Ibarat anak, saya adalah anak durhaka yang jarang bgtnya ngurusin ortunya. Ibarat sholat, intensitas saya udah kayak sholat Idul Fitri yang cuman sekali setaun ngunjungin ini kamar maya. Ibarat Rumah, ini blog udah kayak rumah-rumah di pelem horor Oma Suzanna saking jarang dibersihinnya.
Pada Agustus 2001, gema Sastra bergaung di penjuru Batam. Joni Ariadinata hadir sebagai pembicara dalam Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Penulis Lampor yang jangkung dan botak itu tidak hanya mampir di Batam, bersama 60 orang sastrawan lainnya mereka mampir ke 10 provinsi dan menyambangi 39 kota di Indonesia.
Sayang, acara
tersebut hanya diperuntukkan bagi sekolah SMA/Madrasah Aliyah, sedangkan saya
dan anak SMP lain cuma bisa mendengar cerita. Tapi, secara umum sambutan
terhadap acara tersebut sangat responsif dengan nada yang positif.
Belakangan saya
tahu, SBSB lahir atas keprihatinan sastrawan-sastrawan terhadap merosotnya
budaya membaca, mengarang, dan apresiasi terhadap karya sastra di Indonesia.
Sebenarnya kalau
mau bercermin, kemandekan terhadap minat sastra tidak hanya terjadi di sekolah
tingkat atas saja. Lihat di kampus-kampus yang punya Fakultas Sastra di
kebanyakan negeri kita, jarang sekali ada kegiatan rutin mendatangkan sastrawan dan berdiskusi
dengan mahasiswa. Padahal karya-karya mereka ber puluh tahun dijadikan riset,
ditelaah, dianalisa, dikritik dan ditulis ulang dalam berbagai bahasa tanpa ada interaksi kesinambungan dengan
penulisnya. Aneh luar biasa.
Tak bisa
dipungkiri, banyak dari kita kurang ‘menikmati’ sastra. Kesan sastra yang njlimet dan susah dimengerti menjadi
momok membosankan. Ditambah lagi kebiasaan yang menempatkan rak sastra di
lorong ujung perpustakaan dengan pencahayaan yang remang dan apek debu
menyesakkan hidung. Huff.. Makin malas aja bawaannya.
Taufik Ismail
mengatakan: “Budaya membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di
masyarakat kita sudah sampai pada taraf parah luar biasa, baik secara
kualitatif maupun kuantitaf” [1]
Saya pernah
menonton salah satu acara talkshow TV swasta yang tersohor yang menghadirkan
Taufik Ismail sebagai narasumber, terang-terangan Pak Taufik mengatakan kalau
bangsa kita akan ambruk jika generasi muda tidak ada yang perduli dengan sastra
negeri sendiri. Baik sebagai
pembaca maupun sebagai penulis.
Hampir benar! Coba kita
lihat, sudah tidak ada lagi pelajaran mengarang di kurikulum sekolah. Karya
anomin pengarang Bugis yang ternama, I La
Galigo yang lahir sekitar abad 16-17 dengan 1.000 halaman sastra indah
tentang ihwal nenek moyang suku Bugis, justru rapi terdokumentasi bukan di
negeri sendiri. Program SBSB yang notabene adalah program pendidikan dengan
biaya tak sedikit justru didukung penuh oleh Ford Foundation, sebuah yayasan
nirlaba Amerika. Yang terakhir belakangan ini, Pusat Dokumentasi Sastra HB
Jassin bernasib mirip busa di lautan, terombang-ambing menunggu hancur.
Padahal, bisa
dikatakan negeri kita salah satu penyumbang sastra hebat di dunia. Sebut saja
‘Gurindam 12’. Adalah sastra kuno berisi langgam nasehat tentang kearifan
menjalani hidup yang dirangkum oleh pujangga hebat Melayu.
Padahal, jauh
sebelum Gurindam 12 populer, pada akhir abad ke 16 seorang Hamzah Fansuri
mempelopori sastra syair Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Dari tangan
Hamzah Fansuri lahir beberapa syair indah, sebut saja: ‘Syair Perahu’, ‘Syair
dagang’, ‘Syair burung Pingai’, dan beberapa karya lainnya.
Di kemudian hari,
berkat isi dan keindahan bahasa puisi Hamzah Fansuri ini, beliau diberi gelar
Bapak Bahasa dan Sastra Melayu sebagai penghargaan atas jerih payah dan mutu
karyanya (Abdul Hadi W.M.: 1983).[2]
Lalu pada 1901,
Sastra Indonesia diramaikan oleh lahirnya Sastra Drama yang ditulis oleh F.
Wiggers, seorang peranakan Belanda dengan drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno yang
kemudian disusul beberapa naskah drama pendek Melayu (lagi-lagi Melayu punya
gaya).
Pada 1913, Rustam
Effendi yang kita kenal sebagai Bapak Poejangga Baroe menulis Bebasari, sebuah drama dalam bentuk syair
yang kemudian disusul dengan munculnya beberapa pujangga sastra drama lainnya
seperti: Muhammad Yamin dan Sanusi Pane.
Meski sastra drama
tak seramai novel, sajak maupun cerpen, sastra drama tetap ditulis dan
dikembangka oleh teater-teater asuhan sastrawan abad 20 seperti: Rendra, Nano Riantiarno,
Arifin C. Noor, Putu Wijaya hingga komunitas-komunitas teater kampus masa kini.
Baru pada 1929,
lewat cerita pendek ‘Bertengkar Berbisik’ Muhammad Kasim memulai era cerpen
Indonesia dengan menulis cerpen-cerpen jenaka. Sebelum menjamur seperti sekarang,
cerita pendek pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad Kasim lewat kumcer
karyanya yang berjudul Teman Duduk.
Dan menurut Korrie Layun Rampan, Muhammad Kasim adalah Bapak Cerita Pendek
Indonesia.[3]
Kini, di masa
modern banyak lahir sastrawan-sastrawan hebat yang mempublikasikan karya mereka
lewat dunia maya. Entah siapa yang memulai, tapi mirip jamur di musim hujan
yang tumbuh di kayu busuk. Ramai. Berkat bantuan blog, sosial media, dan media
penayangan virtual lainnya kita bebas membaca dan menulis selung waktu yang
kita punya.
Sebagai penikmat
sastra fiksi, saya merasa ruang maya semacam jendela ajaib yang menyegarkan
sekaligus gratis untuk membaca kesegaran baru dalam berbagai genre sastra
negeri ini sepuas yang saya mau.
Lewat blog pribadi
maupun blog yang di kelola pihak tertentu, kini kita bebas membaca karya Seno
Gumirah, Ayu Utami, Gunawan Muhammad, Dewi Lestari, Helvi Tiana Rosa, hingga
Butet Kertarejasa, dan Hasan Aspahani. Tinggal buka buka blog mereka. Selesai.
(okey, saya sengaja memasukkan nama terakhir karena beliau orang Batam. Ha ha
ha) #Norak #PengenPamer
Menurut saya, makin
banyak sastra diterbitkan-tanpa
mengesampingkan kualitas dan kuantitas karya yang ditulis-dengan
memanfaatkan media publikasi dengan tujuan beragam pula, tentu makin baik.
Karena pembaca jugalah yang diuntungkan.
Ilmu berserakan di
mana-mana, tinggal bagaimana mengambilnya, memilah-milah kemudian, menyerap
yang baik, dan mengimplementasikan dalam tindak nyata. Itu saja, tak
payah-payah sekali, bukan?
Mengutip perkataan
dahsyat Taufik Ismail, “ Petiklah sebanyak-banyaknya bunga dan buah untuk
dibawa pulang, cangkoklah mana yang patut dicangkok lalu tanam di pekarangan
rumah sendiri, mudah-mudahan tumbuh, berbuah ranum dan lezat citarasanya.”
catatan sikil:
[1]
Pengamatan Taufik Ismail dalam Benarkah
Bangsa Kita Telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis? (1997)
[2]
Dikutip dari Buku Horison Sastra Indonesia, kitab 4 hal xx bagian 5 paragraf ke
- 3
[3]
Dikutip dari Buku Horison Sastra Indonesia Kitab 4 hal xx bagian 5 paragraf ke
- 4
cie cie... hidup sastrawan!
BalasHapusHidup sastrawati! :p
BalasHapus"...menempatkan rak sastra di lorong ujung perpustakaan dengan pencahayaan yang remang dan apek debu menyesakkan hidung."
BalasHapusulasan yg luar biasa dari s'org anak "SMP"...
semoga "jendela ajaib yang menyegarkan sekaligus gratis" ini bsa berbuat sesuatu thdp prkmbangan sastra tanah air...
Hebat... AKAN KU PANGGIL KAU Nova.
Makasih udah mampir kaka Ojaaan. Mari dilihat-lihat dulu blog saya :)
BalasHapusTapi saya udah bukan bocah SMP loh. Udah jadi cewek cakep penghuni kantin kampus sekarang. Hehehehe #MulaiGenit
satrawati baru nih....
BalasHapus