya Donny yang selalu dirahasiakan dan udah cerai karena KDRT dan balikan lagi ke Decky atas usaha Donny dan Sandra. Sandra akhirnya bisa cinta sepenuhnya ke Reza tanpa bawa-bawa perasaan lama. Mereka akhirnya hidup bahagia. Ever after.


Sebagai pembaca yang udah sering mantengin tulisan emak satu di Kompasiana, kalau mau jujur, gaya nulis kali ini agak-agak kurang ‘Winda Krisnadefa’ banget. Kelihatan ada beberapa bagian yang make istilah remaja masa kini yang agak menggangu. Totally, gak banyak masalah sih.

Yang paling salut, mbak Winda ini peka banget ama kejadian sosial di sekelilingnya yang disembunyiin lewat tulisan. Misalnya tentang pentingnya nyimpen rahasia dari anak balita meski mungkin si anak gak bakal ngerti. Tentang perangai kaum sosialita masa kini yang doyan bawa nama Tuhan sambil minum-minum (ini tamparan banget buat kita). Tentang pentingnya Tas dengan segala model dan merk ternama buat perempuan, dan masiiiihhh banyak lagi. Baca sendiri aja mendingan yak..


Sebenarnya, masih panjang yang mau diceritain. Masalahnya, tugas kali ini cuman dibatasin 500 karakter. Mau ngoceh lama malah tersandung keterbatasan kata. 
MySpace

FYI, emak gaul ini hebat banget. Nerbitin empat buku selang waktu dua bulan. Dan bukunya yang mau dibagiin ini masuk Best Seller di Leutika. Keren kan?!! Jaminan mutu pokoknya.
MySpace
Read more...

Senin, 30 Mei 2011

Sensasi Media Menulis


Dulu sekali saat masih usia sekolah Menengah Pertama, saya dan teman-teman keranjingan menulis kisah harian di satu buku, Diary. Menurut saya, menulis Diary itu melahirkan sensasi tersendiri. Apa saja ditulis. Kisah dimarah orang tua, disetrap guru, berantem dengan sahabat, sampai ke  jumpa pandangan pertama si gebetan (Well, anak SMP udah ada loh yag cinta-cintaan). Ha ha ha !
MySpace


Sekarang, entah karena sudah ada media on line yang lebih menggoda, Diary mulai kehilangan pamor. Perlahan-lahan, orang mulai suka menulis di media virtual yang gratis. Saya ingat sekali, waktu di mana teman-teman saya di penghujung SMA mulai pamer sana-sini blog mereka. Asik mendesain template sesuai selera, memilih font dan pajang poto-poto. Awalnya saya masih kurang tertarik. Alasannya klise, sibuk. Saya mungkin pongah sekali pakai alasan sibuk. Padahal karena belum tergiur dan masih sayang si Mumu, sang Diary.


Yang paling saya ingat adalah saat pertama kali menginjak bangku kuliah, ada poster yang gedenya amit-amit terpampang di mading. Workshop tentang manfaat memiliki blog dan kompetisi blogger antar kampus. Workshop saya ikut, kompetisi? Karena belum punya blog, saya cukup jadi asisten teman mendesain template blognya biar jadi makin bagus. Saya masih belum terlalu tertarik dengan blog, ‘apaan sik? Ribet amat cuman ngurusin begituan doang’.
 

Di TV, dari pagi sampai malam, selama hampir semingguan berita tentang blog dan blogger marak, kalau gak salah di 2007. Saat yang sama juga dengan kehebohan teman di kampus. Mulai dari lahirnya komunitas blogger di berapa daerah di Ibukota, sampai mbak-mbak Artis yang juga ikutan punya blog. Artis yang paling menonjol waktu itu, mbak Sarah Azhari. WoW!! Mbak Sarah yang seksi dan artis yang notabene sibuk syuting sana-sini jadi blogger!


Pelan-pelan saya mulai tertarik ngeblog. Kemungkinan besar sih karena pengaruh mbak Artis. Jangan ketawa dulu, biasa juga kan Remaja tergiur ama segala bentuk yang bermerk Artis. Saya juga remaja waktu itu.

Akhirnya, saya punya blog. Bukan cuma satu, tiga sekaligus (Ngegaya dikit boleh dong). Entah apa isinya saya pokoknya tulis wae lah. Kadang, kalau saya baca-baca, ketawa sendiri. Childish minta ampun. Isinya gak lebih dari derita curhat menye-menye.


Sekarang, blog yang saya utamain cuma satu. Songong banget kayaknya punya tiga blog tapi dianggurin melulu. Dua lagi, saya kubur. Saya matiin. Koit deh itu blog dua.
MySpace

Kalau dulu alasan saya menunda punya blog karena sibuk. Sekarang alasan saya jarang up date blog karena malas. Kegiatan harian benar-benar menyita waktu. Cari ilmu, sosalisasi sana-sini (sosialisasi = main), gaul di jejaring sosial segala macam, semuanya benar-benar nguras waktu dan pikiran. Akibatnya, pas udah mau nulis, malas aja bawaannya. Padahal, idenya dan konsep tulisan (Jiah) udah ada di ujung otak.


Kalau diibaratkan anak, saya ini anak durhaka yang jarang banget merhatiin ortu.
Kalau diibaratkan sholat, kegiatan nulis blog udah kayak Sholat Idul Fitri yang cuma sekali setahun.
Kalau diibaratkan rumah, blog ini udah kayak rumah seram yang kotor banget karena jarang dibersihkan.
Saya buka contoh blogger baik. 

MySpace


Tapi coba kita berkaca pada pada Raditya Dika, Richard Miles si warga Adelaide, Alit Susanto. Keberhasilan mereka diawalin dari keisengan mereka ngeblog! Gak tanggung-tanggung, segala luar kota dan luar negeri dijalanin secara gratis dari hasil ngeblog. Okey, mungkin gak murni dari hasil ngeblog. Mungkin mereka keliling beberapa negara dari penjualan buku dan workshop penulisan. Tapi kan tetap aja hitungannya dari hasil ngeblog.


Secara sistematisnya, sebut saja Kambing Jantan-nya Raditya Dika, Bule Juga Manusia-nya Richard Miles yang bule asli, Shitlicious tulisan sesat nan jenaka Alit Susanto semua berawal dari keisengan mereka nulis kejadian sehari-hari di blog pribadi. Dari hasil nulis, dibuatlah jadi buku, ditawarin ke penerbit konvensional, dan mulai lahirlah karya yang belakangan jadi Best Seller.


Itu buku karena udah jadi buku laris, diajaklah mereka jalan-jalan ke luar kota sampai luar negeri buar promo buku sampai bagi-bagi ilmu terkait dengan kesuksesan mereka sebelumnya. Sebut saja Raditya Dika, penulis konyol ini udah hafal banget kali ya seluruh penjuru Indonesia karena keseringan workshop.


Mungkin kalau belum ada blog kayak jaman sekarang, entah seperti apa mereka sekarang. Raditya Dika mungkin cuma seorang Ahli Hukum, Richard Miles mungkin Cuma jadi guru Bahasa Indonesia di SMA di Adelaide atau Alit Susanto mungkin juga jadi guru Bahasa Inggris. Ketiga mereka bisa saja jadi orang sukses, tapi tetap tanpa embel-embel ‘Penulis’ sperti sekarang.


Dewasa saat ini, bukan hanya blog yang menyediakan ruang untuk menulis. Sebut saja, sosial media Friendster, Facebook dan Twitter.
Friendster dan Facebook dengan halaman note yang dipunya, membebaskan siapa saya membernya untuk menulis. Begitu juga dengan Twitter. Dengan yang hanya berisi 140 karakter huruf, memungkinkan penggunanya untuk memutar otak mencari cara menulis sesuatu dengan kapasitas sesedikit itu.


Sayangnya, kedua media sosial tadi kurang memperhatikan tampilan dari halaman note. Memang, media tadi merupakan jaringan yang diperuntukan khusus laman pertemanan dan berkabar keadaan harian. Tapi, pasti tidak sedikit dari pengguna adalah orang yang suka iseng menuliskan cerita mereka di sana.


Di halaman menulis jejaring sosial tadi, lumayan merumitkan bagi penulis untuk membuat link tautan, memuat video musik kegemaran. Kalau tak faham dengan kode HTML, alamat bakalan ribet urusannya.
Di blog yang tersedia sekarang ini, hambatan menulis seperti yang saya sebutkan tadi lumayan tak berdampak parah. Blog menyediakan dua pembacaan mudah, HTML dan Visual. Selain itu blog juga punya alat bantu yang bisa kita gunakan untuk memasang video, memasukkan foto, dan memajang musik dengan bantuan kode banner. Sesuatu kelemahan yang tak dimiliki media sosial.


Dari segi tampilan, jelas blog lebih beragam dan menarik. Kita bebas mengganti tampilan Template sesuka kita. Mau yang berbayar atau yang gratisan, tinggal pilih.


Meski sosial media dan blog punya ruang menulis sendiri, kesan yang tetap ditangkap oleh sebagian orang yang suka menulis adalah: Sosial Media tetaplah sebatas sosial media, hanya media pertemanan. Dan blog tetaplah pilihan utama untuk kenyamanan menulis, blog sudah punya ‘nama besar’ tersendiri. Satu fungsi di mana blog tetap tidak tergantikan oleh Sosal Media saat ini.


Selain itu, berbagi tulisan dan bertukar link lewat fasilitas blogroll yang ada di blog merupakan satu kelebihan yang tak dimiliki sosial media. Jika di sosial media disuguhkan halaman Beranda untuk melihat aktifitas teman-teman, blog menyediakan halaman Dasbor yang menyuguhkan tulisan terbaru maupun komntar yang datang dari teman-teman.


Blog dan Sosial media, meski sama-sama menyajikan hal yang memanjakan penulis, tetap saja punya keterbatasan pada porsi masing-masing di mata pencintanya. Sesuatu yang tidak akan menggeser dan meredupkan fungsi keduanya. Saya fikir, itu berlaku untuk sampai kapanpun.

________

catatan sikil: Postingan ini diikut sertakan dalam lomba “Blogger return contest' yang diselenggarakan oleh Mbak Anazkia dan Denaihati.

Do'akan saya yak, temans.
MySpace
Read more...

Sabtu, 28 Mei 2011

Ga jadi deh

Tadi, udah blogwalking hampir sejam.
Tadi, udah ngerusuhin lapak teman-teman.
Tadi, udah niat banget pengen nulis.
 
Sekarang, udah ngantuk.
Tapi, pengen nulis banget. Banyak yang mau diceritain. Banyaaak bangeett.
Setumpuk,
Segudang,
Segambreng,
Sebanyak-banyaknya lah pokoknya.

Udah tengah malam.
Ga jadi deh nulisnya, besok aja.
Udah lupa mau nulis apa.
Muahahahaha

#Eh, jijik gak sih ngebacanya? Gak ada isi. Cari rusuh doang kan?
Aku aja yang ngetik pengen nge-delete lagi.cuma malas. 
Udah ah, segitu dulu aja. Besok ketemu lagi. Bay...
Read more...

Selasa, 17 Mei 2011

Akhir Penghabisan

Sumber gambar : michaeldennisadam.blogspot.com
Dia melangkah pelan menyusuri lantai papan rumahnya yang licin dan dingin. Kamarnya ada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar tidur kakaknya. Tepat di depan kamar tadi ada pintu yang kalau dibuka akan langsung menuju balkon tempat mesin cuci dan gantungan baju lembab, kolor basah, dan kutang setengah kering tersampir seperti rumbai-rumbai pesta ulang tahun.

Dulu, dia dan kakaknya sering bersembunyi di balik mesin cuci itu sekedar mencuri-curi menghisap rokok. Berlagak seperti Steven Spilberg di film laga. Menghisap cerutu penuh gaya, menahan asapnya dalam mulut lalu menghembuskan ke udara dalam bentuk bulatan-bulatan unik. Dan sepertinya, punggung mesin cuci bukanlah tempat yang nyaman untuk bersandar saat merokok.

Dia masih ingat, hari itu Minggu sore. Ayah dan Ibu sedang tak di rumah, kesempatan baik untuk merasuki pikiran kakaknya agar mengajarinya merokok. Pelan-pelan mereka naik ke balkon. Dia keluarkan dua batang rokok yang dicuri kemarin siang dari saku ayahnya yang tergantung di balik pintu kamar. Kakaknya yang pamer tentang cara membentuk asap rokok menjadi lingkaran bergulung-gulung benar-benar membuatnya iri.  Tapi, entah sudah hembusan keberapa tetap juga asap itu tak bisa dibuatnya bergulung-gulung. Rokok di tangannya tinggal seruas jari saja sekarang. Sedang kakaknya menatapnya iba.

Dia benci tatapan iba, dia pantang dikasihani, dia tak suka dianggap tak mampu. Semua bentuk air muka seperti itu seolah elusan halus di pundak saat kau mengalami kekalahan di permainan kasti yang sudah susah payah kau usahakan agar menang tapi tetap saja kalah, sedang badanmu sudah remuk redam terkena hantaman bola yang dilemparkan sekuat tenaga saat kau berlari ke pos amanmu. Saat itu kau pasti lebih suka mendengar makian dari pada pelukan dan tepukan di pundak untuk sekedar penyemangat, bukan?

Dia menatap kakaknya sadis. Semacam protes dan bentakan lewat telepati, “Apa lihat-lihat?! Aku pun pasti bisa!!”

Dia memang keras kepala. Rokok hampir menyentuh bagian busa putih tetap juga disedotnya dalam. Bibirnya sudah perih, lidahnya pahit, keringkongannya kering, tak terhitung berapa kali dia sudah terbatuk.
“Asu!”

Diputarnya puntung rokok ke semen penuh geram, mati. Dipungutnya. Dipandangnya beberapa lama. Ditendangnya sekuat tenaga namun meleset. Puntung rokok tetap di tempat tak bergeming, dia merasa diperolok. Emosinya memuncak. Diinjaknya berkali-kali hingga puntung rokok terburai mengenaskan. Tak cukup itu saja, tumit kakinya menindih kuat sisa puntung, lalu dengan gerakan memutar ditekannya berkali-kali puntung itu hingga lebur. Tamat kisah. Kakaknya bersandar kepala di dinding dengan mata terpejam, malas melihat adegan sadis tadi.

Di lain waktu, dia dan kakaknya menggelar tikar ayaman pandan kesayangannya ibunya di balkon atas. Menimpa tikar dengan tilam busuk yang mereka geret dari gudang. Menata tilam agak sedikit serong ke Barat, melarikan sebotol jus jeruk, menyelundupkan dua gelas tamu berbentuk cekung, mengisi setengah termos batu es, meracik roti dengan telur dadar dan mayonaise agar mirip Sandwich, dan menunggu hingga matahari sedikit terbenam.

“Kita seperti bule” Kakaknya ikut terbahak dan terbatuk karena serpihan debu tilam lapuk. Dia menuangkan lagi jus ke gelas kakaknya meski masih terisi banyak dan menjejalkan Sandwich ke mulutnya. Lelehan mayonaise mengotori sudut bibirnya dan dia tercekik batu es karena minum sambil berbaring. Hari hampir malam tapi mereka tak juga beranjak masuk. Di dalam rumah tak bisa melihat bintang, dia sesak menghirup udara gerah pendingin ruangan, kasur empuknya tak senyaman tilam tipis. Dia betah disini, menemani kakaknya yang tidur pulas dengan nafas teratur.

Pernah satu kali, dia membangunkan kakaknya tepat tengah malam. Dengan mata kuyu yang sembab, dia jejali kakaknya ocehan tentang pantai pasir putih di bawah tebing curam dekat sekolah perawat yang lama terlantar dan setengah rubuh. Dia tak sengaja menemukan pantai indah itu beberapa jam lalu saat tersesat ketika bersepeda.

Malam itu juga mereka nekat ke pantai. Berpegangan pada tepian batu dan sulur-sulur tanaman rambat yang menjalar mengelilingi tebing. Tepat di bibir pantai, patahan ranting-ranting kering pinus yang meranggas, berserakan begitu saja. Cahaya remang malam menjadikan pohon kelapa menjelma seperti makhluk asing raksasa dengan tangan yang menggapai-gapai, mengerikan.

Sepenuh malam, dia dan kakaknya tidur bersandar bahu dengan senter listrik yang tetap menyala. Merapatkan jaket hingga ke leher untuk menahan dingin, membiarkan air laut menjilati separuh betis mereka, mendengar musik deburan ombak yang menghantam karang, menekan perut agar lapar tak terlalu terasa hingga pelupuk mata memohon untuk dipejam. Suasana hening. Bisu. Kelam. Dengkur dan gemuruh ombak saling bersahutan hingga pagi.

Dia masih berdiri di balkon ketika tangan lembut menyentuh pundaknya. Tangan itu gemetar, terasa sekali.
“Mobil pengantar jenazah sudah di depan. Mau ikut?”
Dengan mantap dia mengangguk. Dia terlanjur terikat janji yang tak terlanggar.

 “Temani aku ke pemakaman nanti, ya.” Kakaknya menggenggam lemah tangannya, seperti memohon. Dia merasa akan tumbang. Lututnya goyah.

Kakaknya pasti tak ingin pergi sendiri ke tempat pemakaman. Dia kenal kakaknya. Dalam hati dia marah dan protes namun sama sekali tak keberatan. Mengapa dia harus menyanggupi permintaan seseorang yang selalu menemaninya belasan tahun tapi tak setia kawan dan lebih memilih meninggalkannya sendiri, tunduk pada bujuk lelaki ceking yang masih tersenyum saat selang-selang yang membebat tubuhnya harus dicopot semua. Harusnya dia menolak.

Dia sesenggukan waktu itu. Namun, air matanya menguap bagitu mendengar cerita kakaknya tentang gua-gua dimana mereka pernah menyaksikan burung betina mengajari anaknya pertama kali mengepak sayap, bercerita tentang rumah pohon mereka yang setengah jadi dan akan basah jika hujan karena dinding sebelah kiri sengaja tak dibuat agar mereka bisa melihat pohon randu saat berbunga, tentang berat tubuhnya kala dia digendong kakaknya di punggung sambil berlari karena kalah bertaruh kelereng, tentang hayalan konyol mereka yang ingin menjadi bajak laut hingga merusak kain batik ibunya yang dililit pada batang sapu membentuk layar kapal hingga tertidur karena kelelahan.  Dia menyerapah dalam tawa yang sedih.

Bertahun dia mengalaskan hidupnya dengan doa-doa agar maut tak seinci pun sanggup menyentuh kakaknya. Tak perduli pagi, siang, malam atau kapan pun. Tapi sekarang, penyakit maupun kecelakaan tetap menjadi jalan bagi Pemilik nyawa untuk memisahkan mereka, pikirnya.   

Dia terdiam. Dunianya abu-abu. Sekeliling nampak berbayang dan muram. Genggaman di tangannya melemah hingga akhirnya terkulai di sisi tempat tidur. Meja, kursi, selang infus dan kantong cairan yang tergantung di tiang besi terasa lebih dingin dari biasa.

Ibu tegak kaku disebelahnya, Ayah meremas rambut dan menghela nafas berat. Kumpul keluarga yang dia dan kakaknya selalu rindukan dan baru kesampaian hari ini. Hari dimana isak tangis bukan lagi haru.

Ayah yang tegas dan penuh wibawa ternyata luluh di hadapan kakaknya yang berbaring tenang. Ayah terisak seperti anak kecil, entah kemana semua garang dan angkuhnya disangkutkan.

“Dia sudah pergi, semua yang hidup pasti akan mati. Tapi, harusnya aku tau apa cita-citanya” Sebuah penyesalan yang terlambat. Penyesalan yang tidak bisa dia terima dengan alasan apapun. Dikeluarkannya selendang Hitam pemberian kakaknya dua hari lalu. Hadiah yang paling tidak ingin diterimanya dengan hati sakit.

Dipakainya selendang, doa paling tulus dia bisikkan pada Penguasa Jiwa. Dia yakin doanya pasti sampai meski air mata dan sesenggukan menyamarkan kalimatnya. Dia aka tetap disini. Berdoa dan meresapi semua kenangan indah mereka, dia dan kakaknya. Dia tak punya kenangan lain. Seperti hatinya.
 
  



 ______________________________________________


Catatan sikil : Tanpa mengurangi ketertarikan saya pada blog ini, maka izinkan saya membuat pengakuan, sodara-sodara!!
Tulisan ini sebenarnya akan diposting di Kompasiana, akan tetapi kegeblekan saya yang tidak bisa edit hasil copas dari Word membuat draftnya berantakan. 

MySpace Berhubung sudah terlanjur nulis, maka saya tempel saja disini. Blog juga punya sendiri ini. Hahahaha


MySpace
Read more...

Minggu, 13 Maret 2011

Hey, kamu! Jangan dangkal dong otaknya.

gambar diambil dari: bintanglaut.wordpress.com
Ada teman yang nanya, kemaren. Pertanyaannya lumayan bikin mikir juga sih,
"Nov, kalo ada yang manggil kamu dengan sebutan suku tertentu, kamu marah gak sih? "

Kaget dong ya, secara itu pertanyaan yang paling jarang ditanyain orang ke aku. Harusnya aku bersyukur sih ada pertanyaan lain selain,
"Nov, IPK kamu berapa?"
Itu baru pertanyaan yang seharusnya tanpa jawaban. Menohok benar! 

Ha ha ha..  

Menurut aku, selama kita memang benar orang Melayu, kenapa harus marah dipanggil kayak begituan? Sama aja dengan panggilan Batak, Jawa, Bali, Sunda, Minang, ato apalah itu suku kita.

Masalah akan lain kalo panggilan itu jadi semacam ejekan yang memang sengaja dikhususkan buat ngerendahin orang yang dipanggil tadi. 

Semuanya balik lagi ke kita juga sih. Sakit hati ato nggak. Buat aku pribadi, terlepas dari apapun suku aku, gak masalah! Iya, serius. Gak masalah! Sering orang salah tanggap akan panggilan yang bersifat kesukuan kayak gini. Alasannya? Salah satunya, mungkin, karena dia terlalu menganggap jelek sukunya dia sendiri. Nah, bego di dia-nya kan? 

Jadi keingetan ama buku mbak Ary  yang judulnya ' Indonesia yang bukan Indonesia' ( kira-kira gitulah judul bukunya, lupa). Buku itu memuat jawaban dari pertanyaan yang sama banget ama pertanyaan teman aku ini. 
Bedanya, buku mbak Ary ngebahas tentang panggilan 'Indon' ke masyarakat Indonesia yang bermukim di Malaysia sebagai buruh ato pekerja disana.

Dari buku itu, aku jadi 'ngeh' tentang salah kaprahnya kita akan panggilan yang lama kita anggap ngelecehin  bangsa ini. Gak main-main. Mbak Ary ini pernah kerja disana empat tahun dan melakukan riset kecil-kecilan serius untuk penulisan buku ini.

Di buku inilah mbak Ary ngejelasin sejelas-jelasnya tentang makna panggilan Indon tadi. Dimana panggilan Indon itu sudah menajdi panggilan khas untuk masyarakat Indonesia. Sama seperti panggilan 'Bangla' untuk bagsa Bangladesh atau panggilan 'Tamil' yang diperuntukkan buat masyarakat India Tamil. (eh, maksudnya India yang berkulit item itu loh. Apa sih nama negaranya? Lagi males googling) Yah, you know lah.


Minum dulu yak. He he he. Itulah pokoknya.

 Jadi, harusnya kita gak usah sakit hati ato tersinggung. Lah cuman panggilan buat memperjelas identitas doang kok.

Lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah, "Loh. tapi itu kan penghinaan,Nov?"  
Masa iya, penghinaan? 
Karena kesannya bangsa Indonesia disana itu kasta rendah dan cenderung di injek-injek? Ya kalo mikirnya gitu sih, kesian yang akalnya dangkal dong.

Gimana gak aku bilang dangkal coba? Dimana-mana yang namanya orang bersifat buruk itu ada, mameeenn!!!
Gak orang indonesia aja. Noh, kalo mau tuding-tudingan, bangsa lain banyak kok yang buruk tingkah lakunya. Abaikan dulu lah ya masalah ini.

Buat yang ngerasa itu sebagai penghinaan terhadap bangsa, atas dasar apa berani bilang kalo bangsa kita selalu dicap buruk disana? 

Masih banyak kok orang dari negeri kita ini yang jadi orang sukses disana. Jadi pembesar disana, jadi ekspatriat disana. tapi mereka adem aja pas dipanggil 'Indon'. karena menurut mereka itu cuma sebagai penanda di komunitas mereka. Semacam panggilan sayang kali ya. :)

Coba deh kita liat ke orang yang ngamuk dipanggil 'Indon', mereka itu lah orang yang selalu berfikir kalo emang bangsa kita disana itu emang banyak jeleknya, makanya dia marah. Karena dipikirannya udah terpatri (jiah, bahasanya tingkat dewa bgt dah) pikiran negatip mulu, ngamuk lah si orang tadi.

Dari sini aja udah bisa kita tarik satu kesimpulan kan? Bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsanya sendiri dimanapun tempat dia 'nyangsang'

Kalo kata guru ngaji aku jaman dulu sih kira-kira gini, "Penilaian orang terhadapmu, sama seperti penilaian kamu ke diri kamu sendiri,"

Baik-buruknya kita dimata orang, semuanya lahir dari penuilaina kita kediri sendiri. 

Balik lagi ke masalah pertanyaan teman aku tadi. Kenapa harus marah kalo emang kita berfikiran positif ke diri sendiri dan selama tidak mempermalukan suku sendiri.

Terus gimana ama orang-orang yag udah kemakan bener ama judge tentang buruknya suku tertentu?
Cuma mau bilang gini aja. "Hellow,, lo tinggalnya di hutan ya? Primitif banget otaknya!"

ya iya lah! Masa ngukur orang cuma berdasarkan penilaian buruk sukunya aja. pas tuh orang berbuat baik, kenapa jarang banget nginget sukunya dia?

Aku sih ogah jadi bagian manusia berakal dangkal dan berotak cetek. 

Astaga, gak terasa ini udah dini hari.. Lanjut lain kali ya.. Ngarep banget jadi orang yang omongannya paling dinanti-nanti.
Oh iya dong, kita di mata orang lain adalah seperti kita dimata diri sendiri. Babay..
MySpace
Read more...

Sabtu, 19 Februari 2011

Rest In Peace: Setelah Pemakaman.

Kejadiannya tiga hari lalu.
16 Februari, jam 2.30, dini hari.
Sodara aku meninggal.
Umurnya muda banget, 15 tahun.


Pagi itu, ngantuk yang biasanya masih betah-betah aja hinggap di mata, langsung hilang pas pertama kali dapat telpon dari sodara mama.

Kita semua masih diam di tempat tidur masing-masing waktu mama bilang, "Nisa meninggal." Innalillahi wa inna ilaihi rojiuunn..

Aku sendiri beneran gak habis pikir. Gimana dia bisa meninggal? Dua hari lalu masih ketawa-tawa manjat pohon Jambu sambil makan Donat. Aku terdiam lama. Lama banget. Selama ini aku selalu berfikir kalo orang yang meninggal itu, kalo gak udah tua banget, ya pasti yang sebelumnya sakit. 

Bukannya aku gak percaya ama kematian yang bisa datang ke siapa aja dan kapan pun. Tapi, dia masih muda. Gak sakit juga. Well, selama ini aku selalu nganggap kematian itu masih jauh dari hidup aku. Aku bakalan mati karena tua! Jarang banget juga kan orang mati di bawah 30 tahun. Meninggalnya sodara aku ini nyadarin aku banget kalo umur gak ada yang tahu. Kita gak tau kapan kita terakhir kali berbuat 'sesuatu'.

Begitu tersiar kabar tentang meninggalnya sodara aku ini, rame banget yang datang. ngelayat Mulai dari guru-guru dia, teman SD, teman SMP sampe teman SMA nya satu sekolah datang semua. Bayangin aja gimana sesaknya masjid tempat nyolatin dia dipenuhi ama siswa satu sekolahan, ditambah guru, sodara, ada tetangga juga. 


Dia masih terlalu muda
Sorenya, jam 4 sehabis Ashar dia diantar ke pemakaman. Dari sekian banyak teman dan sodara yang ikut ke pemakaman itu, sebagian orang  ada yang aku kenal. Ada sahabatnya dia, ada tetangga yang gak terlalu dekat, ada yang udah kenal dari kecil, teman ngajinya jaman SD, entah siapa lagi. Tujuan mereka jelas cuma satu: Mereka itu pengen ngeliat dia untuk yang terakhir kalinya. Mereka semua sayang dan perduli ama sodara aku itu. 

Gak sedikit dari yang hadir itu menyayangkan tentang hidup dia yang terlalu singkat. Tentang dia yang periang. Tentang dia yang punya cita-cita. Tentang dia yang cerdas. Tentang dia yang hari sebelumnya masih nongkrong di kantin sekolah. Iya! aku sadar banget kalo kita gak boleh menyayangkan semuanya. Tuhan udah punya ketentuan. Dan sodara aku itu udah ngejalanin aturan mutlak dari Tuhan.

Selama ini, cerita tentang kematian adalah sesuatu yang sering sekali kita sangkal keberadaannya.
Dan, kematian bukan tema yang enak buat dibahas.

Sampe pada malam tadi, acara Tahlilan hari ke tiga di rumahnya. Duduk diantara orang-orang yang lagi ngebacain do'a buat dia, ngebuat aku berfikir. You know what? Aku berfikir, gimana kalo aku nanti yang meninggal.

Apa yang bakal diomongin orang tentang aku? Berapa banyak yang ngedo'ain? Berapa banyak orang yang rela susah payah dengan ikhlas nyari parkiran cuma buat ngaterin aku ke liang lahat? Apa bakalan ada yang datang? Berapa banyak yang ngerasa kehilangan aku? Seberapa penting arti aku buat mereka selama aku hidup?
Setelah aku dikuburin nanti, apa masih ada yang datang sesekali ngebacain yasiin?  

Tadi, sepulang dari Tahlilan tiga harinya dia, sepanjang perjalanan pulang aku ngerasa sesuatu yang janggal (entah apa istilahnya) nusuk banget di hati aku. Aku ngerasa sedih, ngerasa kecil, ngerasa kerdil, ngerasa gak bisa apa-apa kalau dihadapkan pada kematian.

Selama hidup, apa yang udah aku lakuin? Apa hal berharga yang pantas buat aku dianggap jadi 'manusia'? Suatu hari nanti kita semua bakalan mati, gak terkecuali aku. Tapi seenggak-enggaknya, sebelum mati aku pengen buat hidup aku ada gunanya. Sebelum mati, aku mau ngambil semua kesempatan baik yang udah diletakin Tuhan tepat di depan muka aku. Menikmati hidup, menebar manfaat. Hidup juga cuma sekali ini, kan?

Aku gak mau selama aku hidup, aku cuma jadi manusia yang gak ada manfaatnya selain menuh-menuhin bumi.
Aku gak mau jadi orang kebanyakan, yang gak tahu apa tujuan hidupnya selain makan, minum, tidur, numpang boker, ngomong yang gak penting dan bikin onar. What for?
Aku cuma mau jadi orang yang dianggap berguna.
Seminim-minimnya, I wan’t to die special.
Sodara aku itu.
Satu dari sodara terbaik yang gak akan aku lupain.

Seenggak-enggaknya, ada satu yang paling aku ingat dari dia.
Senyumnya.
Senyum yang selalu tulus.
Senyum riang di wajah manis dia
Aku gak bakalan gampang ngelupain dia gitu aja.

Sodara aku itu sekarang udah tenang di tangan Tuhannya.

Selamat jalan Annisa. 

Annisa ( kerudung Putih)

                 Rasanya, sulit sekali menuliskan sesuatu yang begitu serius.
Read more...

Selasa, 15 Februari 2011

Surat untuk bapak pemilik uang banyak


Dear 
Bapak Pemilik Mall
di Batam 


Apa kabar, pak? Semoga bapak dan keluarga dalam keadaan sehat tak kurang satu apapun. Amiinn.

Begini, pak. Ada satu hal yang membuat saya kefikiran dan gelisah tentang niatan Bapak yang akan membangun mall baru yang namanya bapak buat terlalu gembar-gembor untuk menarik pelanggan.

Kenapa harus membangun mall untuk mengeruk uang, pak? Bapak pasti tahu kalau di Batam, mall itu sudah berserak serupa kepinding di sela tempat tidur yang tak pernah dijemur bertahun tahun di tempat lembab.

Ah, saya lupa! Menurut saya, mungkin bapak sudah tak menghitung sebanyak apa mall yang berserak itu. Karena saya duga, bapak hanya pendatang pemilik uang berkoper-koper. Nah, mari saya ajak Bapak menandanginya satu persatu mall yang saya bilang tadi.

Kita mulai dari ujung Batam sebelah pelosok dulu ya, pak. Nah, itu dia yang saya bilang tadi! Namanya Sagulung Mall, pak. Baru dibangun sekitar setahun lalu.
Berjalan lagi, kita bertemu dengan Aviari Plaza dan sedikit kekanan, itu! Itu namanya Mitra Mall. Putar haluan lagi, kita akan kekiri. Dan terlihatlah itu puncak SP Plaza, trus sedikit lagi akan kita jumpai mall baru buka-yang belum genap-satu tahun. Ada kolam renang dan water boomnya loh.

Lanjut lagi, kita lurus saja, sampai sekitaran Muka Kuning. Ada Batamindo Plaza dan Hey! Itu dia Panbil Mall dan Plaza nya, Pak.

Keren ya, Pak. Dan sekarang Bapak Mau bangun Mall lagi disimpang enam arah Batam Centre dekat Pos Polisi dengan mengusung nama Pulau kita. Mantab! Padahal, tak sampai dua kilometer didepan sana ada mall yang katanya Mega.

Hahahaha.. Saya terbahak, pak.

Pak, perkiraan saya, agaknya bapak membangun ruang kota bertingkat itu guna mencukupkan kebutuhan orang-orang kota yang butuh keramaian. Betul tak ya, Pak?

Mari saya bisiki satu rahasia besar pada bapak. Mari sini, dekat lagi, Pak.

Kalau bapak mau tahu, orang kota yang butuh sarana keramaian itu sebetulnya hatinya saja yang kesepian, pak. Bapak bangunkan pun seratus mall lagi tetap akan sepi saja hati mereka. Yang mereka butuhkan cuma tempat rekreasi segar dan hijau. Bukan bangunan berpendingin buatan begini!

Pak, cobalah ubah sedikit cara pandang bapak ke orang-orang kesepian tadi. Buatkanlah semacam hutan wisata atau arena permainan menantang layaknya Pasar Malam Tradisional yang saban bulan ramai itu.
Bukan hanya menggunduli lahan saja yang Bapak tanda tangani. Memang, dengan membuka mall, berarti Bapak sudah berpartisipasi mengurangi angka pengangguran dan menambah uang negara.

Pak, pernah bapak dengar cerita kami di masa lalu, sekitaran dua puluh tahunan silam? Kalaulah belum, mari sini, saya tak pelit berbagi cerita.

Dulu, sebelum bapak mereka-reka bagian gedung kotak-kotak berpendingin itu, kami telah lama akrab dengan tanahnya. Kami bergulingan dan bermain apa saja disana yang -pasti- tak pernah dirasakan oleh anak bapak sekarang ini.

Kami mencungkili tanah membuat lubang agar bisa berpatok lele, kami menggambari tanah agar bisa bermain jengket. Kami juga bebas berlarian bermain sembunyi-sembunyian di malam hari yang terang bulan, untuk kemudian beragam jenis goresan luka  di paha dan kaki kami hanya karena bermain gobak sodor begitu gembiranya.

Lalu, bapak diam-diam mulai meniupkan angin surga ke orang tua kami yang udik dan tak paham istilah Pembangunan berkedok Pembodohan. Maka, hilanglah semua permainan kami itu, pak.
Sudah terlambat memang kalau bapak ingin mengubah anggapan orang tua kami tentang Pembangunan berkedok Pembodohan yang telah bapak doktrinkan jauh-jauh hari dulu.

Tapi, pernahkah bapak bayangkan bagaimana nasib cerita masa kanak-kanak anak bapak yang tak sebahagia kami dulu? Masa kecil kami, tak sesuram masa kecil mereka kini yang tak pernah menyentuh lembutnya tekstur tanah yang wangi.

Lalu, suatu hari nanti, mulut anak-anak Bapak itu akan menganga lebar mendengar cerita kami dan istilah gobak sodor, patok lele dan lainnya.

Jika saat tiba, mereka akan merapatkan tangannya pada paha-paha kami-saking berdesakannya mereka-demi mendengar satu dua bualan masa kecil kami yang bahagia.
Dan kami yang beruntung ini, akan menatap mata mereka dengan tatapan peri baik hati pemberi harapan berbagi cerita.

Semakin meleleh ingin mereka mendengarkan kami, semakin iba kami pada mereka. Lalu, karena tak kuasa untuk berbagi, kami pun dengan jumawa yang paling pongah, akan beranjak meninggalkan mereka yang mengharap cerita indah masa lalu hingga terbawa kedalam mimpinya.
Itulah saat dimana kami menang melawan bapak. Lewat anak-anak bapak yang masa kecilnya telah bapak rampas lewat tangan bapak sendiri.

Sebelum semua angan licik kami terwujud, baik pertimbangkan lagi Hutan Wisata untuk kota kita ini, pak. Atau sekedar membuatkan pohon beberapa batang saja di depan mall milik bapak itu. Saya, bapak, kita, mungkin belum terlalu merasakan dampak dari pohon yang tertebang atau efek dari pendingin mall yang merusak ozon kita. Imbasnya akan dirasakan oleh anak cucu bapak nantinya. 


Baik fikirkan lagi, bagaimana nanti sedihnya melihat mereka harus berpakaian pelindung tubuh kemana-mana agar terhindar dari sinar matahari. Atau bagaimana nanti polosnya mereka bertanya tentang pohon karet, pohon pisang, pohon Nenas dan pohon Rambutan yang sudah tidak ada lagi pada masa itu.

Kalau masalah tenaga kerja yang jadi pikiran Bapak, Hutan Wisata pun membutuhkan tenaga kerja untuk merawat tanaman, membersihkan kolam ikan, untuk merawat bunga, untuk mengubah sampah menjadi pupuk dan lain sebagainya, Pak.


Semuanya berpulang pada Bapak pendatang pemilik uang berkoper-koper.


_______________



Read more...