Nguiiing.. nguiiing.. nguuuiing..
Sirine polisi masih
terngiang-ngiang di kuping Rasti. Meresahkan. Rasti tidak suka dengan bunyi
sirine. Sirine ambulan, sirine polisi apalagi. Kenangan Randu yang ditangkap
polisi karena tertuduh mengikuti organisasi penentang pemerintah masih lekat di
benaknya. Rasti tahu Randu bukan tipe orang yang seberani itu. Apalagi menentang
pemerintah. Randu orang baik, mahasiswa baik, anak yang baik, juga kekasih yang
baik. Benar-benar mustahil.
Dag Dig Dug!
Ada yang bermain di pikiran
rasti. Resah.
“Katanya ada yang terbunuh, mbak.
Makanya rame banget mobil polisi.”
“Siapa?”
Pedagang kaki lima yang ditanyai
Rasti mengangkat bahu. Pikiran Rasti kalut, dia harus segera pulang. Tidur lalu
bangun keesokan paginya dengan badan dan pikiran yang segar. Sidang skripsi
harus tak boleh mengulang, tekadnya.
Kemeja Putih dengan celana rok
Hitam selutut benar-benar sesuai dengan sepatu hak tingginya. Anggun sekali.
“Tapi aku mirip tahi cicak kalau
begini.” Rasti tersenyum sendiri melihat dandanannya di depan cermin.
Kriiiing.. Kriing.. Kriing..
Bah! Jam digital berteriak
mengingatkan Rasti untuk segera ke kampus. Meski Rasti sendiri yang telah
memprogram jam digital itu berbunyi menurut keinginannya, tapi Rasti tetap saja
merasa kesal dengan suara jam yang melengking tinggi. Dia ingat teriakan Bu Marni,
ibu kosnya yang judes.
Dag Dig Dug
Baru saja sampai di korridor kampus,
jantun Rasti sudah tidak bisa berhenti berdetak kencang. Apa kira-kira yang
akan ditanyakan para dosen itu? Bagaimana jika aku tidak bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka? Rasti gugup. Segugup gugupnya gugup. Lututnya gemetar.
Dag Dig Dug.
Lagi-lagi jantungnya berdesakan
ingin keluar. Beberapa mahasiswa yang juga berpakaian Putih Hitam sepertinya
berkerumun di satu tempat. Berbicara satu sama lain. Berdiskusi atau sedang
memperbincangkan sesuatu yang membuat Rasti penasaran. Rasti sangat penasaran
tapi tidak ingin berusaha tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Debaran jantunya
lebih menyita perhatian.
Tidak berapa lama, seorang lelaki
gemuk menghampiri kerumunan mahasiswa yang bercakap-cakap. Semenit, dua menit,
tiga menit. Lalu bubar.
“Sidang kita ditunda, nanti ada
pemberitahuan susulan.”
“katanya, Pak Randi mati dibunuh
kemarin malam.”
Darah Rasti mengalir cepat dari
kepala hingga kakinya. Rasti bisa merasakan itu. tapi entah kenapa Rasti
senang. Mungkin karena sidang skripsi ditunda, mungkin karena jantungnya mulai
berdetak perlahan, mungkin juga karena dosen pengujinya yang mati. Mungkin...
Tok.. Tok.. Tok..
Siapa yang mengetuk pintu semalam
ini? Kalau bukan karena urusan mendesak, pastilah orang ini tidak tahu etika
bertamu, sungut Rasti.
“Benar anda yang bernama Rasti?”
Lelaki yang di depan Rasti langsung bertanya begitu pintu terbuka. Rasti hanya
mengangguk.
“Anda terpaksa kami tahan, kartu mahasiswa
anda tertinggal di kamar hotel tempat mayat Bapak Randi ditemukan.”
Dag Dig dug. Jantung Rasti
berlompatan satu-satu.
Dia teringat peristiwa dua malam
sebelumnya, dua orang lelaki menyekapnya sepulang dari kampus, lalu dibawa ke
kamar hotel. Dicampakkan begitu saja ke tempat tidur, muncul seorang lelaki
hampir tua, Pak Randi, dosennya.
“Kamu harus menyusul Randu. Randu
kangen kamu. Dia gantung diri dipenjara karena kamu tidak bisa menjadi kekasih
yang setia.” Lelaki tua itu mencekiknya. Rasti panik, nafasnya megap-megap. Dia
menggapai-gapai mencari pegangan.
Bruuk! Lelaki itu terjatuh. Kepalanya
berlumur darah, Rasti tertegun. Tangannya masih menggenggam pecahan botol. Pak
Randi, dosennya.
Dag Dig Dug.
--------------------------------------------------------
Catatan sikil: FF yang telat publish karena inet yang mendadak mati seharian kemarin.
nah loh, ga jadi dah skripsinya :)
BalasHapushah?kok bisa?
BalasHapuswah sadis iki :)
BalasHapushidup rasti!
BalasHapusoh..oh..oh...benarkah dirimu yang melakukannya, Rasti? eh Santy!
BalasHapus