Pages

Sabtu, 02 November 2013

Satu Cerita Tentang Senja

Foto main ambil dari Google
Saya mengenalnya pertama kali di pertengahan musim semi yang suram. Ketika saya terlalu sibuk membenahi hati yang berkeping-keping hingga tak sempat memperhatikan hadirnya, belakangan saya sadar kalau saya telah berbagi kehidupan dengannya. Saya bahkan tidak ingat kalimat apa yang ia diucapkan saat memperkenalkan diri. Yang jelas, saya terpukau pesonanya.

Ia datang menutup hari saya, kemudian minggu, lalu bulan berlari begitu cepat. Kekasih saya tidak pernah lagi berkirim kabar. Saya pun tidak mencoba mencarinya. Seperti kekasih yang sudah-sudah, mereka akan pergi saat merasa perhatian menjelma belenggu dan rindu telah mulai basi. Lalu akan kembali saat merasa dingin malam terlalu menyayat dan tidak ada dekap paling hangat selain peluk yang dengan berjuta alasan mereka tinggalkan.

Ia, teman saya itu, orang-orang menamainya senja. Senja yang saya kenal tentulah bukan senja yang sama seperti kebanyakan senja-senja yang lain. Saya menjalin hubungan diam-diam dengannya di kemudian hari. Kami bertemu saban petang, saya akan menyibak tirai lebar-lebar agar senja leluasa masuk dan keluar bersama angin. Saya menyanyikan tembang asmaradhana yang mendayu di ambang jendela dan ia masuk berjinjit kaki agar lantai papan kamar saya tidak berderit.

Senja telah menjadi milik saya dan ia bukanlah senja yang sama dengan senja yang sering dijumpai orang-orang di sembarang tempat. Senja milik saya adalah senja yang manis. Senja yang manja dan sedikit kekanakan saat sedang merajuk. Senja akan datang dengan jingga keperakan saat hatinya tengah senang. Saya akan menghabiskan waktu berdua dengannya di dalam kamar, di atas dipan, kadang juga dibalik pintu. Saat petang makin kelam, senja akan beranjak ke sisi jendela. Senja tidak pernah tampak dari jalanan di bawah kamar saya.

Pernah sekali waktu saya tertidur dan terlambat menyibak tirai. Senja muntab bukan kepalang. Tubuhnya tidak lagi keperakan, ia memerah. Semerah-merahnya merah. Senja tidak suka menunggu untuk saya yang terlelap. Ia menerobos, menerjang celah-celah gorden lalu berdiri di samping saya yang tertidur dihunjam bantal dan selimut. Ia memandangi saya dalam diam. Pergi pun ia tidak pamit. Esoknya, kembali saya melantunkan asmaradhana di tepi jendela. Bak penyihir memanggil arwah dengan jampi dan rampai, senja datang, wajahnya berseri-seri.

Saya tidak pernah memperkenalkan senja pada siapapun. Mereka akan berpikir kalau saya mulai gila lalu menjauhi saya. Itu juga demi kebaikan senja, saya tidak mau orang mencemooh senja dengan gunjingan yang buruk. Saya mulai menyayangi senja. Memahaminya. Mungkin juga saya ketakutan menerima kalau saya mulai jatuh cinta padanya. Saya ingin senja tidak terluka.

Hampir seratus tujuh puluh hari saya habiskan berdua dengan senja. Terkadang saat sedang bosan di kamar, kami mengunjungi pantai. Saya bungkus tubuh senja pada handuk tebal, saya masukkan ke dalam tas yang saya sandang seolah tidak ada senja di dalamnya. Sesampai di pantai saya keluarkan senja begitu hati-hati di satu tempat paling sepi. Saya tidak ingin orang menggunjing hubungan saya dan senja.

Angin laut menampar-nampar wajah saya. Saya mengelak tapi tidak mempan. Rambut saya acak-acakan, semakin berusaha saya rapikan, usaha saya makin sia-sia. Saya menggerutu dan senja tergelak. Berkali-kali saya merengek pada senja agar tidak bertemu di pantai. Saya tidak ingin terlihat berantakan di depan senja. Ia bilang tidak masalah, ia lebih menyukai saya yang tampak konyol. Bibir saya mengerucut lalu senja akan memeluk saya dari belakang. Punggung saya beradu dengan badannya yang hangat. Kuduk saya meremang.

Terkadang senja datang terlambat. Ia harus mampir dulu ke satu tempat lalu tergesa menemui saya. Saya bilang kalau memang tidak sempat, tidak perlu datang. Waktu kita tidak banyak dan ada saat saya harus berdiam lama di tempat lain dan tidak bertemu kamu. Tidak ada alasan buat saya melewatkan hari meski nafas tersengal, katanya disela amarah yang mati-matian ia redam.

Saya masih punya kekasih, ia akan bisa datang kapan saja. tidak masalah kata senja. Kamu tidak cemburu? Tidak! Kita hanya berteman. Kita lebih dari teman, teman tidak akan rutin mengunjungi temannya hanya untuk bercakap-cakap dan berpelukan. Kadang saya juga mencuim kamu. Kapan? Sering. Saya tidak tahu, kapan? Kamu bukan tidak tahu, kamu pura-pura tidak tahu. Kami tergelak berderai-derai.

Sewaktu dunia menjelma jadi pendakwa yang menakutkan, mimpi buruk saya terbawa ke alam nyata. Kekasih yang pernah meninggalkan saya kembali dengan tubuh kuyu tergerus waktu. Badannya kurus dibalut lapisan kain warna-warni kumuh juga dekil. Baunya apak, seperti tumpukan baju lembab di ujung ruangan yang beradu dengan kecut keringat. Kekasih saya itu datang saat saya tengah berkasih-kasihan dengan senja. Saya dan senja membatu. Kekasih saya yang datang dengan sempoyongan, menempelkan aroma petualangnya pada pundak, dada dan paha saya. Bukan main jijiknya saya. Nafasnya tidak lagi berbau tembakau. Mulut dan lidahnya penuh serapah. Menyumpahi senja yang kian memerah. Saya menggenggam tangan senja, sementara tubuh saya ada dalam dekap lelaki beraroma sangit. Beberapa saat hingga akhirnya senja melunak dan pergi. Di dalam pelukan kekasih saya, saya mematung. Saya tidak menangis. Tapi dada penuh sesak. Mata saya perih.

Awal musim dingin saat gerimis jatuh satu-satu, saya kehilangan senja. Saya tidak berusaha mencarinya, bukan karena senja juga akan kembali jika sudah butuh pelukan. Tidak! Saya tidak pernah memeluk senja. Senja yang memeluk saya. Saya dan senja juga tidak sepasang kekasih yang sah, jadi ia tidak akan kembali dengan keadaan menyedihkan seperti kekasih saya yang sudah-sudah. Senja akan datang dengan angkuh yang anggun. Menghalau kabut dengan tubuh jingga keperakannya, kalau perlu ia harus datang dengan tubuh tingginya yang merah, semerah-merahnya merah, agar kekasih saya terperanjat.

Lama saya menekuri kenangan sembari menunggu senja tiba. Saya melihat senja datang ke arah saya dari kejauhan. Begitu bertemu, saya dekap ia dengan sepenuh tangan saya, sebisa saya dapat menggapainya.  Saya hampir tidak mengenalinya, senja tidak lagi garang di November. Senja tidak merah, tubuhnya pucat. Saya terkesiap. Saya selalu datang menemui kamu, tapi kamu tidak tahu. Kamu terlalu sibuk dengan kekasih yang baru kembali, todongnya. Suara senja perlahan parau menahan isak

Senja tertawa dalam sedan yang tertahan. Ia lalu memaki, terbahak-bahak di sela gemuruh yang memekakkan, ia memanggil setan-setan agar keluar dari persembunyian petang yang redup, memancarkan panas yang tak lagi hangat. Dekapan lembutnya berubah listrik. Saya gemetar ketakutan. Ia bukan lagi senja yang saya kenal, ia telah telah menunjukkan bentuk aslinya, ia adalah monster. Saya melarikan diri tapi langit limbung di kepala saya.

Segaris awan kelabu membentang di cakrawala. Kata orang senja tidak pernah melintasi kampung ini. Telah lama perahu menjadi bangkai, lautan tidak lagi berombak karena beku, cemara angin tampak kaku dan terlihat seperti pohon hantu berjari-jari panjang di tengah malam. Tidak terlihat lagi ujung lading penuh darah ikan karena ikan tak lagi dijaring ke tengah lautan. Pelantar berubah menjadi hiasan percuma di sepanjang kampung. Mereka memecah laut yang membeku lalu mengeluarkan ikan seperti mengeluarkan korban kapal pecah di Antartika yang dingin menyumsum. Senja tidak pernah melintasi kampung ini.

Di satu restauran di perkampungan nelayan saya membuat janji akan bertemu senja kembali. Saya memilih duduk tepat di depan pintu, ketika senja datang ia bisa langsung mendekap saya dengan rindu yang berdebar. Lalu akan saya masukkan ia ke dalam tas, membawanya berjalan-jalan seperti dulu. Telah saya putuskan sesuatu.

Dengan sedih yang berdarah-darah, saya bawa ia-yang saya bekap di dalam tas-ke tengah pasar. Pada cukong terkaya, saya menjualnya. Senja dipotong-potong menjadi serpihan kecil lalu dilemparkan menghadap langit. Penduduk bersorak. Di mata saya mereka semua sama. Kulit keriput dan putih tak lazim. Musim dingin di bulan November mereka bermandikan serpihan tubuh senja yang jingga kemerahan. Mereka meraup senja begitu rakus, memasukkannya ke dalam kresek, memunguti potongan-potongan kecil tubuhnya, ada yang menyimpannya dalam kaleng biskuit, ada bocah kurus kegirangan karena tubuhnya yang pasi diguyur ibunya bermandikan senja.

Saya tinggalkan senja di sini. Di kaki saya, satu mozaik tubuh senja terbawa dalam langkah saya menuju pulang.

2 komentar:

  1. ya ampun,disini aku menemukan senja yang lain... *ngebayangin ikan mas asam manis :P

    BalasHapus
  2. wahhhhhh wajar saja senja tak sempat menjengukku seratus hari ini jadi dia bersamamu, tak begitu paham tapi lumayan menghujam, tentang pemaknaan? akan ku tanya senja bila ia utuh kembali, oh nasibmu senja yang telah berkeping =,=

    BalasHapus