Pages

Sabtu, 01 Mei 2010

Banci itu Kakakku

Plaakk..!!! “Pergi kamu dari sini,,!!!” Muka Mas Galang memerah, bekas tamparan tangan Papi pasti tidak begitu sakit jika dibandingkan dengan hati Mas Galang yang remuk karena baru sekali ini Papi bersikap kasar pada Mas Galang.


“Pergi..!!! Kamu sekarang sudah menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Anak tak tau diri,,!!! Pergi..!!!” Aku menagis sambil mengejar langkah Mas Galang, tapi Papi yang terhuyung - huyung disudut meja telepon membuatku panik. Sedikit histeris, tak jelas lagi siapa yang kupanggil. Papi atau Mas Galang. Yang jelas keduanya tak ada yang menyahut.


Ruangan yang selalu tak pernah nyaman aku didalamnya. Rumah Sakit. Setiap jengkal dari sudutnya mengingatkanku pada Ibu, yang berdarah kepalanya tertabrak mobil sedan mewah diperempatan lampu merah. Ibu meninggal diruangan serba putih ini. Aku takut Papi juga akan seperti Ibu. Tuhan, doa ku sangat banyak hari ini. Setidaknya dengarlah satu saja, kumohon.


Diam - diam tanpa pengetahuan Papi aku mencari Mas Galang ke rumah Mas Merdi. Banci simpang lima yang jadi sahabat Mas Galang dua tahun belakangan ini. Risih sebenarnya aku kesini, komplek ini semacam kosan yang khusus diperuntukkan bagi banci kelas pinggir jalan bertarif sepuluh ribu rupiah per pelanggan. Dimana - mana Banci. Aku sadar, pasti Papi akan marah jika tahu aku menyambangi Mas Galang diam - diam. Tapi, segala kemarahan Papi sudah aku fikir kan akibatnya, biarlah jadi urusan nanti saja. Mas Galang, Papi dirumah sakit. Jantung Papi kambuh lagi. Itulah yang kuucapkan saat aku menangis dipelukan Mas Galang yang tegang membeku.


Capek sekali rasanya harus terjepit diposisi tidak tepat seperti ini. Aku ingin suasana seperti dulu, saat rumah masih ramai dengan cerita bohong Mas Galang tentang kursus komputernya yang akan pindah lokasi kegedung baru. Cerita rekaan Mas Galang tentang lengannya yang terkilir karena terhimpit tubuh temannya yang lebih besar saat latihan Karate. Pun cerita karangannya tentang pacar Mas Galang yang mengajarinya membuat Puff Pastry rasa keju kesukaan Papi.


Sekali lagi, semua kegiatan bohong Mas Galang itu hanya untuk menyenangkan Papi. Kebanggan Papi itu sirna saat Mas Galang berhenti tepat didepan Taksi Papi yang kebetulan berhenti disimpang lima hanya untuk membeli sate ayam kesukaan Mas Galang.


Malam itu Papi menyeret - nyeret seorang banci yang kukenal sebagai Kakakku, Mas Galang. Ya Tuhan, Mas Galang banci… Serasa runtuh duniaku. Baru kali ini kulihat Papi begitu murka. Kaki Papi sampai bergetar menahan marah yang memuncak. Mas Galang menunduk diam saja, maskaranya luntur, dibukanya rambut palsunya, semakin terlihat bulu matanya yang lentik menipu dan blush on yang merona sempurna dipipi mulus tanpa jerawat itu, kontras sekali dengan pakaian baby doll berwarna Pink sepaha, yang dipadukan dengan stocking berbentuk jaring hitam.  High hells kirinya patah, posisi berdirinya sangat tidak nyaman.


“Sampai kapan kamu berhenti memikirkan anak tak tau diri itu, Melani..??” Aku kaget, ternyata Papi telah lama menunggu akan suapan nasi yang menggantung di tanganku. Buru - buru kutepiskan wajah sedihku. “Besok Papi sudah boleh pulang. Lagian Papi sudah bosan dua minggu diruangan bau obat ini,” Itu kata Papi, menutup pembicaraan hari ini.



Benar kata Papi, sekarang aku sudah membenahi semua barang miliknya. Papi pulang kerumah. Yang dituju Papi langsung kamar Mas Galang, mengobrak - abrik lemarinya. Astaga, sudah berapa lama Mas Galang jadi banci..??? Mengapa ada banyak sekali pakaian perempuan yang bahkan aku pun tidak punya pakaian secentil itu..


Hampir saja Papi membakar pakaian itu didalam kamar ini jika aku tidak berteriak menangis. Bagaimana pun, Mas Galang itu Kakakku, Kakak tercinta ku. Seperti orang kesetanan, Papi mengangkut sekaligus pakaian itu kehalaman belakang, menguburnya ditempat pembakaran sampah. Berbaur dengan habu bakaran sampah yang lama.


“Cih..!!! Aku tidak punya anak Banci..!! Banci seperti dia terlalu terhormat tinggal dirumah ini. Dia benar - benar bukan anakku. Mampus sekalian saja Banci itu dijalanan.” Tak kusangka Papi sebegitu marahnya. Mas Galang, kenapa semua harus jadi begini..??


Mas Galang, kenapa harus jadi Banci..?? Apa yang kurang..??

0 komentar:

Posting Komentar