Dulu, ruangan
ini penuh sesak. Selalu penuh sesak. Tapi itu dulu, sebelum semua berubah. Sebelum
Mas Harsja pergi, sebelum Bapak sibuk, sebelum Timo mati kelindes motor,
sebelum ibu ditaksir Pak Jana, tukang bata sebelah rumah.
Mas Harsja pergi
dengan pacarnya, tinggal berdua padahal belum menikah. Bapak sempat kalap dan
hampir membunuh pacar mas Harsja kalau saja tidak dilerai tetangga.
“Ada-ada saja. Pacaran
kok ya sama Joni. Kaya udah ndak ada perempuan saja.”
Aku diam, ibu
juga diam, cuma Bapak yang misuh-misuh. Timo ketiduran di kursi waktu itu.
Entah apa sebabnya
Bapak mulai jarang pulang ke rumah. Yang aku tahu kemudian Bapak dan Ibu mulai
jarang bicara. Ibu sepertinya kangen Mas harsja. Tiap kali telpon berdering,
ibu tergopoh-gopoh.
“Pasti dari Harsja.”
Begitu selalu kilah ibu.
“Bukan Harsja.”
Gagang telpon diletakkan begitu saja. Kadang tergantung, kadang malah ditutup. Tapi
aku tak berani protes, Timo melarang.
Mulanya, aku
pikir ibu hanya kangen Mas harsja saja makanya selalu mengangkat telpon jadi
ritual wajib. Tapi makin hari, ibu makin aneh. Ibu mulai suka menekan-nekan
nomor telpon sembarangan, acak-acakan. Banyak yang tersambung.
“Halo, siapa
namamu?”
“Saya mencari
Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”
Sudah berulang
kali kukatakan, ada waktunya Mas Harsja pulang. Tapi ibu tak terima, Timo
hampir mati dicekiknya. Sial!
Keesokan hari,
aku dijemput Pak Jana ke sekolah. Langkahnya panjang menggamit lenganku, aku
berjalan tersaruk-saruk. Ada apa ini? Di beranda kulihat ayah menenteng koper
besar. Ibu mematung memeluk Timo.
“Kamu mau ikut
atau inggal di sini? Hah!”
Aku tidak suka bapak, dia suka membentak, mulutnya lebar dan nafasnya bau. Bau rokok, bau kopi,
belakangan juga bau alkohol. Aku bergeming, sampai esok hari ayah tidak pernah
pulang sampai hari ini.
“Halo, siapa
namamu?”
Aku mulai
terbiasa melihat kelakuan ibu yang tiap hari menelpon orang yang tak dikenal
untuk mencari Mas Harsja. Hasilnya, tentu saja tetap nihil.
Di rumah ini aku
hanya punya Timo. Kucing kecil yang pincang, Timo dirawat Pak Jana sampai
sembuh lalu diberikan padaku. Kupikir dulu Pak Jana menyukai ibu makanya baik padaku.
Tapi akhirnya Timo juga pergi, dia mati. Lehernya hancur terlindas motor yang
melaju kencang di depan jalan. Padahal ibu sedang ada di rumah waktu itu. Ibu
tidak menjaga Timo bahkan ibu tidak tahu Timo mati, setiap hari kalau tidak
melamun ibu pasti menelpon,
“Halo, siapa
namamu?”
“Saya mencari
Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”
Sekarang aku
tahu bagaimana rasanya kehilangan. Rasanya seperti ibu.
Kemarin, selesai
menaburkan bunga ke makam Timo, aku tersentak, banyak orang berlarian dari
ujung jalan. Wajah mereka pias, aku penasaran. Apa yang terjadi? Kulihat Pak
Jana tengah memeluk seorang perempuan. Astaga! Pak Jana memeluk ibu.
Orang-orang
bergidik ngeri, Pak Jana terengah melawan rontaan ibu. Pak Jana dan ibu menjadi
tontonan. Ibu tersenyum pada kerumunan, ibu mencoba menggapai beberapa orang
yang sebaya dengan Mas Harsja.
“Halo, siapa
namamu?”
“Saya mencari
Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?”
Kata Pak Jana
ibu kangen Mas Harsja. Kata orang ibuku gila. Aku merasa semakin mirip ibu.
horeeee!!! ada lagi dimari, ayo di K juga di publish :D
BalasHapusUdah di publish kok,mbak.
HapusBiasalah, pantang tak heboh. :)
woww...keren...
BalasHapusMakasih, Dyah. :)
Hapuskeren abis dah pokoknya, San! merinding gila daku bacanya. dikau memang selalu 'sadis' =))
BalasHapusbanyak kejutan2x pada ceritanya.
Makasih udah kunjungan ke mari mbak Ing..
HapusTapi,satu-satu dong,mbak. Merinding atau gila?
Hahahahahaha
saya gak baca yg lainnya, tapi berani pastikan ide ini jarang yg pake. trus kenapa juga pake nama yang susah : Harsja? hahaha
BalasHapusMas/Mbak Kece Yang namanya disembunyiin, makasih ya udah nyempatin kunjungan kemari.
HapusKenapa namanya Harsja? Soalnya nama Joni, Joko, Sinta udah banyak. #JawabanGeje