Pages

Sabtu, 14 Januari 2012

Dag Dig Dug


Nguiiing.. nguiiing.. nguuuiing..

Sirine polisi masih terngiang-ngiang di kuping Rasti. Meresahkan. Rasti tidak suka dengan bunyi sirine. Sirine ambulan, sirine polisi apalagi. Kenangan Randu yang ditangkap polisi karena tertuduh mengikuti organisasi penentang pemerintah masih lekat di benaknya. Rasti tahu Randu bukan tipe orang yang seberani itu. Apalagi menentang pemerintah. Randu orang baik, mahasiswa baik, anak yang baik, juga kekasih yang baik. Benar-benar mustahil.

Dag Dig Dug!

Ada yang bermain di pikiran rasti. Resah.

“Katanya ada yang terbunuh, mbak. Makanya rame banget mobil polisi.”
“Siapa?”

Pedagang kaki lima yang ditanyai Rasti mengangkat bahu. Pikiran Rasti kalut, dia harus segera pulang. Tidur lalu bangun keesokan paginya dengan badan dan pikiran yang segar. Sidang skripsi harus tak boleh mengulang, tekadnya.


Kemeja Putih dengan celana rok Hitam selutut benar-benar sesuai dengan sepatu hak tingginya. Anggun sekali.

“Tapi aku mirip tahi cicak kalau begini.” Rasti tersenyum sendiri melihat dandanannya di depan cermin.

Kriiiing.. Kriing.. Kriing..
Bah! Jam digital berteriak mengingatkan Rasti untuk segera ke kampus. Meski Rasti sendiri yang telah memprogram jam digital itu berbunyi menurut keinginannya, tapi Rasti tetap saja merasa kesal dengan suara jam yang melengking tinggi. Dia ingat teriakan Bu Marni, ibu kosnya yang judes.

Dag Dig Dug

Baru saja sampai di korridor kampus, jantun Rasti sudah tidak bisa berhenti berdetak kencang. Apa kira-kira yang akan ditanyakan para dosen itu? Bagaimana jika aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka? Rasti gugup. Segugup gugupnya gugup. Lututnya gemetar.


Dag Dig Dug.

Lagi-lagi jantungnya berdesakan ingin keluar. Beberapa mahasiswa yang juga berpakaian Putih Hitam sepertinya berkerumun di satu tempat. Berbicara satu sama lain. Berdiskusi atau sedang memperbincangkan sesuatu yang membuat Rasti penasaran. Rasti sangat penasaran tapi tidak ingin berusaha tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Debaran jantunya lebih menyita perhatian.

Tidak berapa lama, seorang lelaki gemuk menghampiri kerumunan mahasiswa yang bercakap-cakap. Semenit, dua menit, tiga menit. Lalu bubar.

“Sidang kita ditunda, nanti ada pemberitahuan susulan.”
“katanya, Pak Randi mati dibunuh kemarin malam.”

Darah Rasti mengalir cepat dari kepala hingga kakinya. Rasti bisa merasakan itu. tapi entah kenapa Rasti senang. Mungkin karena sidang skripsi ditunda, mungkin karena jantungnya mulai berdetak perlahan, mungkin juga karena dosen pengujinya yang mati. Mungkin...


Tok.. Tok.. Tok..
Siapa yang mengetuk pintu semalam ini? Kalau bukan karena urusan mendesak, pastilah orang ini tidak tahu etika bertamu, sungut Rasti.

“Benar anda yang bernama Rasti?” Lelaki yang di depan Rasti langsung bertanya begitu pintu terbuka. Rasti hanya mengangguk.

 “Anda terpaksa kami tahan, kartu mahasiswa anda tertinggal di kamar hotel tempat mayat Bapak Randi ditemukan.”

Dag Dig dug. Jantung Rasti berlompatan satu-satu.


Dia teringat peristiwa dua malam sebelumnya, dua orang lelaki menyekapnya sepulang dari kampus, lalu dibawa ke kamar hotel. Dicampakkan begitu saja ke tempat tidur, muncul seorang lelaki hampir tua, Pak Randi, dosennya.

“Kamu harus menyusul Randu. Randu kangen kamu. Dia gantung diri dipenjara karena kamu tidak bisa menjadi kekasih yang setia.” Lelaki tua itu mencekiknya. Rasti panik, nafasnya megap-megap. Dia menggapai-gapai mencari pegangan.

Bruuk! Lelaki itu terjatuh. Kepalanya berlumur darah, Rasti tertegun. Tangannya masih menggenggam pecahan botol. Pak Randi, dosennya.

Dag Dig Dug.



--------------------------------------------------------

Catatan sikil: FF yang telat publish karena inet yang mendadak mati seharian kemarin.

5 komentar: