Pages

Rabu, 08 Desember 2010

Negeri Nelayan pelosok Pulau

[si ikan asin]

Ikan kering belah yang terpanggang dibawah bara sinar surya menggerutu. Tak terima ditakdirkan sebagai ikan peda yang harus tersungkur dipinggiran piring nelayan miskin, yang dua hari tak melaut. Boroknya meradang, menggatal.


[bini bersarung]

Perempuan berambut kusut tergelung karet gelang memukuli tilam kasar sekali. Menyaru serupa kesurupan, ujung bibir mengkerucut dari tadi, menggeram sebab laki tak melaut. Anak terkencing tengah malam. Menambah lengkap bau sarung yang semula hanya berbau amis belacan.


[penjual belanga]

Penjaja belanga angsuran menyeka keringat seratus delapan belas kali sejak melewati rumah pertama. Cicilan tersendat mirip lubang air tersumbat kayu. Gelisah mengenangkan istri tengah mengidam acar salak dan sate rusa.


[tukang kedai kopi]

Mengumpat terperanjat, tangan terpercik air termos lantaran melirik lelaki yang akan menghutang lagi. Hampir dua lembar bon belum dibayar sejak berganti purnama kemarin.


[laki bebini]
Makan ubi sepinggan besar dibagi berdua. Laki siperempuan bersendawa kasar, seolah tak ada pembatas antara tenggorokan dan kerongkongan.

Bini silelaki menjemur sisa kudapan agar bisa dimakan lagi. Laki bebini itu selalu menyebut ubi -yang sudah jadi makanan pokok mereka dua minggu lalu- sebagai kudapan, untuk membesarkan hati. 


[nelayan]

Duduk bertelanjang dada sambil menggaruk-garuk kedalam sarung. Pangkal paha hingga sela jari kaki gatal terkena alergi, terlalu banyak memakan nasi jagung dengan cumi busuk yang dikeringkan tak memakai garam.
Anak disampingnya mencungkili tiang rumah menyusuri persembunyian rayap. Sementara, emaknya asik menyapu pasir yang menghabu diiringi dendang Melayu dari radio transistor yang berkarat tempat baterainya.


_________________________

Badai mengamuk mengadu gelombang, pasang naik pitam. Dihamtamnya apa saja yang menghalangi hadapan. Teriakan nakhoda memutar haluan tak terdengar sebagian anak buah kapal yang sedang menimba air diburitan.

Sah, kapal karam. Awak kapal yang panik, menghalalkan ban sebagai pelampung. Nakhoda berdoa tak putus, berharap semoga ombak sebesar gunung menghempaskan tubuhnya kebibir pantai. Bayangan anak lelakinya sedang meniup umang-umang semakin nyata.

Nakhoda masih terus saja mengucap semoga dalam tiap harapannya. Semoga, ada perahu nelayan yang melihatnya sedang termegap-megap mempertahankan selembar nyawanya yang semakin kaku.
Sialnya, kata semoga selalu terkeluar untuk sesuatu pinta yang sangat tidak masuk akal.

_______________

Delapan tubuh kaku membujur diberanda masjid untuk disembahyangkan. Selepas Dzuhur dikubur. Badai sedikit melembek pertanda belasungkawa penghantar manusia yang jadi korbannya.

Hingga dua minggu selepas itu, belum ada nelayan yang mau melaut. Sajen kepala kerbau belum disuguhkan  pada penguasa bahari sebagai tanda permintaan izin sebelum menebar sauh kembali.
Tak ada nelayan yang beruang lebih, entah sampai kapan kerbau ditempat pemotongan terbeli. 


[Tukang Jagal]

Tukang jagal sudah gatal telapak tangannya, asik mengasah parang sejak kemarin. Modal sudah terpakai membeli kerbau yang entah kapan akan terjual. Periuk nasi didapurnya tinggal kerak hitam yang direndam santan hampir masam.






Read more...

Kamis, 14 Oktober 2010

Berbanyak sangka lewat suapan makan.

Jika makan sekedar urusan mengisi perut dan rutinitas penahan lapar, maka tinggallah saja dihutan. Jauh dari keramaian, makan apa saja, tak perlu berinteraksi dengan orang lain. 

Baginya, makan tidak sekedar basa-basi pengganjal lambung. Ada rahasia dibalik kenikmatan makan yang tak hanya melayangkan tangan lalu mengarahkannya kedalam mulut yang berlanjut dengan proses menelan.
Karena alasan itu pula dia lebih suka makan ditengah keramaian. Dia punya kegemaran unik, memperhatikan cara makan orang lain.


" Kau tegok lah itu, Jang. Dia menggempal semua nasinya. Agaknya dia lelaki percaya diri. "  Yang diajak bicara diam saja, memilih melumat makanan tanpa suara.

Baru saja Ujang berpaling dari orang yang ditunjuk, dia berbisik lagi. " Nah, kau tengok orang diujung sana. Makannya pelan. Kukira dia orang yang lembut."

Bujang sebenarnya jengah. Tapi, apalah nak dikata, kalau tak bersabar-sabar, tak dapatlah dia makan malam gratis.

" Jang, ha! Kalo orang berdua sebelah kanan tu.... " Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Ujang menyela.

" Tak baek kita memperhatikan orang makan. Kalo orang tuh dah tesinggung, habislah kita." 

Dia tersenyum saja. " Tak paham rupanya kau maksudku. Tiap orang beragam cara makannya, kawan! Itu patut kau jadikan iktibar untuk hidup." 


Dia tersenyum lalu pergi setelah menyeruput teh panas dengan Rosella. Piring masih beradu dentingan dengan sendok.



Tag : Flash Fiction Blogfam MPID





Photobucket
Read more...

Jumat, 20 Agustus 2010

Orang Bilang Dia Pengkhianat

Ini sudah senja kesembilan sejak kakeknya pergi. Tak jua ada kabar, andai saja dia tetap memaksa kakek  membawa telepon genggam itu. Pasti tak begini kejadiannya.
Merutuki diri adalah hal yang paling sering dilakukannya akhir-akhir ini.

“Tak perlulah bawa-bawa henpon, kakek ini ndak tau cara menggunakannnya.”
“Tapi, kek,,” Kalimatnya itu menggantung diawang-awang saja. Kalau sikakek sudah mengibaskan tangan, pertanda tak ingin ditentang!


*****


Dia baru pulang dari pasar mengantarkan pesanan kue langganan. Kakinya menumbuk onggokan kertas disepan pintu. Ada tiga!

Kertas pertama, amplop putih. Sudah pasti tagihan listrik, diabaikan, sudah biasa. Amplop kedua, sedikit menarik perhatian. Berwarna cokelat dengan stempel pos dan, lambang negara? Nama tertuju adalah nama kakeknya, tak salah lagi. Amplop ketiga sudah jauh kalah penting.


*****


“Jadi pergi kan, kek?” Kakeknya diamsaja sambil mendengarkan suara kemerosok siaran berita. RRI lagi.
Lama tak ada sahutan. “Kakek sudah terlalu tua berjalan jauh.”

Dicobanya rayuan berikutnya. “Kek, tak banyak pahlawan dinegeri ini yang diperhatikan pemerintah. Biasanya hanya dikenal pas jaman perjuangan, habis itu, kaki patah demi negara pun tak digubris.”

Sikakek makin mempercepat goyangan kursi malasnya. “Nanti kita bicarakan lagi!”


*****


Tak perlu koper, kata kakeknya. Baju hanya tiga potong saja. Kemeja lengan panjang dengan celana berbahan kain. Balsem, tancho merk minyak rambut andalan, semir sepatu, kain sarung dan peci. Hanya itu. Tak ada pasta gigi dan sikatnya.

Dia lega sekali, kakeknya akan menghadiri upacara kemerdekaan di Istana Negara. Bergabung dengan veteran lainnya. Diundang langsung oleh Negara, betapa hebat kakeknya! Kakeknya yang diundang ke Istana Negara, tapi dia yang bangga. Tak apalah, kakek pasti pejuang yang hebat dizamannya. Sekali lagi dia sumringah.


*****


Sumringahnya lenyap hingga pada hari kedua setelah acara kehormatan itu usai, kakek belum juga kembali. Ada perasaan tak tenang mengusiknya! Entah apa. Bolak-balik dia merutuki diri.
Dia menenangkan diri sejenak. Mungkin kakek pulang besok. Hiburnya pada diri sendiri.


*****


Upacara Kenegaraan memperingati hari merdekanya negeri ini, akan dimulai besok pagi. Para pahlawan yang diundang telah menempati kamar terbaik sebagai bentuk penghargaan akan jasa mereka dahulu.
Lelaki tua pertengahan delapan puluh itu tetap tak bisa tidur nyenyak. Ada perasaan mengganjal dihatinya.


*****


Upacara kenegaraan itu telah usai.  Sesosok lelaki tua berjalan sendiri memisahkan diri dari rombongan sejak subuh. Tak tau kemana akan pergi, di turuti saja kaki melangkah.

Selembar daun kering melayang didepan wajah lelaki tua itu. Berwarna coklat. Di pungutnya, dengan sekali genggaman, daun itu remuk. Sebuah kenangan dimasa lalu terkuak, membuka kenangan.


*****


“Apa yang kau bawa pada kami, sersan Herman?” Hardik lelaki Belanda berperawakan besar.

Lelaki yang bernama Herman itu senyum, “Ada sekitar lima belas prajurit yang akan melintasi perbatasan, tuan. Mereka akan berpakaian layaknya rakyat sipil. Merekalah yang patut dibunuh, mereka itu pasukan mata-mata untuk Endonesia.”

Lelaki yang bertanya melemparkan beberapa keping uang tepat kehadapannya. Berwarna coklat. Sejak itu dia mengasingkan diri.

Beberapa hari kemudian, serbuan yang telah direncanakan diam-diam berhasil dipatahkan si Penjajah. Lima belas tentara keamanan ditemukan tergeletak bersimbah darah dengan bagian tubuh yang terpisah. Mati!"


*****


Lelaki itu menghela nafas, panjang sekali. Angin yang bertiup mendirikan bulu kuduknya.

“Aku tau, kau pelakunya Herman! Yang mati itu harusnya kau, Herman!” Pelipsnya disodok pucuk senapan.

Malaikat  penunda maut menjelma dalam sosok disebelahnya. “Sersan Andi, tahan. Biarkan saja, dia tak perlu mati! Penghianat seperti dia, sudah mati sejak pertama menggadaikan negerinya pada tumpukan uang!”

Lelaki yang menodongkan pistol itu nampak berang, tangannya sampai bergemetar. Perintah dari atasan itu mengurungkan niatnya. Dia tak mati hari ini.


*****


Dada lelaki itu semakin sesak. Dia hidup menikmati kemerdekaan hingga hari ini, justru saat dia menghianati negeri sendiri. Entah bagaimana bisa.

Mungkin cucunya akan kecewa jika tau, semoga saja semua teman-temannya sudah mati, hingga tak ada aib yang disembunyikan lagi.

Atau dia yang harusnya sejak lama mati. Ujung sepatunya menghantam batu besar, ditimangnya dengan telapak tangan kirinya. Berat, cukup sekali hantaman kekepala, pasti langsung mati!
Read more...

Jumat, 06 Agustus 2010

Kejutan dari Dia

Dia terlihat agak kurus, bagian pundaknya terbuka dan ada kulit yang terkelupas, pasti perih kalau terpanggang matahari. Kulirik dia sekali lagi. Dulu otot tangannya tidak menyembul serupa itu, ada bintik-bintik hitam sekarang diwajahnya.

Kuperhatikan sekali lagi, caranya menyeruput kopi perkasa sekali. Dia kekasihku, ayah dari calon anak ini. Bukan! Bukan suamiku, kami belum menikah. Hanya sesekali dia mengunjungiku, saat udang yang kami ternak akan dipanen.

Dia datang kesini, mau memberi kejutan katanya. Aku tersenyum mendengar kata kejutan. Orang papah seperti kami ini tak perlulah mendapat kejutan. Tiap hari, saban pagi aku selalu mendapat kejutan dipasar pagi. Harga cabai yang menanjak tajam seakan susul menyusul dengan harga gula. Bandrol sabun mandipun tak mau kalah. Gengsi jika tak ikutan naik.


*****


Lelakiku itu, mampu membuatku melayang tiap kali berbicara. Mungkin itulah yang membuatku ikhlas dibuntinginya. Tak pernah ku paksa dia menikahiku. Dia akan berang, lalu murka. Serupa setan kalau sudah begitu, baik kudiamkan saja.

Kretek itu masih tergantung disudut bibirnya saat dia berbicara sambil menjahit jala.
“Aku ada kejutan untukmu,tapi nanti kalau semua udang selesai kita panen.”
“Apa?”
“Ah, kau ini. Bukan kejutan kalau diberi tahu.”
Aku tersenyum, geli.


*****


Dia datang lagi sepagi ini. Membawakan baju hamil berwarna ungu. Aku suka, seleranya bagus memang.
“Kenapa ungu? Seperti warna janda.”
“Warnanya bagus untuk kulit putihmu. Nanti sore aku kesini lagi, bersiaplah. Pakai baju itu nanti.”
“Kita kemana?”
“Kejutan.”
Aku tersenyum, kali ini sumringah. Lagi-lagi kejutan.


*****


Pasar malam ini ramai, hiruk pikuk memekakkan. Aku tak betah, tumitku yang membengkak tak nyaman dibawa berjalan seperti ini.

“Aku capek, kita pulang saja.”
“Sebentar lagi, masih ada kejutan untukmu. Tunggu disini.”

Aku mengalah. Dia pergi setengah berlari, menjemput kejutan katanya. Aku asyik membayangkan kejutan apalagi.

Mungkin kalung emas? Mana mungkin, uang penjualan udang hanya mampu membeli mas suasa dua setengah gram. Tentu saja aku tau, tadi kami menanyakan pada toko mas dipojok pasar malam ini.
Atau, baju daster lagi? Ah, tidak! Aku tadi bilang lebih baik beli perlengkapan bayi saja.


*****


Sepuluh menit lelakiku itu pergi. Belum juga kembali. Sesuatu yang dingin tertempel dileherku. Seseorang menempelkannya dari belakang. Aku tak menoleh, jadi juga dibelinya kalung imitasi itu! Aku tersenyum.
Orang-orang melihatku bingung. Aku pikir ini pasti pernah mereka lihat ditv, adegan cinta dari kekasih untuk wanitanya. Aku semakin bangga.

Ada aroma wangi tercium dari pundakku, bukan bau tubuh lelakiku. Dia pasti sengaja membeli minyak wangi hanya untuk malam ini. Indah sekali! Aku makin tersanjung.


*****


Aku terhanyut suasana kejutan ciptaan lelakiku itu. Aku semakin melayang, tak mampu lagi mencerna keadaan.

Lamat-lamat kudengar suara dibalik tengkukku, seperti desauan angin.

“Ini akibatnya jika merebut suamiku, jalang!”
Sempat kulihat orang berlarian sambil berteriak. “Ada pembunuhan! Ada pembunuhan!”
Nafasku berpaju dengan darah yang menyembur dari batang leherku.
___________

Read more...

Selasa, 20 Juli 2010

Tak ada Cinta Yang Salah.

Aku dan tunangan ku itu sudah sepakat. Rahasia akan tetap jadi rahasia dan wajib dipegang teguh, tak masalah jika terbongkar belakangan. Setidaknya saat ini masih aman - aman saja.

” Kau bebas berkencan dengan siapapun, Josh.”
” Ikatan kita hanya sekedar simbol. Cinta itu segalanya daripada sekedar basa - basi palsu. “

Kami sepakat.


*****


Aku sudah duduk didepan kekasihku ini, dia selalu menarik perhatianku. Rambutnya yang sedikit di biarkan panjang lebih cocok dengan tipe wajahnya yang agak tirus. Rahangnya, Ya Ampun, itu yang membuat hatiku selalu ketar - ketir tiap kali melihatnya.

” Masakan mbak selalu bikin inget rumah.”
” Makan sepuas kamu aja, sayang.”

Aku tak sabar menungguinya sampai dia selesai makan, kulangkahkan kakiku untuk menyentuh pundaknya. Pundaknya bidang. Ternyata sentuhan saja tak membuat kekasihku itu berpaling dari makannya. Mungkin dia terlalu lapar, ku coba cara lain. Berhasil, dia melumatku habis semalaman penuh !


*****


” Kalau boleh tau, siapa nama pacar mu itu, Ros ?”
Aku tersenyum, ” Kenapa ? Kamu cemburu? “
Dia tertawa, sumbang dan menyakitkan. ” Aku cuma heran, umur kalian beda jauh.”

Aku diam saja, tak ada gunanya menjawab pertanyaan bodoh seperti itu. Buatku, cinta berjalan diatas semuanya. Tak ada masalah dengan umur. Apa salah jika mencintai lelaki yang lebih muda?
Dasar manusia picik, kalau saja tak ingin melanggar janji, sudah kuludahi wajahnya.


*****


Sore ini aku agak lelah, menyiapkan semua tetek - bengek urusan pernikahan itu merepotkan ! Agak malam aku sampai dirumah.

Darahku mendidih melihat kamar tidur ku dipakai untuk bercinta.

” Kita sudah sepakat semuanya cuma simbol.”
” Bukan itu masalahnya, aku capek ! Dan kamu  senang - senang bercinta dirumahku !!! “

Kali ini habis kesabaranku. Kulihat dia sedikit menyesal. Kurebahkan kepalaku di sandaran sofa. Aku hampir terpejam saat lelaki itu menawarkanku teh.


*****


Ini sore mendung yang kami habiskan duduk berdua di bangku taman kota. Aku dan Kekasihku.

” Semua bakalan berubah. Mbak nikah sebentar lagi.”
” Gak ada yang berubah, sama saja. Dia tak akan keberatan.”

Kurangkul dia, kukecup bibirnya, dia membalas tanpa perlawanan. Aku harus meyakinkan bahwa semua pasti baik - baik saja.

” Ulang Tahun mbak tiga hari lagi, mau aku kasih apa? “
” Cinta.”

Dia menatapku tajam, dibangku taman yang sepi ini kami berpagutan lagi.


*****


Hari ini, Ulang Tahun ku, dua puluh lima tahun. Hanya ada aku, lelaki itu dan pacar gay nya yang dia bilang dicintainya setengah mati. Kekasih ku belum datang.

Kami masih duduk saling berhadapan, memandangi makanan dan lilin yang meliuk - liuk hampir padam diatas meja terhembus udara dingin ruangan. Sebelum kekasihku datang, tak akan ada makan malam hari ini.

” Mungkin dia tak datang, Ros.”
” Dia pasti datang, Josh. Ini Ulang Tahun ku.”

Tak lama, datang sesosok tubuh yang ku tahu itu kekasihku. Benar kataku, dia pasti datang.


****


Malam ini aku bahagia, bagaimana tidak, lelaki congkak tadi berhasil ku buat melongo mulutnya. Dia pasti sakit hati melihat kekasihku itu. Bagaimana tidak, kekasihku itu jauh lebih tampan dari dia. Ya, selama ini ketampanan itu yang selalu dibanggakannya.

Aku yang sempat di celanya, mampu memacari orang yang lebih tampan. Meski lebih muda, tapi dia jauh lebih dewasa dan sempurna. Itulah kenapa aku mencintainya.

Seperti malam ini, aku dan kekasihku tergeletak bersimbah peluh diranjang kamar ku. Lelah bercinta membuatnya pulas tertidur.

Kupandangi wajahnya. Tampan. Kukecup keningnya, kubisikkan sesuatu di telinga nya.
” Aku cinta kamu, sayang. Aku nggak perduli meski kamu masih 15 tahun.”
Read more...

Jumat, 09 Juli 2010

Sayembara Novel DKJ 2010 | Dewan Kesenian Jakarta | dkj.or.id

Read more...

Rabu, 30 Juni 2010

Ayah menyumpahi Pukat Harimau.

Kata ayah dulu, kalau awan sedang bergumpal - gumpal dan berarak seperti sekarang, berarti ikan sedang bertelur dan nelayan akan panen tangkapan. Ku iya kan saja.
 
Ibu bilang, kalau ayah nanti berlayar, aku dan tiga adikku akan dijaga Mak Ngah. Ibu mau ke kota kecamatan. Ada yang butuh orang gajian disana. Aku menurut saja.


*****


” Sudah seminggu kalian disini. Tak juga datang Mak mu itu, uangku sudah habis untuk makanmu. “

Aku belum mengerti apa maksud Mak Ngah. Ku diam kan  juga. Mak Ngah memang biasa merepet panjang tak karuan seperti ini. Sudah tabiatnya.


*****


” Jangan lupa kau belajar. Nak Dara itu harus pula bersekolah. Kau ingatlah itu. “

” Pensilku tak ada lagi. “

” Kalau mak dah dapat uang, nanti mak belikan. Belajar sajalah yang rajin. Jaga juga adik mu ya.”

Itu kata ibu, sebelum Mak Ngah tiap hari berwajah masam padaku. Kalau sudah merepet panjang seperti ini, anak Mak Ngah yang tujuh orang itu menjauh, tak mau jadi korban selanjutnya.


*****


” Tiap hari yang kau kerjakan cuma belajar saja. Nanti pun cuma jadi istri pelaut. Sudah selesai jaring itu kau kerjakan ? “

Aku mengangguk.

“Kalau bukan anak adikku, sudah lama kau dak disini. Makanmu banyak ! “

Lagi - lagi aku diam. Kulihat Bang Yus keluar rumah.

” Yus, nak kemana kau ?  Aih, anak bujang dirumah ini pun dak ada yang bisa melegakan hati.”


*****


Ayah pulang melaut, tangkapan tak banyak. Pukat Harimau, katanya. Ibu tak juga pulang, sudah dua purnama. Tak ada yang tau di rumah mana ibu jadi orang gajian.

Sekarang aku dan adik tinggal dengan ayah, sebenarnya kami lebih sering ditinggal. Kalau malam ayah selalu ke kedai Wak Mira, minum kopi dan berbual sambil memakai sarung.

Belakangan ini, nelayan tak banyak tangkapan. Pukat harimau berulah, itu saja pembicaraan bapak - bapak di kedai sana. Sampai bosan aku mendengar.


*****


” Kalau nanti kalian harus kawin, kuharamkan kawin dengan orang pukat harimau itu ! Bikin sial ! “

Kadang aku heran, kenapa ayah jadi marah tentang pukat itu ke kami ? Ah, sudahlah, biarkan saja. Mungkin ayah juga bingung mengurus empat anak tanpa istri. Ibu belum juga pulang.


*****


Mak Ngah datang kerumah siang - siang.

” Ayah kalian ditahan polisi. Dia membunuh orang. “

Aku kaget, tak mungkin ayah membunuh. Itu bukan tabiatnya.

” Cepatlah ! Kita ke kecamatan sekarang. “


*****


” Ayah membunuh orang pukat harimau itu ! Biar dia jera, tak lagi menyiksa nelayan. “

Kudengar polisi memanggil nama ayah, istri yang dibunuh ayah tak terima kalau ayah hanya di penjara saja. Mungkin dia ingin meludahi orang yang membunuh suaminya.

Aku mengiringi ayah keruang yang diperintah polisi. Sudah ada perempuan menunggu disana, dia istri orang yang mati itu. Aku gemetar, tapi ayah tenang saja. Perempuan itu menoleh ke kami. Wajahnya tak asing. Dia ibu kami.

Read more...

Sabtu, 26 Juni 2010

Seperti Radit dan Jani.

Sepasang kekasih itu lari saja menerobos rintikan hujan di Juni petang ini. Tak mereka gubris satpam mini market yang terseok - seok memegangi tali pinggangnya yang melorot. Yang dikejar tertawa saja, puas berhasil mencuri sekaleng biskuit dan beberapa teh botol, sekalian saja mereka menertawakan satpam yang akhirnya tak sanggup mengejar langkah - langkah panjang mereka. Satpam itu lupa, dia pernah bersumpah akan menangkap pengutil tetap di tempatnya mendapat upah.


****


” Kita seperti Radit dan Jani ya. “

” Iya, hanya saja aku lebih cantik dari si Jani. Dan kau tak sekurus si Radit, sayang. “

Lagi - lagi mereka terhanyut dalam buaian cinta tanpa syarat yang mereka arungi. Indah, juga memabukkan.


****


” Aku akan bilang apa sama Bapakmu itu ? “

” Bilang saja kau cinta aku. Habis itu kita kawin. “

” Kalau tak setuju ? “

” Kau culik saja aku ! Bodoh ! “

Setelah percakapan itu, mereka tak pernah kembali lagi untuk memohon restu dari siapa saja. Terlalu banyak syarat yang diberikan pada orang yang saling mencintai. Basi ! Kalau saling cinta, kenapa harus ditentang ?!


****


” KIta bilang saja sudah kawin kalau ada yang nanya. Beres. “

” Kalau mereka tanya surat nikah ? “

” Kita karang sajalah alasan yang masuk akal. “

” Apa misalnya ? “

” Rumah lama kita kebakaran. “

Kedua remaja itu kini mencoba bahagia. Makan dari hasil apa saja. Tak penting itu halal - haram. Dosa urusan belakang. Tuhan pasti maklum, mereka juga ingin senang.


****


Bulan belasan kali sudah melenggang. Dua manusia itu kini makin terbiasa dengan hidup rock n roll versi mereka. Serampangan tak karuan. Tapi, inilah seni nya cinta. Jika muluk - muluk saja, maka akan tak bernada.

” Sampai kapan kita hidup seperti ini ?  Aku lapar “

” Sabarlah, besok aku akan kerja. Butuh tukang parkir dilapangan olah raga itu, katanya. “

” Sampai kapan kau mau jadi tukang parkir ? “

” Sampai ada uang terkumpul untuk kita buka usaha. “

” Usaha apa ? “

” Aku akan buka bengkel.”

” Boleh aku jualan pecal disamping bengkelmu ? “

” Tentu saja. Kenapa tidak, sayang ? “

Kedua manusia itu asik dengan cerita masa depan buatan mereka. Terbayang cinta yang makin merekah setelah hidup semakin mewah. Indah memang.

” Tapi aku lapar. “

” Sini ku peluk. Kita tidur saling berhimpit saja. Biar tak lapar. “


****


Apa lacur kalau kata telah sesumbar tercelat dari mulut yang sedang khilaf ? Maka kedua manusia itu hanya duduk berjauhan.

” Aku cuma tidak mau kau terlihat kotor dengan berlepotan oli nantinya. Cari lah usaha lain, biar aku saja yang jualan pecal disana.”

” Lalu akan ada segerombolan lelaki genit yang mengendus - endus tengkukmu saat kau sedang memunggungi mereka menyiapkan pecal murahan itu ! “

” Kau tak percaya padaku ? “

” Aku percaya padamu. Aku hanya tak percaya pada lelaki - lelaki yang akan jadi pelangganmu ! Lagi pula, aku tak mau mencium aroma bawang dari tubuhmu saat malam.”

” Jadi kita mau usaha apa ? “

” Mendekatlah kemari, sayang. Kubisikkan sesuatu. “

Perempuan muda itu menurut saja. Pertengkaran mereka usai sampai disini. Terbaring berdua setelah perdebatan panjang adalah hal paling romantis.


****


Pemilik rumah kos itu sepanjang hari di tanyai polisi. Kenapa sepasang kekasih itu bisa mati. Yang ditanyai diam saja, jelas tak mengerti.

Begitu pun tetangga lainnya. Setahu mereka pasangan ini bagai Radit dan Jani. Selalu akur, seirama dalam tingkah.


****


” Kita harus seperti Radit dan Jani, bodoh ! Tak ada yang mampu memisahkan kita. “

” Kau membunuhku ? Kau bilang mencintaiku… “

” Aku tidak membunuhmu. Aku hanya tak ingin membiarkan mu dinikmati laki - laki lain, sayang. Kita akan selalu bersama. “

Jelas saja tak ada orang tau, perdebatan tentang pecal dan oli mampu memancing setan malam itu yang menyelinap dalam bentuk pisau dibalik jaket si lelaki.





****

Ide cerita ini, sebelumnya pernah saya baca disebuah majalah. Tapi, lupa kapan dan majalah apa. 

Read more...

Kamis, 03 Juni 2010

Kata orang ini dosa. Aku bilang ini Cinta

Siang ini kukumpulkan semua barang - barang Yanti yang kuanggap bisa meretakkan hubungan kami. Gaun biru muda pemberian Dimas, Gelang giok kado Dimas di Ulang Tahun Yanti yang ke dua puluh tiga. Yanti bilang itu bagus, bisa keluar sinar kalau di malam gelap. Buatku itu jelek karena aku tak suka pada pemberinya. Belakangan ini mereka mulai terlihat mesra. Bahkan sangat mesra. Pulang dan berangkat kerja selalu bersama. Seperti sudah tidak ada kegiatan lain saja. Aku tidak marah pada Yanti, aku hanya tidak suka pada Dimas. Semua ini harus kubakar. Yanti marah, urusan belakang.


***


" Kau melewatkan janji makan malam kita lagi kali ini, Yan "
" Aku minta maaf, tapi kali ini Dimas benar - benar membutuhkanku. "
" Kau sudah seperti pelacur pribadinya saja. Selalu harus ada saat dia butuh ! "
" Tolong, mengertilah. ! "

Yanti memelukku, merapatkan dadanya pada punggungku. Kenyal dan hangat. Ah, bagaimana aku bisa marah jika sudah begini. Aku luluh, birahiku terangsang. Tapi harus ku tahan. Tak mau semua ini merusak kemesraan kami.


***


" Hari ini aku mungkin pulang larut. Tak usah menunggu.Tidurlah duluan "
" Pergi dengan Dimas lagi ? Kemana ? "
" Ada praktek di lab. Kau taukan, aku harus lulus tahun ini."
" Ooohh... "

Aku sedikit lega, setidaknya dia mengabaikanku bukan karena lelaki itu. Ku akui, Dimas memang tampan, matang dan sudah bekerja. Apa yang dilihat Yanti dari ku ? Aku lebih muda dua tahun darinya, tempramental, dan masih terseok - seok menjalani perkuliahan sembari bekerja sebagai pelayan paruh waktu restoran cepat saji. Semua kulakukan agar Yanti bangga padaku. Itu saja.


***


Deru motor dan silau lampu spion dihalaman depan mengusik mimpi ku yang sedang bercinta dengan Yanti. Sial, aku hampir saja orgasme ! Semua buyar karena motor brengsek itu. Kusingkap tirai, ada Yanti yang sedang dicium bibirnya. Anjiiinngg !!! Aku benar - benar tidak terima. Aku cemburu. Harus kulakukan sesuatu. Yanti terkejut begitu melihatku yang berkacak pinggang didepan pintu. Begitu pun Dimas, silelaki sialan itu. Dia melepaskan ciuman haramnya, tergagap dan terburu - buru pulang tanpa pamit padaku. Dasar setengah banci.!


***


" Kau memalukan, Yanti ! Kau anggap apa aku. Hah ??!! "
" Maaf... Aku tak bermaksud.. "
" Kalau kau ingin menjaga perasaan ku, bukan begini caranya. Kita sudah empat tahun tinggal bersama.    Tetap saja kau menganggapku seperti kacungmu ! "
" Bukan begitu, percaya padaku. Aku tidak bermaksud merendahkanmu. Aku mencintainya, itu saja. Mengertilah. "

Ini perang pagi di awal musim yang cukup cerah. Ah, andai saja Yanti tak kembali memelukku. Aku pasti sudah menikamnya dengan pisau pengupas appel ini. Lagi - lagi aku luruh. Ku akui, aku sangat menyukainya, bukan, bukan hanya suka. Aku mengaguminya, lebih dari itu, aku mencintainya. Aku sudah mengenalnya sejak lama. Dia sepupuku, tidak begitu cantik namun mempesona, anggun dan dan sederhana. Tipikal wanita keibuan seperti yang aku dambakan.


***


" Kau lihat gaun yang baruku ? "
" Sudah kubakar kemarin siang ! "
" Kenapa ? Kau tau itu dari Dimas kan ? "
" Kau tidak pantas memakainya. Lagi pula dia lelaki brengsek ! "
" Kau mulai membosankan. Tidak ada hak kau melarangku. Aku mencintainya ! "


Kata - kata Yanti barusan membunuhku. Apa dia bilang ? Cinta Dimas ? Apa dia tidak tau kalau aku juga sangat mencintainya ? Bahkan cintaku lebih dari cinta lelaki bangsat itu padanya !


***


Sepertinya Yanti benar - benar marah padaku. Dia memasukkan semua pakaiannya dalam tas usang yang kuingat adalah tas yang kami beli dipasar bau amis empat tahun lalu. Aku bersalah sekali, tapi aku tidak ingin lari ke lelaki itu dan meninggalkanku. Aku bisa mati tanpanya.

" Mau kemana ? "
" Bukan urusanmu. Aku muak serumah denganmu ! "
" Kau mau kemana ?! "
" Pergi dari sini..!! "
" Kau tak boleh pergi. Aku bisa mati tanpamu "
" Kau mati saja kalau kau mau ! Aku tak perduli lagi..! "


***


Yanti pergi. Tak bisa kutahan, sekuat apapun usahaku. Aku benar - benar hampa tanpanya. Cinta ku padanya begitu kuat. Tidak sekedar kata gombal seperti yang dikatakan Dimas seperti yang sering kubaca diam - diam di pesan singkatnya pada Yanti.

Tanpa kusangka, ditengah keputus asaan ku memikirkan nasib cintaku yang tak berbalas dari Yanti, sore ini dia datang. Mengambil semua sisa barang nya yang tertinggal. Aku tak mau dia pergi lagi.

Tak kusia - siakan kesempatan ini. Kupeluk dia dari belakang. Aku dekap dia, seperti tiap kali dia meredakan marahku. Kekecup pangkal lehernya. Dia berontak, semakin kueratkan pelukanku. Dia menggeliat marah, tapi bagiku dia sedang menggelinjang penuh nafsu sepertiku. Kali ini, harus kukatakan sesuatu padanya.

" Yan, jangan pergi. Aku akan melakukan apa saja agar kau mau kembali kesini lagi. Jangan tinggalkan aku! " Pintaku memelas.

Dia mengacuhkanku, " Aku akan bertunangan dengan Dimas dua minggu lagi. Dan akan menikah bulan berikutnya. Datanglah kepertunanganku nanti. "

Sial, dia benar - benar membuatku kalap. Aku kedapur, bingung. Kulihat seutas kawat bekas jemuran yang putus. Kubawa kawat kekamar. Kukaitkan keleher Yanti. Dia berontak kehabisan nafas. Lalu perlahan mulai mulai merosot dari dekapanku. Dia mati. Aku mencintaimu Yanti. Tak ada siapapun yang boleh mencintaimu selain aku. Kau lebih baik mati jika tidak bersamaku. Aku terbahak. Puas sekali. Tapi tidak lama. Tiba - tiba aku seperti gila. Aku menangis sejadi - jadinya. Meraung. Kuingat desahan Yanti sebelum mati.

" Ayu,,, apa yang kau lakukan. Aku ini sepupumu. Dan aku akan menikah "

Aku tersadar. Nama ku Ayu. Ayu Prayitna Putri Hidayat.








Read more...

Kamis, 13 Mei 2010

12 Tahun Lalu

Bodohlah orang - orang yang tidak suka berbelanja di Mall !!! Akan tambah terlihat bodoh lagi jika mereka lebih menyukai pasar rakyat !! Apa yang bisa didapatkan dari berbelanja di Pasar bau busuk itu ? Paling hanya harga yang sedikit murah 1000 rupiah saja, selebihnya ? Tidak ada apa - apa. Oh iya, orang - orang itu akan mendapatkan aroma menusuk dari perut - perut ikan yang membangkai berhari - hari, akan berdesak - desakan sesama mereka yang berkeringat - saja pun - amis.

Hal yang paling dia sukai adalah menuntaskan penat di mall. Di mall ada pusat perbelanjaan, tempat makan yang memutar musik merdu yang merayu, ada kafe, ada internet, ada orang - orang yang berbicara cerdas, ada tempat bermain yang luas, ada taman - taman dan tempat makan dan minum dengan pelayanan yang ramah - dan pastinya juga - cerdas. Intinya, tidak ada yang kurang dari tempat seperti ini, kawan.

Jika berbelanja hanya dianggap rutinitas maka mampuslah keindahan. Pergi saja kalian ke pasar bau itu. Tempat para kuli kasar pengangkut karung beras bertampang sangar. Pelototilah dinding - dinding pembatas yang hanya berlapis poster - poster usang para pejabat. Belilah itu kangkung, bayam dan terasi. Masak dan tumpukalah didalam perut.

" Melepas penat itu buat ku tidak sekedar menyandarkan punggung pada kursi saja, Jason. Melepas penat itu harus disertai dengan kenyamanan yang akhirnya mampu memulihkan suasana hati. Seperti sekarang. Duduk di salah satu kafe di Mall ini, melihat orang - orang berpakaian bersih, makan dan minum sambil membahas urusan kita. Kau lihat itu Janet ? Kau lihat orang disudut yang membaca buku roman itu ? Inilah yang dinamakan peradaban, kawan. Ha - ha - ha - ha. Peradaban, ya peradaban. Peradaban yang bermartabat. Bukan seperti para preman pasar yang makan diwarung penuh debu dan lalat itu." A Lyang menyalakan rokok bertembakau rendah, menghembuskan asapnya perlahan - lahan. Jason dan Janet yang disebut namanya itu sedang asik mengaduk makanan dengan garpunya. Sambil sesekali menoleh pada A Lyang yang berbicara.

Merekalah remaja yang menjelang usia 21 tahun, beberapa bulan lagi. Remaja bermartabat dari keluarga konglomerat. A Lyang masih melanjutkan ocehannya " Kalian tau kenapa preman - preman pasar itu bertingkah liar dan brutal ? Mereka jarang membaca. Makanya, cepat tersulut emosi, mirip hewan saja lagaknya.!! Huh!!! "

Tentu saja itu sebuah tuduhan A Lyang tanpa landasan dari buku manapun yang pernah dibaca nya. Janet sempat bergidik mendengar ucapan sahabat cerdas nya itu. Dari mereka bertiga, memang A Lyang lah yang paling senang membaca. Rasanya belum ada buku yang belum di baca A Lyang. Tentu saja kesimpulan ini didapatnya setelah melihat tumpukan buku di perpustakaan pribadi A Lyang yang segunung. Bahkan A Lyang yang bukan belajar perekonomian pun mampu membaca pemikiran Adam Smith dan John M. Keynes, dua ekonom hebat yang berpola pikir saling tolak belakang. Hebat benar teman nya yang satu ini. Tak kurang ibarat perpustakaan berjalan.

Lain A Lyang, lain pula Jason dimata Janet. Bagi Janet, Jason adalah teman sekaligus tempatnya melabuhkan hati, meski Jason lebih memilih mengencani gadis - gadis yang selalu beda tiap minggu nya. Janet tak pernah ambil pusing, toh ujung - ujungnya pasti kembali lagi padanya. Jason suka membaca juga, meski tidak serutin A Lyang. Jason menganggap bahwa perpaduan antara buku, musik, dan minuman, merupakan perpaduan penuh birahi dan berkelas. Dari pandangan nya ini lah dia tidak melerai Jason sekalipun untuk mendekati tiap meja gadis  - gadis yang tertawa memancing gairah.

Sedangkan Janet sendiri, dia mencoba melihat sosok perempuan berpakaian casual pantulan dari dirinya sendiri dicermin sebelah A Lyang. Aku tidak beda jauh dari kedua orang ini, pikirnya. Dia ingat perbincangan mereka bertiga, dua hari lalu dibalkon rumahnya. " Kalian tau ? Aku tidak pernah kekurangan uang. Orang tua ku itu, cih!!! Mereka tidak pernah putus mengirimi ku uang, bahkan mungkin sampai mereka mati sekalipun..!! Mereka pikir cukup dengan uang saja membungkam mulut dan hati ku. Tanpa mereka tau bahwa aku muak dengan keluarga ini. Keluarga anjing !! "

Entah sudah berapa lama mereka duduk di kafe ini. Ini sudah kali kedua mereka memesan light-joy coffee dengan balutan musik smooth-jazz. Baru saja mereka akan beranjak dari kafe ini. Tiba - tiba. Praanggg.!! Batu setelapak tangan meluncur melewati kepala Janet. Terasa sekali angin melewati kepalanya bersamaan dengan terbangnya batu tadi, pertanda batu itu dilempar dengan kekuatan cukup keras.

"Bakar.. Bakar...!!! Rampas.. Rampas.. Rampas semua..! " Janet terpaku ditempatnya. Tak mampu berfikir.
" Lari, lari Janet..!!! Ayo lari...!!! " Panik A Lyang dan Jason menarik tangannya, mengajaknya pergi. A Lyang dan Jason memapah tubuhnya, menyeret lengannya, terseok-seok menyelamatkan kepala dan tubuh dari lemparan batu, besi dan juga pentungan kayu. Mereka berusaha keluar, lari ke luar. Tersengal-sengal. Gemetar, dan puncaknya, tentu saja  ketakutan. Masih terdengar jelas bantingan benda-benda keras, amukan kayu, kemerompyang kaca-kaca, botol-botol melayang, kursi-kursi dan meja remuk dihancurkan, teriakan orang-orang kehilangan akal “ Tolong.. Tolong..!!! " Riuh rendah beradu dengan dentingan benda terpantul disetiap ruas ruangan.

" Hancurkan..!!! Bakar!!! Musnahkan !!! Kapitalis tak tau diri !!!”
  Bakar? Ya Tuhan. Dosa besar apakah yang dilakukan sebuah tempat bernama Mall ? Mereka bukan pemilik. Mereka hanya pengunjung dan peminat setia. Itu saja.

Tapi dia tetap saja terdiam. " Janet.. Janet..!!! Lari.. cepat..!!! Kita tidak punya waktu berlama - lama disini. Pake otakmu !!!" Suara Jason dan A Lyang  seolah terdengar samar dan jauh. Entah apa lagi yang dikatakan dua temannya itu. Yang jelas, Janet merasakan tubuhnya semakin ringan dan terbang, melayang dengan wajah A Lyang dan Jason yang memudar. Tapi dia tau, pelipisnya mengalirkan cairan panas. Darah. Dimana - mana tercium amis darah.
Read more...

Rabu, 12 Mei 2010

Pesan Kematian

Ddrrrtttt... Drrttt.. Dddrrttt...
Kurogoh pangkal pahaku, ada benda setengah telapak tangan yang tersangkut disana. Benda mewah yang jadi kebutuhan wajib remaja yang menjelang dewasa seperti ku saat ini.

Satu pesan diterima
Aktifkan
Tekan *
__________
Malam ini, tunggu aku dirumahmu
__________
Pengirim : Arjuna

Sebuah pesan pendek dari teman, pendek sekali. Tapi tujuannya jelas.


Jarum panjang jam tua di sudut dinding ruang tamu terjepit antara angka 8 dan angka 7, sedang berebut posisi dengan si jarum pendek. Pukul 19 lebih 40. Dia datang bersama dua teman nya yang sudah bisa kupastikan - teman yang selalu sama - jika berkunjung kemari. Aku sempat heran, kenapa dia selalu saja membawa temannya jika bertandang kesini. Alasan satu - satunya, mungkin karena dia penganut petuah 'Jika perempuan dan lelaki berduaan. maka yang ketiga adalah Setan'. Yah, siapa tau saja kan.

Dua temannya sibuk menyeruput teh suguhan Ibu ku, kami berdua saja dipojok beranda. Lama dia terdiam, hingga akhirnya meluncur suara dari mulutnya. Sedikit ragu, namun terdengar lirih.
"Aku ingat mati, sudah dari beberapa waktu lalu"
"Hah..?? Bagaimana bisa ?"
Terdiam lagi, beberapa saat. Mana mungkin aku bicara banyak dalam keadaan seperi ini. Otakku menyuruh aku diam, aku mengalah. 
"Kau tau kalau sebelum mati kita akan merasakan beberapa hal kan.?"
Aku mengangguk, antara mengerti dan bingung.
Diam lagi. Diam lagi. Diam lagi.

"Sudah baca kertas yang ku selipkan di bukumu tadi ?"
Aku menggeleng.
"Luangkan waktu untuk baca ya. "
Arjuna pergi. 

Teringat perbincangan siang tadi kursi kayu gedung penebar Ilmu itu, kucari buku yang menyimpan pesan dari Arjuna. Kertas putih dengan guratan tinta hitam.

Untuk temanku : Ratu
Aku tau ini pasti membuat mu kaget. Tapi sangat penting kita tau. Tentang sesuatu yang pasti kita jalani, Kematian. Kau bisa saja percaya tapi jika ini semua tak masuk logikamu, lupakan saja. Anggap saja aku pamer Ilmu.
Apa kau tau, 100 hari saat kita akan mati seluruh tubuh dari ujung rambut sehingga ke ujung kaki akan mengalami getaran, seakan-akan mengigil. Tepat diwaktu Ashar. Sadar atau tidak.
Jika kita akan mati 40 hari lagi, saat itu daun yang tertulis nama kita telah gugur dari pohon usia kepunyaan Tuhan. Saat itu malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan membuat persiapan, malaikat maut itu akan mulai mengikuti kita sepanjang waktu. Masih diwaktu Ashar, bagian tubuh yang selalu kita tutupi itu akan berdenyut, tepat nya di pusar.
Waktu kita hanya tinggal 7 hari lagi, kita akan mengalami rasa kelaparan, bukan, bukan kelaparan. Tepatnya kita ingin makan makanan apa saja. Seolah - olah ingin makan semuanya tanpa jeda.
Kita akan mati 5 hari lagi, rasakanlah anak lidah bergerak-gerak, bagian tengah dahi seolah bergerak - gerak, lalu akan menjalar hingga keseluruh bagian dahi.
Ini hari terakhir menjelang kematian kita 1 hari lagi, Terasa sekali bahagian ubun - ubun kita juga bergerak - gerak diwaktu Subuh dan Ashar.
Ini lah saat terakhir kita, akan terasa sejuk bahagian pusar hingga ke tulang solbi (di bahagian belakang badan).

Ratu, aku tau akan ada sekelibat keraguan padamu. Tapi percaya padaku, dulu Kekasihku itu juga berkata hal yang sama. Dan kau tau kan, dia mendulu juga akhirnya.
Aku tidak memaksamu percaya, inilah yang mebuatku terngiang - ngiang kematian beberapa waktu ini. 
 

Ya Tuhan, bagaimana bisa aku berkata. Tidak biasanya Arjuna semelankolik ini sampai mengirimi ku surat kejut. Apakah ini pertanda dari Arjuna ? Panik, kusambar tas tanganku dimeja. Pukul 18.55. Aku tak ingin Arjuna mati. Dia harus tau bahwa aku mencintainya, Ya. dia harus tau. Dia harus tau bahwa aku mencintainya, sebelum dia mati.

Drrtt... drrrttt...drrttt

Satu pesan diterima
Aktifkan
Tekan *
_________
Segera ke Rumah Sakit Budi Mulia
_________
Pengirim : Ipank

Sudah ada beberapa orang kulihat disana. Ada Ibu yang tadi kucium keningnya, Ayah yang masih berpakaian kerja biru lembayung, Ipank, Doni. Arjuna tergopoh melewati lorong sempit Rumah Sakit, aku berusaha menapaki langkannya. Di ujung pintu, Ibu menoleh pada ku dan Arjuna.
"Ratu meninggal, nak."
Read more...

Sabtu, 01 Mei 2010

Banci itu Kakakku

Plaakk..!!! “Pergi kamu dari sini,,!!!” Muka Mas Galang memerah, bekas tamparan tangan Papi pasti tidak begitu sakit jika dibandingkan dengan hati Mas Galang yang remuk karena baru sekali ini Papi bersikap kasar pada Mas Galang.


“Pergi..!!! Kamu sekarang sudah menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Anak tak tau diri,,!!! Pergi..!!!” Aku menagis sambil mengejar langkah Mas Galang, tapi Papi yang terhuyung - huyung disudut meja telepon membuatku panik. Sedikit histeris, tak jelas lagi siapa yang kupanggil. Papi atau Mas Galang. Yang jelas keduanya tak ada yang menyahut.


Ruangan yang selalu tak pernah nyaman aku didalamnya. Rumah Sakit. Setiap jengkal dari sudutnya mengingatkanku pada Ibu, yang berdarah kepalanya tertabrak mobil sedan mewah diperempatan lampu merah. Ibu meninggal diruangan serba putih ini. Aku takut Papi juga akan seperti Ibu. Tuhan, doa ku sangat banyak hari ini. Setidaknya dengarlah satu saja, kumohon.


Diam - diam tanpa pengetahuan Papi aku mencari Mas Galang ke rumah Mas Merdi. Banci simpang lima yang jadi sahabat Mas Galang dua tahun belakangan ini. Risih sebenarnya aku kesini, komplek ini semacam kosan yang khusus diperuntukkan bagi banci kelas pinggir jalan bertarif sepuluh ribu rupiah per pelanggan. Dimana - mana Banci. Aku sadar, pasti Papi akan marah jika tahu aku menyambangi Mas Galang diam - diam. Tapi, segala kemarahan Papi sudah aku fikir kan akibatnya, biarlah jadi urusan nanti saja. Mas Galang, Papi dirumah sakit. Jantung Papi kambuh lagi. Itulah yang kuucapkan saat aku menangis dipelukan Mas Galang yang tegang membeku.


Capek sekali rasanya harus terjepit diposisi tidak tepat seperti ini. Aku ingin suasana seperti dulu, saat rumah masih ramai dengan cerita bohong Mas Galang tentang kursus komputernya yang akan pindah lokasi kegedung baru. Cerita rekaan Mas Galang tentang lengannya yang terkilir karena terhimpit tubuh temannya yang lebih besar saat latihan Karate. Pun cerita karangannya tentang pacar Mas Galang yang mengajarinya membuat Puff Pastry rasa keju kesukaan Papi.


Sekali lagi, semua kegiatan bohong Mas Galang itu hanya untuk menyenangkan Papi. Kebanggan Papi itu sirna saat Mas Galang berhenti tepat didepan Taksi Papi yang kebetulan berhenti disimpang lima hanya untuk membeli sate ayam kesukaan Mas Galang.


Malam itu Papi menyeret - nyeret seorang banci yang kukenal sebagai Kakakku, Mas Galang. Ya Tuhan, Mas Galang banci… Serasa runtuh duniaku. Baru kali ini kulihat Papi begitu murka. Kaki Papi sampai bergetar menahan marah yang memuncak. Mas Galang menunduk diam saja, maskaranya luntur, dibukanya rambut palsunya, semakin terlihat bulu matanya yang lentik menipu dan blush on yang merona sempurna dipipi mulus tanpa jerawat itu, kontras sekali dengan pakaian baby doll berwarna Pink sepaha, yang dipadukan dengan stocking berbentuk jaring hitam.  High hells kirinya patah, posisi berdirinya sangat tidak nyaman.


“Sampai kapan kamu berhenti memikirkan anak tak tau diri itu, Melani..??” Aku kaget, ternyata Papi telah lama menunggu akan suapan nasi yang menggantung di tanganku. Buru - buru kutepiskan wajah sedihku. “Besok Papi sudah boleh pulang. Lagian Papi sudah bosan dua minggu diruangan bau obat ini,” Itu kata Papi, menutup pembicaraan hari ini.



Benar kata Papi, sekarang aku sudah membenahi semua barang miliknya. Papi pulang kerumah. Yang dituju Papi langsung kamar Mas Galang, mengobrak - abrik lemarinya. Astaga, sudah berapa lama Mas Galang jadi banci..??? Mengapa ada banyak sekali pakaian perempuan yang bahkan aku pun tidak punya pakaian secentil itu..


Hampir saja Papi membakar pakaian itu didalam kamar ini jika aku tidak berteriak menangis. Bagaimana pun, Mas Galang itu Kakakku, Kakak tercinta ku. Seperti orang kesetanan, Papi mengangkut sekaligus pakaian itu kehalaman belakang, menguburnya ditempat pembakaran sampah. Berbaur dengan habu bakaran sampah yang lama.


“Cih..!!! Aku tidak punya anak Banci..!! Banci seperti dia terlalu terhormat tinggal dirumah ini. Dia benar - benar bukan anakku. Mampus sekalian saja Banci itu dijalanan.” Tak kusangka Papi sebegitu marahnya. Mas Galang, kenapa semua harus jadi begini..??


Mas Galang, kenapa harus jadi Banci..?? Apa yang kurang..??
Read more...

Jumat, 23 April 2010

Penghinaan terhadap pekerja Indonesia, di Tanah Air sendiri.

Kamis, 23 April 2010.
Kawasan Industri Tanjung Uncang, Batam digegerkan oleh deru mobil polisi yang menuju pusat kericuhan.
Teriak kemarahan para pekerja galangan kapal ini memenuhi langit pagi di PT Wifgasindo Electrical, terlihat anggota Kepolisian Sektor Kota Batuaji kewalahan meredam amukan massa. Lalu, dildatangkanlah jajaran Kepolisian Kota Besar Baraleng dan Kepolisian Daerah Kepri untuk membantu meredam amukan massa yang telah gelap mata. Bahkan, kesatuan dari Yonif 134 TS juga diperbantukan mengamankan kerusahan itu.. Berbagai cara dilakukan agar kerusuhan tidak merambah makin kisruh, termasuk membentangkan kawat berduri disekitar galangan kapal agar asset perusahaan tidak terlanjur diobrak - abrik pekerja yang kehilangan kendali.

” You all Indonesia stupid..!!!”

Pagi itu, suasana galangan kapal masih tampak tenang seperti biasa. Karyawan PT Wifgasindo Electrical, salah satu sub kontraktor Drydocks World Graha, baru saja memulai aktivitas mereka. Semua karyawan dari golongan helper, welder, painter, hingga atasan sibuk dengan aktivitas masing - masing. Memasuki pukul setengah delapan, musibah itu terjadi. Menurut penuturan narasumber ( salah satu helper yang tidak ingin disebut namanya ), kejadian diawali dari kelalaian seorang karyawan dalam bekerja. Ganesh, Supervisor berkebangsaan India itu meneriaki seorang karyawannya dengan makian yang menjadi pemicu kemarahan. ” Hey, you all Indonesia stupid..!!! ” di ruangan electric PT Wifgasindo. Mendengar makian tersebut, tak menunggu lama Ganesh pun di serang oleh karyawan yang tersinggung beserta ribuan karyawan yang merasa rasa Nasionalisme nya dilecehkan. Tak pelak, Ganesh langsung dikeroyok.
Sebelum kejadian ini berlangsung, telah lama sebenarnya tersimpan rasa sakit hati ribuan karyawan terhadap atasan mereka yang notabene berkebangsaan India. Maka, bak api menyambar bensin. Bukan hanya Ganesh yang diserang, puluhan Karyawan asal India pun ikut menjadi sasaran empuk.

Siapa Ganesh sebenarnya..???


Ganesh, seorang Supervisor Quality Control itu memang dikenal sebagai orang yang bertemperamental tinggi, agak suka menghina dan merendahkan orang lain. Begitulah penuturan salah seorang suplier PT Karya Indo Semesta. Penuturan saksi ini seolah memperkuat dukungan terhadap tindakan yang diambil oleh puluhan massa yanh emosi.

Dampak dari kerusuhan

Kerusuhan yang mengait - ngaitkan rasis ini makin marak hingga yang menjadi korban bukan hanya Ganesh dan warga India yang se Departement dengannya. Menurut berita yang dilansir dari salah satu korang harian Posmetro Batam, ribuan pekerja Drydocks World merusak semua bangunan perusahaan, peralatan kantor, dan puluhan mobil yang ada di perusahaan galangan kapal itu. Tak hanya itu, ribuan pekerja ini juga menyisir dan memukuli setiap tenaga kerja asing asal India yang mereka temui.
Berbekal batu, plat baja dan semua jenis peralatan yang didapat di lokasi perusahaan, pekerja lokal mengamuk. Mereka melempari bangunan, memecahkan kaca. Bahkan, lebih anarkis lagi, mereka juga membakar enam mobil dan bangunan. Sedikitnya, ada 27 unit mobil yang terparkir di perusahaan itu dirusak pekerja yang sudah dirasuki kemarahan ini.
Bahkan kerusuhan belum juga mereda hingga siang hari. Walaupun lokasi perusahaan berhasil dikuasai polisi, ribuan pekerja lokal yang merasa sakit hati juga masih berani meneriakkan orasi yang menggambarkan kekesalan mereka. Bahkan dihadapan Kepala Poltabes Barelang, Komisaris Besar Leonidas Braksan. ” Bakar… Bakar… Bakar… !!! Gempur…Gempur…Gempur..!!! ” Membahana hingga langit.

Read more...

Selasa, 20 April 2010

Nyatanya, R. A. Kartini telah lama mati..!!!


Menyambut 21 April mendatang, saya pastikan bahwa akan ada banyak sekali Artikel atau tulisan lainnya yang berbau Kartini. Baik itu di Jejaring Sosial, beberapa postingan teman di blog bahkan di koran bekas bungkus terasi yang amis tak ketulungan, termasuk artikel ini salah satunya. Ya, April ini adalah bulannya Kartini, atau bulannya wanita - wanita yang diKartinikan atas beberapa alasan.

Tulisan ini bukannya bentuk rasa sakit hati saya terhadap wanita - wanita yang 'berparas' Kartini, bukan sama sekali..!!! Namun hanya kekecewaan saya terhadap makna Kartini saat ini. Coba kita ulas balik riwayat R. A. Kartini dengan kandidat Ibu Kartini zaman sekarang. Bacalah biografi R. A. Kartini dan biografi Ibu Kartini yang akan menerima kehormatan yang sangat tidak pantas jika di sandingkan dengan pendahulu mereka -R. A. Kartini sesungguhnya- lalu BANDINGKAN, kawan..!!!

Maka, akan kita temukan perbedaan yang sangat kontras sekali nantinya. Ibu Kartini (meski tidak semua kandidat seperti itu) hanya akan mengenakan kebaya dan sanggul kebesaran pada saat akan berlangsungnya penyerahan award yang mereka masuk sebagai nominasi. Berdandan di salon ternama atau mematut - matut wajah cantiknya berjam - jam didepan cermin kemudian tersenyum merekah membayangkan pemandu acara mengumandangkan nama mereka sebagai penerima 'gelar' bergengsi pada akhirnya. Mencocokkan semua koleksi high heels lalu berjalan mondar - mandir bak peragawati memamerkan busana karya Yves Saint Laurent yang legendaris sambil sesekali mencoba senyum mana yang paling cocok nantinya di acara agung itu. Lalu, setelah acara selesai..??? Lihat saja, tidak sampai hitungan minggu maka tabiat asli mereka akan segera bermunculan. Tak pelak lagi, R. A. Kartini pasti akan menangis dan meraung - raung sejadi - jadinya pada Tuhan agar diberikan kesempatan mencakar - cakar wajah topeng si Ibu Kartini yang penuh dempulan bedak.

Lalu, bagaimana dengan nasib perempaun 'titisan' R. A. Kartini..??? Umumnya mereka terlupakan dan tersudut dengan aktifitas yang membuatnya tak sempat menyentuh bedak, bahkan bedak Viva no.4 yang harga 2000 perak saja pun mereka belum pernah memakainya. Merekalah potret R. A. Kartini yang diberi segenap kesulitan dalam hidupnya, menjujung segala bentuk kepenatan hidup. Namun sedikitpun tak pernah merasakan lembutnya kebaya berbahan Satin, Organdi, maupun sutra yang biasa dikenakan Ibu Kartini yang bersenyum layaknya robot yang telah disetting sedemikian manisnya. Mereka yang selalu berparfum keringat, berlulurkan peluh dan membayar dengan air mata atas semua derita yang mau - tidak mau harus mereka beli dari seorang bandar nasib buruk yang selalu memperkosa kehidupan mereka. Merekalah yang harusnya melenggang di catwalk kehormatan, menggantikan Ibu Kartini jadi - jadian dengan senyum yang terpaksa disunggingkan karena terbukti bukan mereka pemenangnya dalam hajatan tahunan dimusim ini. 

Mereka, para 'titisan jiwa R. A. Kartini' yang selalu menyamarkan lelah diwajah agar terlihat cantik dimata suami tercinta. Menegar - negarkan derita dihadapan anaknya, seolah tidak ada kesan pahit dalam hidupnya barang sedetik pun. Merekalah yang harusnya mendapatkan anugerah dan gelar kehormatan yang telah lama dilupakan si pembawa acara maupun si empunya hajatan yang membuat acara abal - abal dengan membelakangi mereka karena jijik dengan uap keringat mahal para titisan R. A. Kartini tersebut.

Kalau saja kita bisa mendengar suara - suara manusia yang telah mati ratusan tahun lalu, maka suara jerit tangis R. A. Kartini lah yang paling menyayat hati pada bulan ini. Karena tidak sudinya beliau, bulan ini dicemari dengan acara penganugerahan tanpa mutu itu..!!!

Jadi, masihkan kita patut berbangga hati atas event salah kaprah yang kita gadang - gadangkan bertahun - tahun ini..???

Read more...

Minggu, 11 April 2010

Sejarah Batam masa lalu

 
    Mungkin sebagian dari kita hanya mengetahui Batam sebagai kota Industri. Tapi, tahukah kita bahwa Batam yang berpusat di Batam Centre ini hanya kota kecil yang terdiri dari 12 kecamatan..???
Nama Batam sendiri dahulunya adalah Pulau Batang - yang ditandai pada sebuah peta perlayaran VOC tahun 1675 yang masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Bahkan sumber lain menyebutkan nama Batam saat ini hanya ditemukan di Traktat London tahun 1824. Menurut sejarah, Batam pertama kali dihuni oleh orang Laut, sebutan lain untuk orang Laut ini adalah orang Selat. Diperkirakan merekalah suku asli Batam yang ber-ras Melayu. Orang Selat ini menghuni Batam pertama kali pada 231 M yang disebut Pulau Ujung pada zaman Singapura. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa Pulau yang pernah dijadikan sebagai medan peperangan oleh Laksamana Hang Nadim dalam menumpas Penjajah ini telah ditempati oleh Orang Selat pada abad ke 14, atau tepatnya diakhir tahun 1300an. Mereka menempati wilayah ini sejak Zaman kerajaan Tumasik - yang saat ini disebut - Singapura. 
   Pulau Batam saat itu dipimpin oleh Laksamana Hang Nadim, yang berpusat di Bentang - saat ini di sebut - Pulau Bintan. Lalu dipimpin oleh Sultan Johor hingga pertengahan abad ke 18 yang mana kerajaan Malaka saat itu dalam masa kejayaan. Hingga terbentuklah kerajaan Riau Lingga yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Muda Riau. Kemudian dari berbagai silsilah keluarga kerajaan Melayu ini disebut - sebutlah nama Raja Isa.
    
   Raja Isa sendiri adalah Putra dari Raja Ali dengan Permaisurinya yang bernama Raja Buruk binti Raja Abdulsamad. Raja Ali sendiri adalah cucu dari Yang Dipertuan Muda Riau V ibni Daeng Kamboja Yang Dipertuan Muda Riau III. Dari silsilah keluarga kerajaan tersebut, jelaslah bahwa Raja Isa masih keturunan Yang Dipertuan Muda Riau. Pada zamannya, Raja Isa adalah tokoh penting dalam keluarga kerajaan Riau.

   Menurut penuturan sejarah, Raja Isa lah yang kemudian membuka sebuah perkampungan baru di Batam yang kemudian diberi nama ' Nongsa'. Namun, apakah benar bahwa Raja Isa lah yang menbuka ' Nongsa'?? Entahlah, ada dua sumber yang menguatkan akan kebenaran jejak sejarah ini, yakni: Sumber Belanda dari tahun 1833 [Beknoopte Aantekening over het Eiland Bintang 1833] dan 1837 [Beknopte Aantekening van Het Eiland Bintang Nederlansch Etablissant en Eenige daar toe Behoorende Eilande 1837] yang masih tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

   Raja Isa lah yang kemudian memerintah Nongsa dengan gelar Sultan Abdulrahman Syah Lingga-Riau selama kurang lebih 20 tahun ( 1812 - 1832). Lalu, saat Raja Isa wafat pada tahun 1832, tampuk kerajaan kemudian dikendalikan oleh Yang Dipertuan Muda Riau ( Raja Muhammad Yusuf ) berpusat di Pulau Penyengat. Pada 1895, Yang Dipertuan Muda Riau V Raja Muhammad Yusuf menunjuk Tengku Umar bin Tengku Mahmud untuk 'mengelola' Batam yang berpusat di Pulau Buluh. 
   
   Hingga akhir kejayaan kerajaan Melayu pada abad 1911, Batam dipimpin oleh Raja Jaafar yang kemudian dihapuskanlah Kerajaan Riau - Lingga oleh pemerintah Hindia Belanda pada  tahun 1913 (Lagi - lagi Belanda... Huufff..!!!).

Perkembangan Batam setelah runtuhnya sistem Kerajaan Riau-Lingga
 
   Di era 1960an, Batam ditunjuk sebagai Basis Logistik minyak bumi yang bersumber di Sambu. Lalu, sepuluh tahun kemudian, Batam ditetapkan sebagai Lingkungan Kerja Daerah Industri dengan dukungan dari Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam yang dikenal sebagai Badan Otorita Batam, yang berlandaskan pada Kepres no. 41 tahun 1973. Dilanjut dengan disahkannya Peraturan Pemerintah pada tahun 1980an, dengan no.34 tahun 1983 yang menegaskan bahwa Kecamatan Batam ditingkatkan menjadi Kotamadya Batam yang Bertugas menjalankan Administrasi Pemerintahan dan Kemasyarakatan dan mendukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam.

   Pada akhir tahun 1990an, berdasarkan pada Undang - Undang no.53 tahun 1999, maka Kotamadya Batam disahkan menjadi Daerah Otonomi untuk menjalankan fungsi Pemerintahan dan Pembangunan dengan bekerjasama dengan Badan Otorita Batam. Lalu, setelah melalui proses panjang selama hampir 2 tahun, akhirnya dikeluarkanlah Undang - Undang no.25 tahun 2002 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
http://tanjungpinang.bpk.go.id/web/wp-content/uploads/2009/09/perda-no-9-sot-bappeda-2007.pdf Hingga kini, Batam telah disahkan menjadi bagian dari wilayah Kepulauan Riau yang berpusat di Tanjung Pinang.


 
Read more...