Pages

Selasa, 17 Mei 2011

Akhir Penghabisan

Sumber gambar : michaeldennisadam.blogspot.com
Dia melangkah pelan menyusuri lantai papan rumahnya yang licin dan dingin. Kamarnya ada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar tidur kakaknya. Tepat di depan kamar tadi ada pintu yang kalau dibuka akan langsung menuju balkon tempat mesin cuci dan gantungan baju lembab, kolor basah, dan kutang setengah kering tersampir seperti rumbai-rumbai pesta ulang tahun.

Dulu, dia dan kakaknya sering bersembunyi di balik mesin cuci itu sekedar mencuri-curi menghisap rokok. Berlagak seperti Steven Spilberg di film laga. Menghisap cerutu penuh gaya, menahan asapnya dalam mulut lalu menghembuskan ke udara dalam bentuk bulatan-bulatan unik. Dan sepertinya, punggung mesin cuci bukanlah tempat yang nyaman untuk bersandar saat merokok.

Dia masih ingat, hari itu Minggu sore. Ayah dan Ibu sedang tak di rumah, kesempatan baik untuk merasuki pikiran kakaknya agar mengajarinya merokok. Pelan-pelan mereka naik ke balkon. Dia keluarkan dua batang rokok yang dicuri kemarin siang dari saku ayahnya yang tergantung di balik pintu kamar. Kakaknya yang pamer tentang cara membentuk asap rokok menjadi lingkaran bergulung-gulung benar-benar membuatnya iri.  Tapi, entah sudah hembusan keberapa tetap juga asap itu tak bisa dibuatnya bergulung-gulung. Rokok di tangannya tinggal seruas jari saja sekarang. Sedang kakaknya menatapnya iba.

Dia benci tatapan iba, dia pantang dikasihani, dia tak suka dianggap tak mampu. Semua bentuk air muka seperti itu seolah elusan halus di pundak saat kau mengalami kekalahan di permainan kasti yang sudah susah payah kau usahakan agar menang tapi tetap saja kalah, sedang badanmu sudah remuk redam terkena hantaman bola yang dilemparkan sekuat tenaga saat kau berlari ke pos amanmu. Saat itu kau pasti lebih suka mendengar makian dari pada pelukan dan tepukan di pundak untuk sekedar penyemangat, bukan?

Dia menatap kakaknya sadis. Semacam protes dan bentakan lewat telepati, “Apa lihat-lihat?! Aku pun pasti bisa!!”

Dia memang keras kepala. Rokok hampir menyentuh bagian busa putih tetap juga disedotnya dalam. Bibirnya sudah perih, lidahnya pahit, keringkongannya kering, tak terhitung berapa kali dia sudah terbatuk.
“Asu!”

Diputarnya puntung rokok ke semen penuh geram, mati. Dipungutnya. Dipandangnya beberapa lama. Ditendangnya sekuat tenaga namun meleset. Puntung rokok tetap di tempat tak bergeming, dia merasa diperolok. Emosinya memuncak. Diinjaknya berkali-kali hingga puntung rokok terburai mengenaskan. Tak cukup itu saja, tumit kakinya menindih kuat sisa puntung, lalu dengan gerakan memutar ditekannya berkali-kali puntung itu hingga lebur. Tamat kisah. Kakaknya bersandar kepala di dinding dengan mata terpejam, malas melihat adegan sadis tadi.

Di lain waktu, dia dan kakaknya menggelar tikar ayaman pandan kesayangannya ibunya di balkon atas. Menimpa tikar dengan tilam busuk yang mereka geret dari gudang. Menata tilam agak sedikit serong ke Barat, melarikan sebotol jus jeruk, menyelundupkan dua gelas tamu berbentuk cekung, mengisi setengah termos batu es, meracik roti dengan telur dadar dan mayonaise agar mirip Sandwich, dan menunggu hingga matahari sedikit terbenam.

“Kita seperti bule” Kakaknya ikut terbahak dan terbatuk karena serpihan debu tilam lapuk. Dia menuangkan lagi jus ke gelas kakaknya meski masih terisi banyak dan menjejalkan Sandwich ke mulutnya. Lelehan mayonaise mengotori sudut bibirnya dan dia tercekik batu es karena minum sambil berbaring. Hari hampir malam tapi mereka tak juga beranjak masuk. Di dalam rumah tak bisa melihat bintang, dia sesak menghirup udara gerah pendingin ruangan, kasur empuknya tak senyaman tilam tipis. Dia betah disini, menemani kakaknya yang tidur pulas dengan nafas teratur.

Pernah satu kali, dia membangunkan kakaknya tepat tengah malam. Dengan mata kuyu yang sembab, dia jejali kakaknya ocehan tentang pantai pasir putih di bawah tebing curam dekat sekolah perawat yang lama terlantar dan setengah rubuh. Dia tak sengaja menemukan pantai indah itu beberapa jam lalu saat tersesat ketika bersepeda.

Malam itu juga mereka nekat ke pantai. Berpegangan pada tepian batu dan sulur-sulur tanaman rambat yang menjalar mengelilingi tebing. Tepat di bibir pantai, patahan ranting-ranting kering pinus yang meranggas, berserakan begitu saja. Cahaya remang malam menjadikan pohon kelapa menjelma seperti makhluk asing raksasa dengan tangan yang menggapai-gapai, mengerikan.

Sepenuh malam, dia dan kakaknya tidur bersandar bahu dengan senter listrik yang tetap menyala. Merapatkan jaket hingga ke leher untuk menahan dingin, membiarkan air laut menjilati separuh betis mereka, mendengar musik deburan ombak yang menghantam karang, menekan perut agar lapar tak terlalu terasa hingga pelupuk mata memohon untuk dipejam. Suasana hening. Bisu. Kelam. Dengkur dan gemuruh ombak saling bersahutan hingga pagi.

Dia masih berdiri di balkon ketika tangan lembut menyentuh pundaknya. Tangan itu gemetar, terasa sekali.
“Mobil pengantar jenazah sudah di depan. Mau ikut?”
Dengan mantap dia mengangguk. Dia terlanjur terikat janji yang tak terlanggar.

 “Temani aku ke pemakaman nanti, ya.” Kakaknya menggenggam lemah tangannya, seperti memohon. Dia merasa akan tumbang. Lututnya goyah.

Kakaknya pasti tak ingin pergi sendiri ke tempat pemakaman. Dia kenal kakaknya. Dalam hati dia marah dan protes namun sama sekali tak keberatan. Mengapa dia harus menyanggupi permintaan seseorang yang selalu menemaninya belasan tahun tapi tak setia kawan dan lebih memilih meninggalkannya sendiri, tunduk pada bujuk lelaki ceking yang masih tersenyum saat selang-selang yang membebat tubuhnya harus dicopot semua. Harusnya dia menolak.

Dia sesenggukan waktu itu. Namun, air matanya menguap bagitu mendengar cerita kakaknya tentang gua-gua dimana mereka pernah menyaksikan burung betina mengajari anaknya pertama kali mengepak sayap, bercerita tentang rumah pohon mereka yang setengah jadi dan akan basah jika hujan karena dinding sebelah kiri sengaja tak dibuat agar mereka bisa melihat pohon randu saat berbunga, tentang berat tubuhnya kala dia digendong kakaknya di punggung sambil berlari karena kalah bertaruh kelereng, tentang hayalan konyol mereka yang ingin menjadi bajak laut hingga merusak kain batik ibunya yang dililit pada batang sapu membentuk layar kapal hingga tertidur karena kelelahan.  Dia menyerapah dalam tawa yang sedih.

Bertahun dia mengalaskan hidupnya dengan doa-doa agar maut tak seinci pun sanggup menyentuh kakaknya. Tak perduli pagi, siang, malam atau kapan pun. Tapi sekarang, penyakit maupun kecelakaan tetap menjadi jalan bagi Pemilik nyawa untuk memisahkan mereka, pikirnya.   

Dia terdiam. Dunianya abu-abu. Sekeliling nampak berbayang dan muram. Genggaman di tangannya melemah hingga akhirnya terkulai di sisi tempat tidur. Meja, kursi, selang infus dan kantong cairan yang tergantung di tiang besi terasa lebih dingin dari biasa.

Ibu tegak kaku disebelahnya, Ayah meremas rambut dan menghela nafas berat. Kumpul keluarga yang dia dan kakaknya selalu rindukan dan baru kesampaian hari ini. Hari dimana isak tangis bukan lagi haru.

Ayah yang tegas dan penuh wibawa ternyata luluh di hadapan kakaknya yang berbaring tenang. Ayah terisak seperti anak kecil, entah kemana semua garang dan angkuhnya disangkutkan.

“Dia sudah pergi, semua yang hidup pasti akan mati. Tapi, harusnya aku tau apa cita-citanya” Sebuah penyesalan yang terlambat. Penyesalan yang tidak bisa dia terima dengan alasan apapun. Dikeluarkannya selendang Hitam pemberian kakaknya dua hari lalu. Hadiah yang paling tidak ingin diterimanya dengan hati sakit.

Dipakainya selendang, doa paling tulus dia bisikkan pada Penguasa Jiwa. Dia yakin doanya pasti sampai meski air mata dan sesenggukan menyamarkan kalimatnya. Dia aka tetap disini. Berdoa dan meresapi semua kenangan indah mereka, dia dan kakaknya. Dia tak punya kenangan lain. Seperti hatinya.
 
  



 ______________________________________________


Catatan sikil : Tanpa mengurangi ketertarikan saya pada blog ini, maka izinkan saya membuat pengakuan, sodara-sodara!!
Tulisan ini sebenarnya akan diposting di Kompasiana, akan tetapi kegeblekan saya yang tidak bisa edit hasil copas dari Word membuat draftnya berantakan. 

MySpace Berhubung sudah terlanjur nulis, maka saya tempel saja disini. Blog juga punya sendiri ini. Hahahaha


MySpace

14 komentar:

  1. nge fans sm Nova *pengakuan tak jujur :P

    ah, kangen lagi...

    BalasHapus
  2. Aih, mau muji aja pake gengsi..
    Hahaha

    BalasHapus
  3. Katanya lg ngak punya ide... hemmmmmm dasar.

    BalasHapus
  4. titip salam manis untuk yang manis #eh

    BalasHapus
  5. Iman: Tengkiyu, Man. Eh, pegimane perjalanan skripsi lo?
    Belakangan, jarang blogwalking ini. :(

    BalasHapus
  6. Deng Irsyam, Mbak Reni, Bang Iphank..
    Ngapa jadi pada ngerusuh dimarih? Kayak orang laen aja.
    Hahaha


    Anyway, Bang Iphank.. si manisnya cengengesan noh, pas tau ada yg salam..
    :D

    BalasHapus
  7. bagus.
    Nova, terus menulis, yah. aku selalu baca.

    BalasHapus
  8. ngiikkk...dalem ceritanya..awalnya gue kira cuman cerita persaudaraan biasa..eh, tapi ada kejutan di endingnya...kereenn..

    BalasHapus
  9. Mbak/Mas Nama: (Ini identitasnya siapa yak?)
    Makasih buat dukungannya ..

    Opi: Maksih ya, Pi..
    Eh, blog lo keren deh.. :)

    BalasHapus
  10. emang kenapa dia mati?

    BalasHapus
  11. Mas/Mbak Anonim: Dia mati karena nafasnya udah habis.
    Ngahahaha

    BalasHapus
  12. ada award buat kamu

    http://emmanuelthespecialone.blogspot.com/2010/10/tebak-tebakan-yang-tak-ada-ujungnya.html

    BalasHapus