Pages

Rabu, 07 Maret 2012

The Road: Cermin Kehidupan Negeri Kita


Sumber gambar: Google
Kemarin malam, kebetulan ada film lumayan bagus yang ditayangkan di saluran televisi berbayar, Star Movie. Film ini mengisahkan tentang bagaiman seorang ayah dan anak lelakinya bertahan hidup dari segala kemungkinan dan ketidakmungkinan dalam hidup yang sudah bisa diprediksi sebelumnya.

Saya tidak sedang meresensi film, selain tidak hebat dalam urusan resensi-meresensi mungkin ada yang sudah beberapa kali menonton film ini, atau kalau ingin tahu bagaimana film ini berkisah, tinggal ketikkan  saja katakuncinya, Paman Google langsung punya jawaban..

The Road = Kehidupan kaum miskin di masa depan.

Sebenarnya, ini fim tergolong lama, sekitaran 2009-2010 kalau tak salah. Tapi tetap nyesak buat ditonton. sepanjang film diputar, otak standar saya tiba-tiba cemerlang dan kritis. Bukan! Bukan Kritis yang harus masuk UGD.

Dalam hati saya, "Gilak!.. Ini film perwakilan kaum miskin masa depan di Endonesa nih." 
Ternyata, yang menggerutu begitu bukan cuma hati saya, tapi keluar juga dari mulut. Sampai-sampai, mama dan adek yang kebetulan juga ikut nonton terganggu. "Berisik! Nonton aja!" Hahahaha. Mereka kompak banget kalo soal bentak orang. Mirip Polantas yang pamer sama seragamnya padahal jadi polisi baru satu bulan. Ups! 

Ada beberapa adegan yang bikin miris, dimana orang-orang yang bertahan hidup dari bencana-di film ini diceritakan Amerika habis terkena bencana nuklir-harus saling bunuh. Mereka yang jadi 'penyamun' menangkapi orang-orang yang lemah, dikurung di ruang bawah tanah buat dijadikan stok bahan makanan. Saling bantai. Kalau tak ingin dibunuh, harus membunuh.

Tak ada lagi yang namanya belas kasihan, karena tiap orang selalu was-was, selalu merasa diawasi, selalu dibayangi kecemasan. Pada akhirnya, semua orang memang akan mati, tapi setidaknya, mati dengan cara yang benar-benar diinginkan. 

Ada satu adegan dimana tokoh protagonis di film ini (ayah dan anak yang tidak disebutkan namanya) bertemu dengan seorang tua bernama Ely. Ely berusia 90 tahun, agak buta , pincang dan kelaparan. Awalnya, si ayah tidak ingin membantu Ely karena bahan makanan yang mereka dapat dari ruang bawah tanah peninggalan orang yang sudah mati belum tentu cukup untuk mereka berdua. Perjalanan menuju Selatan masih panjang, secara logika, siapa sih yang mau berkorban demi orang lain saat sudah tidak ada lagi yang mampu menolong selain diri sendiri? Tapi, sang anak berhasil meyakinkan ayahnya, bahwa apa yang mereka punya mampu menyelamatkan nyawa Ely setidaknya untuk hari ini

Mereka lebih memilih untuk menyelamatkan diri sendiri. Demikian saat mereka telah sampai di pantai yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Seorang gelandangan kulit hitam mencuri gerobak mereka yang berisi perlengkapan dan makanan saat si anak tengah lelap tertidur karena demam, sementara ayahnya sedang berenang ke kapal yang tenggelam di lepas pantai dan akhirnya hanya menemukan satu pistol api, tindakan si ayah cukup terbilang kejam.

Ia berhasil mengejar si gelandangan mengancamnya dengan pistol yang hanya tersisa satu peluru. Si gelandangan dipaksa melepaskan seluruh pakaiannya hingga telanjang dalam kondisi yang dingin dan kelaparan. 
Ada kalimat dari gelandangan yang membuat saya terenyuh, "Tolong jangan setega ini padaku, Tuan. Aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya kelaparan. Tolonglah, Tuan. Jangan setega ini padaku, Tuan." 
Anyyyiiiiinggg!!!! Di sini saya benar-benar mewek! Saya bukan tipe orang yang cengeng kalau menonton. Tapi, adegan itu total banget mirisnya. Kamfreet! Hahahaha

Tindakan si ayah benar-benar sesuai realita, sangat diterima akal meski memang kejam. Satu-satunya tindakan yang dilakukan demi bertahan hidup di keadaan pasca perang dan kelaparan. Untunglah ada tokoh anak yang menetralisir keadaan. Lagi-lagi, dia berhasil membujuk ayahnya untuk menolong orang lain. Mereka akhirnya mencari gelandangan tadi. Meski tidak bertemu, tapi pakaian dan sekaleng makanan tetap mereka tinggalkan dengan harapan si gelandangan tadi akan kembali ke tempat semula dan menemukannya.

Lalu, apakah saya lebay jika menyamakan The Road dengan masa depan Indonesia?

Coba kita masing-masing pikirkan, kehancuran dunia yang terjadi di film ini sangat luar biasa. Tidak hanya manusia dan peradaban yang hancur, tapi juga hewan dan tumbuhan. Dua tokoh protagonis dalam film ini hanya manusia biasa. Tidak mampu berkelahi, tidak punya rumah, tidak ada aliran listrik dan senjata. Satu-satunya senjata yang mereka miliki hanya satu pistol dengan dua peluru, dimana satu peluru telah dipakai untuk membunuh seorang kanibal yang ingin membunuh anaknya. 

Mereka harus menggelandang dari satu tempat ke tempat lainnya. Melewati kota yang hancur, jembatan yang putus dan mobil-mobil mewah yang tidak berfungsi dan teronggok begitu saja. Mereka setiap hari harus bersembunyi dari para kanibal yang menjadi musuh utama mereka. 

Di sinilah saya berpikir. Mungkin, potret negeri saya ke depan tak lebih baik dari seluruh adegan di film ini. Ayah dan anak merupakan perwakilan dari rakyat miskin yang harus selalu menghindar dari serangan para kanibal berpakaian rapi.
Alam yang mulai hancur, rumah-rumah yang tidak besar yang tidak ada gunanya ditinggali, sumber makanan yang mulai habis. Semuanya! Semuanya! Ketamakan dan kerakusan dari orang yang kuat hanya berlaku bagi yang mampu bertahan. 

Dan mereka yang papah akan mati perlahan-lahan. Pada akhirnya, semua orang memang akan mati, tapi setidaknya, mati dengan cara yang benar-benar diinginkan.

Hahahahahaha. Mungkin, ada beberapa yang baca tulisan ini terus nyeluk, "Basi lu! Paling lu juga hedonis yang sok-sok peduli kemanusiaan yang bisanya cuma ngomong!" Terserah, sob.

Yang jelas, tiap orang punya cara masing-masing ngejalanin apa yang diyakini, kan?
Mengutip kalimat dari film The Road ini, "Saat tidak punya apa-apa lagi, Aku membayangkan impian yang diimpiukan bocah kecil."
Gak tepat banget kayak di film, tapi intinya sih gitu. :)

7 komentar:

  1. saya belum pernah nonton tuh film nya, soalnya GENRE nya saya ga suka..

    BalasHapus
  2. care sih care, tapi ga tau cara menyelamatkan indo yg bs berhasil. do the best aja, jgn ikut2an ga bener ;) ya ga cint?

    BalasHapus
  3. Udah sering denger cerita ini, tapi penasaran belom pernah nonton filmnnya, pengeeeen. Ada yang punya dvdnya nggak? Mau dooong B))

    BalasHapus
  4. kunjungan gan.,.
    bagi" motivasi.,.
    Semua yang terjadi pasti sudah di atur oleh Tuhan.,.
    di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,

    BalasHapus
  5. Terus kalo ini bukan riview film terus apa??
    saya jadi penngen nonton loh film ini.. cari link dowload dulu ah hahah

    BalasHapus